20 Oktober, 2014

Sisi Gelap Demokrasi


Salah satu formula demokrasi yang populer adalah: kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mengingat yang bernama rakyat jumlahnya semakin banyak, maka dibentuklah lembaga yang menyalurkan aspirasi rakyat, yaitu partai politik (parpol).

Salah satu fungsi parpol adalah memfasilitasi pemilihan wakil rakyat sehingga bisa duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik di tingkat pusat maupun daerah. Jadi, di situ sudah terjadi dua jenjang penyambung lidah rakyat, yaitu parpol dan lembaga DPR. Oleh karenanya, sangat mungkin terjadi penyimpangan pada tingkat parpol. Yang pertama misalnya, bahwa agenda yang diperjuangkan elite parpol ternyata tak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat. Kedua, ketika wakil parpol duduk di DPR, mungkin saja yang disuarakan wakil tersebut berbeda dari aspirasi asal parpolnya, karena banyaknya lobi dan tekanan dari kanan-kiri.

Dengan mengikuti pemberitaan dinamika politik dan demokrasi yang berlangsung, rupanya aspirasi dan perilaku kalangan DPR sering dipandang asing, bahkan menjengkelkan bagi rakyat yang merasa telah mempercayakan aspirasi politik mereka kepada para wakil mereka itu. Di sini terjadi inkonsistensi dan deviasi hubungan antara rakyat dan wakilnya. Kedaulatan berasal dari rakyat, dilimpahkan ke parpol, lalu oleh parpol diwakilkan lagi ke anggota DPR, dan ketika sampai di DPR sering kali hubungan antara anggota DPR dengan parpol dan rakyat semakin renggang dan jauh.

Datang nggak datang, duduk nggak duduk, yang penting duit.

Sampai di sini, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan berada di tangan anggota DPR. Disinilah sisi dan lorong gelap demokrasi mulai muncul. Mengingat jumlah rakyat Indonesia lebih dari 200 juta, tentu saja tidak mungkin semua rakyat ikut sidang demi menjaga kedaulatan rakyat secara penuh dan utuh. Oleh sebab itu timbullah parpol dan sistem perwakilan. Dan untuk memilih pun jalannya cukup panjang dan biayanya mahal. Beda sekali dari gagasan dan praktik awal demokrasi di zaman Yunani kuno dulu. Rakyat masih sedikit sehingga mereka memiliki kedekatan hubungan antara yang diwakili (rakyat) dan yang mewakili (anggota dewan).

Tetapi karena rakyat Indonesia yang demikian banyak dan tersebar di ribuan pulau, maka pasti banyak diantara rakyat yang tidak tahu siapa calon wakil mereka. Ketika pemilu hanya disuruh masuk bilik suara untuk nyoblos gambar, dan foto yang dicoblos pun sesuai dengan pesanan juru bayar, maka pada praktiknya demokrasi yang punya klaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, di sana bisa saja terjadi pembajakan kedaulatan rakyat oleh parpol, kemudian kedaulatan parpol diambil alih oleh wakilnya di DPR, dan kedaulatan anggota DPR diambil alih oleh fraksi.


Sehingga, pada urutannya, yang menentukan kebijakan undang-undang dan anggaran negara, sebenarnya hanyalah segelintir orang yang terang-terangan mengatasnamakan rakyat dan parpol. Itulah salah satu konsekuensi demokrasi. Apa yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat, bisa saja tak lebih dari Majelis Permusyawaratan dari beberapa wakil parpol yang belum tentu mewakili aspirasi anggotanya. Demokrasi yang mengejar kemenangan hanya dengan formula suara 50% + 1 akan terjatuh pada demokrasi prosedural, tetapi melupakan substansinya. Atau dalam bahasa Pancasila, demokrasi yang tak lagi menghargai hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan.

Dalam kaitan ini, manifestasi hak rakyat untuk bersuara, hanyalah sebatas mencoblos suara sewaktu diadakan pemilu dalam lima tahun sekali, yang berlangsung sekitar lima menit, setelahnya sudah beralih ke tangan politisi yang tak mudah lagi bagi siapa pun untuk mengontrolnya. Jika demokrasi ibarat benih pohon besar yang menjanjikan daun yang rindang dan buahnya yang lezat, maka kebesarannya tak akan terwujud ketika tanahnya tidak gembur. Dan bila air dan sinar matahari tidak mendukung.

Demikianlah, makanya demokrasi akan sehat dan tumbuh kokoh serta mendatangkan kemakmuran jika rakyatnya memiliki pendidikan yang bagus dan merata, tingkat ekonominya sudah sejahtera, serta terwujudnya ketegasan dan keadilan hukum. Dalam masyarakat yang demikian, rakyat justru akan rela mengeluarkan uang untuk membantu perjuangan para calon wakil rakyat dan calon presiden karena rakyat yakin mereka akan memperjuangkan nasibnya. Tetapi menjadi suatu ironi dan memilukan ketika yang terjadi justru politisi mengeluarkan uang miliaran untuk membeli suara rakyat.


Logika awam pun bertanya, para politisi yang telah mengeluarkan miliaran uang untuk membeli suara rakyat itu, apakah karena dorongan hati untuk bersedekah secara ikhlas, karena telah kelebihan uang, ataukah karena ada agenda lain, misal karena melulu mengejar jabatan untuk mengeruk kekayaan materi? Jika yang terjadi adalah yang terakhir, maka bisa dipastikan setelah mereka berkuasa niscaya akan korupsi dan menyalahgunakan jabatan demi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan pada saat kampanye dan sedapat mungkin, sambil mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.

Demikian burukkah demokrasi? Tentu saja sampai hari ini sistem demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang terbaik selama syarat-syaratnya yang standar terpenuhi. Prasyarat demokrasi yang sehat, tentu kita semua sudah tahu. Jika tak terpenuhi, maka panggung demokrasi bisa berubah jadi panggung dagang sapi yang sangat miskin dari sikap politisi-negarawan, dan hanya menyajikan tontonan yang sangat menyebalkan.

Akhirnya, Pemilu lalu menjadi lembaga dan mekanisme pembelian dan pembajakan suara rakyat sebagai modal untuk berburu kekuasaan, jabatan, dan keuntungan materi.

Komaruddin Hidayat,
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 10 Oktober 2014

Tidak ada komentar: