16 Februari, 2014

Kritik terhadap Perbankan Syariah


Bank Muamalat Indonesia berdiri tahun 1992. Sebagai bank syariah pertama di Indonesia, Bank Muamalat harus bisa membuktikan diri sebagai sistem perbankan alternatif terhadap model perbankan konvensional.

Dapat terhindar dari krisis moneter Asia Tenggara 1997 karena tidak mengikuti sistem bunga pasar, bank syariah mulai mendapat perhatian. Akan tetapi, kebangkitan bank syariah sesungguhnya terjadi pada awal abad ke-21, bersamaan dengan kebangkitan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK) berbasis pertanian.

Keberhasilan bank syariah selanjutnya baru tampak dengan dibentuknya Bank Syariah Mandiri dengan dukungan Bank Mandiri. Langkah itu diikuti pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS) yang setelah berkembang kemudian berdiri sendiri menjadi Bank Umum Syariah (BUS) sebagai cabang dari bank umum konvensional. Ternyata, baik UUS dan BUS mampu berkembang rata-rata dua kali lebih cepat dan lebih menguntungkan daripada perbankan konvensional.


Diterima pasar
Perkembangan itu lantas diikuti dengan terbentuknya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Bait al-Mal wa al-Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro. Gejala ini menunjukkan bahwa konsep bank syariah tak hanya diterima pasar dan investor, tetapi juga menunjukkan keunggulannya, baik dari segi pertumbuhan aset dan modal, rentabilitas, maupun kepercayaan.

Namun, dalam laporan manajemennya, ada beberapa kelemahan yang oleh ahli ekonomi Islam Jerman, Volkner Nienhaus, disebut sebagai kelemahan institutional capability atau kelemahan kemampuan kelembagaan, terutama dalam pengembangan produk-produk berdasarkan akad murabahah, mudharabah,  musyarakah, dan qord al-hasan.
Yang terjadi kemudian, ternyata 70 persen akad adalah berupa transaksi murabahah yang melayani kebutuhan konsumsi dan perdagangan dengan sistem mark up. Produk-produk lain, terutama qord al-hasan (fasilitas kebajikan), untuk orang miskin dan pengusaha pemula masih sangat terbatas (minim sekali).

Penilaian kedua adalah bahwa bagi hasil yang diterima ataupun dibebankan kepada debitor rata-rata lebih tinggi dibanding suku bunga bank konvensional yang ada. Dalam kaitan ini yang diuntungkan ialah investor dan deposan pemilik dana sedangkan yang dirugikan adalah debitornya. Lantas timbul pertanyaan; “Apa bedanya dengan bank konvensional?”

Kritik ketiga adalah kekhawatiran akan jatuhnya bank syariah kepada pemodal asing sejalan dengan meningkatnya pangsa pasar bank syariah yang kini baru mencapai 5 persen dari aset perbankan nasional.


Meski kritik itu diam-diam diakui, perbaikan tidak tampak signifikan dan ada saja bank yang menolak membuat laporan mengenai kompatibilitas bank syariah dengan hukum syariah berdasarkan tujuan-tujuan syariah.

Kesimpulannya, bank syariah secara esensial tidak berbeda dengan bank konvensional sebagai investor oriented firm (IOF) yang bertujuan mencapai keuntungan sebesar-besarnya dengan uang sebagai komoditas utama. Dengan kata lain, bank syariah dalam praktiknya tetap lembaga “peternakan uang” (making money out of money) alias lembaga ribawi yang diharamkan.

Bedanya hanya pada instrumen, yaitu penghitungan bagi hasil atau mudharabah yang tidak pernah dipraktikkan sesuai dengan maksud dan tujuan syariah sebenarnya. Untuk mengakalinya, profit-sharing itu diubah menjadi revenue-sharing, yang mirip dengan transaksi murabahah.

Padahal, sebenarnya bank syariah dibentuk dengan tujuan menghapus riba dalam industri keuangan. Dalam al-Quran, riba itu diharamkan, sedangkan yang dihalalkan adalah transaksi jual-beli. Alternatif riba pada dasarnya adalah sistem zakat, shadaqah, dan infaq sebagai fasilitas pinjaman untuk kebajikan atau al-qord al-hasan dan dalam sunah adalah waqaf.

Karena itu, sumber dana bank Islam sebenarnya adalah harta agama sebagaimana ditulis oleh Prof Dr KH Miftah Faridh dalam bukunya, Harta, yang tergolong dalam kategori nonpasar (nonmarket). Dana nonpasar bisa berasal dari anggaran belanja sosial negara, bantuan internasional, atau dana corporate social responsibility  (CSR). Jadi, sumber dana bank syariah bisa berupa dana simpanan koperasi, tabungan masyarakat, bahkan investor karena bank sosial juga bisa memberikan keuntungan.


Berorientasi pengguna
Dengan demikian, bank syariah pada hakikatnya adalah perusahaan yang berorientasi pada pengguna atau User Oriented Firm (UOF) atau lembaga fasilitas keuangan untuk kebajikan (al-qord al-hasan). Dalam teori perbankan kontemporer, bank semacam ini disebut “bank sosial” (social bank) yang dewasa ini sudah berkembang di dunia dan bergabung dalam organisasi Global Bank based on Ethical Value (GBEV). Bank sosial ini selain berdasar nilai etis juga berorientasi pada dampak sosial dan lingkungan hidup (social and environmental impact). Dalam konteks Indonesia, bank sosial bisa memfasilitasi perkembangan ekonomi rakyat sebagai basis kemandirian ekonomi bangsa.

Misi bank sosial berdasar syariah ini adalah memberikan fasilitas keuangan kepada orang miskin produktif (productive poor) dan orang-orang telantar atau tuna-perlindungan sosial dengan penciptaan lapangan kerja atau sebagai inkubator bisnis serta peningkatan pendapatan masyarakat secara merata. Hal ini merupakan basis dari inklusi finansial, sebagaimana Grameen Bank, Banglades, yang dananya berasal dari lembaga donor.

Dalam kasus perlindungan sosial, Dompet Dhuafa bisa menjadi embrio bank sosial syariah. Bank bisa memfasilitasi pendirian koperasi perumahan, koperasi pendidikan, koperasi kesehatan, koperasi asuransi sosial, koperasi transportasi dan koperasi lainnya.


Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat atas fasilitasi bank sosial, maka akan terjadi proses inklusi finansial, di mana masyarakat akan menyimpan dana di bank dan bank akan menjadi pengelola uang tunai masyarakat sebagai sumber permodalan baru dengan dukungan media jejaring sosial. Dalam kaitan ini, sumber keuntungan bank adalah biaya pelayanan administrasi (fee based income) dan bukan hasil “peternakan uang”.

Walaupun belum dikenal dalam nomenklatur perbankan Indonesia, bank sosial bisa dibuatkan landasan perundangannya. Kalangan Kristen Demokrat Jerman sebenarnya berharap bank Islam itu sama dengan bank sosial di negara-negara maju. Karena itu, bank syariah dewasa ini bisa dikembangkan menjadi bank sosial Islam dengan meredefinisikan sistem produk dan jenis akadnya, sesuai tujuan-tujuan syariah (al-Maqosith al-Syariah) dalam konteks Indonesia.

M Dawam Rahardjo,
Rektor Universitas Proklamasi ’45, Yogyakarta
KOMPAS, 14 Februari 2014

Tidak ada komentar: