10 Juni, 2014

Perang Media


Menjelang Pilpres 9 Juli mendatang, persaingan antara pasangan capres Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta semakin memanas. Berbagai strategi pun dilancarkan oleh partai pendukung (koalisi) guna memenangi kontestasi politik. Yang menarik, kedua pasangan capres ini sama-sama didukung para pengusaha media yang juga merangkap pimpinan partai.

Sebut saja Surya Paloh, ketum Partai NasDem sekaligus bos media Metro TV yang mendukung pencapresan Jokowi-JK. Sementra Aburizal Bakrie, ketum Partai Golkar yang juga bos TV One dan ANTV mendukung pencapresan Prabowo-Hatta. Begitu pula bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo yang menyokong Prabowo.

Dengan banyaknya pemilik media yang berafiliasi dengan para pasangan capres, bisa dipastikan perang media akan terjadi, bahkan pemberitaan media cenderung tidak berimbang. Hal ini terlihat dari pantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 6-15 Mei 2014. Disebutkan bahwa Metro TV menayangkan berita soal Jokowi sebanyak 62 kali, sementara memberitakan Prabowo hanya 22 kali. Sebaliknya, TV One memberitakan Prabowo 18 kali, sementara Jokowi 15 kali. Adapun ANTV memberitakan Prabowo 60 kali, sementara pemberitaan Jokowi hanya 8 kali.


Ironisnya, berbagai pemberitaan tersebut bukan hanya tidak berimbang dari sisi tone konten, tapi juga kerap menabrak aturan. Misalnya Metro TV dalam sehari memberitakan Jokowi bisa mencapai lebih dari 15 kali dengan durasi cukup panjang. Padahal, dari sisi aturan, stasiun televisi maksimal 10 kali per hari melakukan pemberitaan dengan durasi masing-masing paling lama 30 detik (Tempo, 26/5).

Imagologi politik Fenomena di atas menandakan bahwa dunia politik kita masih terjebak pada apa yang disebut Yasraf Amir Piliang (2005) sebagai “imagologi politik”, yakni suatu kondisi realitas politik yang dibingkai ke dalam wujud-wujud citra dalam berbagai media. Menurut Martin Heidegger (1972: 302), pembingkaian dalam konteks politik, khususnya pembingkaian politik sebagai politik citra, biasanya akan menghasilkan ilusi politik, yaitu cara penghadiran atau penampakan tak lebih dari sebuah konstruksi, yang di dalamnya manusia tidak dapat lagi menyingkap esensinya disebabkan pembatasan horizon di dalamnya.

Tentu citra berlebihan dalam politik merupakan ancaman terhadap manusia politik itu sendiri, karena akan menjauhkan dari kemungkinan penyingkapan esensi yang autentik atau kebenaran yang sesungguhnya. Ini tentu berbahaya.


Di satu sisi, manusia politik akan mengalami pergeseran makna, yakni lebih memilih citra ketimbang benda yang nyata, memilih copy ketimbang asli, memilih representasi ketimbang realitas, dan lebih memilih penampakan ketimbang keadaan dan keberadaan (eksistensi) yang sesungguhnya.

Sementara di sisi lain, manusia politik (politisi) telah menodai ruang publik. Lembaga panyiaran yang seharusnya bersikap netral justru memihak. Pada gilirannya, hal ini akan merugikan publik (masyarakat) karena mereka akan kesulitan mendapatkan informasi yang berimbang. Pada titik inilah, benar apa yang dikatakan McQuail (2002), ketika bos media masuk politik, tak jarang media akhirnya ‘dipaksa’ turut mencipta agenda terselubung dan mengonstruksi kehendak pemodal dalam bingkai kerja jurnalisme. Inilah yang mulai tercium kuat aromanya menjelang pilpres kali ini.

Karena itu, sudah seharusnya lembaga penyiaran atau media bersikap independen. Sebagai pilar demokrasi, media harus mampu menjaga komitmen netralitasnya agar tetap mampu membangun ruang publik yang sehat dan kredibel.


Sebenarnya, independensi atau netralitas lembaga penyiaran ini sudah diatur dalam Pedoman Pelaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang dikeluarkan KPI. Begitu pula dengan peraturan KPU Nomor 15 tentang kampanye yang meminta setiap media, termasuk televisi, untuk menerapkan asas keberimbangan dalam pemberitaan maupun iklan. Selain itu, independensi lembaga penyiaran ini juga telah lama diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pres dan Kode Etik Jurnalistik.

Karena pada dasarnya, sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pemilik media itu berstatus pinjam pakai untuk digunakan dalam menyelenggarakan penyiaran. Karena itu, izin atau aset tersebut harus digunakan bagi sebesar-besarnya kepentingan publik dan masyarakat luas. Sebab, berdasarkan undang-undang itu pula, pemilik media sewaktu-waktu bisa dievaluasi melalui mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran. Dan lembaga penyiaran yang menabrak aturan secara berlebihan tentu bisa dicabut hak izinnya.

Untuk itu, menjelang pilpres yang menegangkan ini, publik berharap bahwa media, khususnya elektronik, bersifat netral, memberikan pemberitaan secara berimbang supaya publik tidak menjadi bingung. Sebab, jika tidak netral hal ini akan mengancam keberadaan media itu sendiri. Media yang telah nyata-nyata tidak independen akan segera ditinggalkan masyarakat.

Ali Rif’an,
Peneliti Poltracking
REPUBLIKA, 31 Mei 2014

Tidak ada komentar: