11 Maret, 2014

Jojon


Jojon meninggal, dan kita kehilangan satu cermin.

Para pelawak adalah pantulan kita di alam nyata. Mereka selalu mengingatkan bahwa tertawa adalah momen penting dalam hidup yang disediakan humor. Ada pepatah dalam bahasa Sunda, suku yang melahirkan bodor macam Kabayan, “hirup mah ngan ukur heuheuy jeung deudeuh”. Hidup itu cuma tawa dan duka, tergantung cara kita melihatnya.

Karena itu, betapa mulia menjadi pelawak. Mereka hadir meminta ditertawakan, sesuatu yang dihindari banyak orang. Kita tak ingin dianggap lucu karena itu merendahkan. Ada ungkapan bahwa “tak lucu” untuk apa saja yang dianggap tak sesuai dengan norma umum. “Tak lucu kalau ulama korupsi.” Padahal, dalam dunia banyol, ulama korupsi justru lucu karena begitu keterlaluan menyalahi kaidah normal.


Satir semacam itu telah lama menjadi bahan humor untuk meledek betapa kita dan hidup yang nyata lebih lucu dari lawakan paling menggelitik sekalipun. Jojon dan para pelawak lain bekerja menjungkirbalikkan logika umum yang kadung dianggap sebagai nilai-nilai adiluhung. Gaya melawak Jojon itu sendiri memakai banyak hal yang saling bertabrakan.

Tampangnya bloon. Di Grup Jayakarta, ia selalu menjadi obyek cemooh teman-temannya yang lain: Cahyono yang sok wibawa, Uuk preman yang tengil, atau Esther yang gemulai. Ia memakai dasi kupu-kupu, aksesori resmi dalam jamuan makan malam, dipadukan dengan kaus atau kemeja motif cerah plus overall untuk menahan celana ngatung yang kedodoran. Fasad itu kian absurd karena Jojon yang memelas dan nyengir mengibakan itu memakai kumis ala Hitler, –diktator Jerman yang konon sadisnya melebihi setan.


Dunia jungkir-balik itu menghadirkan tawa bagi kita, para penonton yang melihatnya di panggung atau film-film mereka. Jojon dan para pelawak telah menghadirkan dunia di seberang yang tak umum dan tak dipahami banyak orang.

Dari situlah kita becermin bahwa nilai dan logika, juga mungkin kebenaran, selalu punya perspektif dan kebenaran lain jika ditinjau dari cara pandang berbeda. Kumis Hitler bisa kehilangan keangkerannya ketika menempel di mimik Jojon yang memelas.


Para pelawak, dengan begitu, mengajak kita untuk selalu bersedia memikirkan segala kemungkinan bahwa manusia tak pernah mencapai final yang selesai. Humor yang menyebabkan manusia ketawa, demikian para filsuf menyimpulkan, adalah satu misteri yang belum bisa dipecahkan oleh filsafat.

Di kalangan tertentu para pelawak ditempatkan lebih tinggi dibanding para pemikir. Karena sebelum mereka menjungkirkan logika kita, para pelawak mesti memahami logika umum terlebih dulu, lalu mencari celah untuk memandangnya dari titik yang berbeda. Dari situlah humor hadir karena meruntuhkan tatanan logika yang ajeg dan pakem dalam ingatan kolektif kita.


Bahkan humor, ada kalanya dianggap suatu yang subversif oleh rezim yang represif. Slogan grup Warkop: “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang !!”, adalah slogan yang terkenal dan cerdas. Slogan Dono-Kasino-Indro itu terasa lucu bukan saja karena anjurannya menggelikan, tapi juga mengandung satire tentang kemungkinan ada larangan orang ketawa, hak manusia paling asasi.

Karena itu humor adalah cermin, yang memantulkan hidup dan kenyataan lewat banyolan.

Bagja Hidayat,
Wartawan Tempo
TEMPO.CO, 8 Maret 2014

Tidak ada komentar: