13 Maret, 2013

Belanda dan Kebebasan Beragama


Januari lalu, Geert Wilders, politikus Belanda yang terkenal di seluruh dunia karena kampanye anti-Islam yang agresif dilakukannya, meluncurkan situs provokatif: http://www.mosknee.nl/. Melalui situs itu, partai politik Wilders, Partij voor de Vrijheid atau PVV (Partai Kebebasan), menyatakan siap menampung laporan masyarakat jika ada rencana pembangunan masjid di Belanda demi menghambat laju Islamisasi.

Seperti termaktub dalam kalimat pertama pada situs itu, “Belanda bukan negara Islam dan tidak akan pernah terjadi (menjadi) negara Islam”, PVV ingin membantu warga Belanda mencegah pembangunan masjid dengan regulasi politik yang legal: mengajukan protes keras kepada dewan perwakilan rakyat kota madya, menghimpun pendapat umum, dan mengadukannya kepada pengadilan.

Intinya, masyarakat Belanda perlu terus diberi tahu dan disadarkan akan ancaman Islamisasi. Ironisnya, usaha politis PVV, yang suka mengklaim sebagai pembela kebebasan, justru bertentangan dengan klausul kebebasan beragama yang diakui di Belanda sebagai hak asasi manusia, yang antara lain meliputi hak mendirikan tempat ibadah.


Bentukan Baru
Adanya jaminan hukum atas kebebasan sipil itu boleh jadi membuat sebagian orang meragukan gagasan Wilders yang akan menghambat pembangunan rumah ibadah kaum Muslim di Belanda itu berhasil. Meski begitu, sekali lagi Geert Wilders dan partai politiknya berhasil mendapat publisitas besar.

Seperti biasa, Geert Wilders pandai menggunakan bahasa Belanda untuk tujuan itu. Kata mosknee merupakan neologisme, kata bentukan baru, terbentuk dari kata moskee “masjid” dan nee “tidak”. Pelesetan kata dapat berfungsi sebagai senjata yang ampuh dalam sebuah perdebatan politik. Sebenarnya kata mosknee tidak terlalu impresif dan belum tentu dapat bertahan lama dalam wacana publik. Namun, pengalaman menunjukkan, kelihaian Wilders membuat pelesetan kata sering kali berefek luas.

Pada 2009, dalam sesi pandangan umum di parlemen Belanda, Wilders tiba-tiba memperkenalkan istilah kopvoddentax atau kopvoddentaks yang kemudian jadi pembicaraan publik. Dia berargumentasi bahwa selama ini pajak telah dikenakan terhadap banyak hal: BBM, tempat parkir, anjing, atau tiket pesawat. Karena itu, kata Wilders, mengapa tidak kita kenakan pajak terhadap para pemakai jilbab. Misalnya 1.000 euro setahun dengan alasan pokok ada pencemaran karena, menurut Wilders, pemakai jilbab mencemarkan lingkungan.


Pajak jilbab yang ia usulkan bernama kopvoddentax, yaitu pajak (taks atau tax) terhadap cabikan (vod) atas kepala (kop). Istilah itu juga merupakan neologisme: kopvod yang merupakan terjemahan kasar dari hoofddoek. Usul Wilders tak mendapat dukungan partai politik mana pun di parlemen, tetapi kejutan yang dihasilkannya membuahkan sukses di kalangan para pemilih.

Di hampir seluruh Eropa citra Islam memang tengah diuji dan tokoh politik anti-Islam seperti Wilders cukup populer karena dianggap “jujur” dan selalu berterus terang mengenai ancaman Islamisasi. Meskipun Wilders yang memopulerkan kata kopvod, sejatinya dia bukan pencipta kata itu.

Menurut Ewoud Sanders, wartawan dan sejarawan bahasa, kata itu digunakan sejak 2001 dan sering dipakai dalam percaturan politik berhaluan kanan dan ultrakanan, terutama di dunia maya. Seperti diketahui, dunia maya adalah tempat yang empuk bagi mereka yang secara anonim suka berkomentar dalam bahasa yang kasar, penuh caci maki, dan rasis. Dalam beberapa situs yang populer di Belanda, para propagandis anti-Islam sangat kreatif dalam membuat kosakata baru. Misalnya kata haatbaard “jenggot benci” memberi gambaran tentang seorang Muslim fanatik dengan jenggot panjang.


Nominasi
Belum lama ini juga terdapat pelesetan kata yang masuk dalam nominasi untuk dipilih redaksi kamus Belanda Van Dale sebagai kata tahun ini, woord van het jaar, yaitu booslim yang digabungkan dari kata boos “marah” dan moslim “Muslim”.

Kata booslim tergolong bahasa gaul yang dipakai di internet dan didefinisikan oleh para ahli bahasa Belanda sebagai “orang Muslim fundamentalis yang bereaksi agresif di tempat umum jika norma dan nilai yang dijunjungnya dihina”.

Penting juga diketahui bahwa Islam bukan satu-satunya agama yang menjadi sasaran kritik atau hinaan para komentator anonim di situs-situs populer di Belanda. Semua agama yang mereka anggap ketinggalan zaman dan biang keladi atas berbagai penderitaan umat manusia menjadi sasaran cacian mereka.

Istilah yang baru saja dikenal publik Belanda seperti reli(e)gekkie “orang beragama sinting” atau gristengekkie “orang Kristen sinting” membuktikan bahwa agama terus menjadi bahan olokan dan tak lagi dianggap sebagai pandangan dan sikap hidup yang pantas dihormati. Pada 2012, Badan Pusat Statistik di sana melaporkan bahwa jumlah penduduk dewasa yang masih beragama di Belanda sekitar 55 persen dan yang beragama Islam 4 persen.


Gambaran di atas menunjukkan, orang-orang yang marah dan frustrasi dengan bebas melampiaskan kebenciannya di dunia maya terhadap perilaku kaum beragama, terutama Islam dan Kristen, yang mereka anggap bertentangan dengan nilai-nilai Eropa yang humanis, rasional, progresif. Islam mereka identikkan dengan tindak kekerasan dan Kristen dengan pelecehan seks.

Ranah lain yang juga terus menuai komentar sinis dalam situs populer di Belanda ialah Uni Eropa, yang mereka sebut secara sinis sebagai diktator Brussel. Pemerintah Belanda mereka cap sebagai “pengkhianat rakyat kecil”, masyarakat multikultur dipelesetkan menjadi multikul, gabungan dari multi dan kul atau flauwekul, yaitu omong kosong. Dan kriminalitas yang terus meningkat, menurut mereka, harus diganjar dengan sanksi sangat keras, bahkan jika perlu menghidupkan lagi hukuman mati bagi para kriminal kelas kakap. Inilah suara-suara populis di internet yang cetar membahana.

Mark Rutte dan Geert Wilders

Bukan Sikap Umum
Komentar yang sinis dan kasar di atas, terutama terhadap agama, tentu saja bukan sikap umum masyarakat Belanda, apalagi sikap resmi pemerintahnya. Tidak sama sekali. Karena itu, beberapa pihak dari partai politik dan pemerintah bereaksi cukup keras atas fenomena itu. Januari lalu, misalnya, Hans Spekman, ketua Partai Buruh, menunjukkan kekesalannya karena mendapat komentar yang penuh dengan kesinisan dan kebencian yang ia terima di akun Facebook-nya.

Ia menyatakan, internet semakin menjadi tempat sampah. Karena itu harus ada ketegasan, sebab segala sesuatu ada batasnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, Perdana Menteri Mark Rutte memproklamasikan istilah ofensif keberadaban (beschavingsoffensief) di internet. Menurut dia, mengkritik boleh, tapi tetap harus disampaikan secara santun dan beradab. Terdapat perbedaan yang jelas antara mengkritik dan menghina.


Rutte mengaku tidak memiliki langkah konkret dan efektif mencegah rentetan caci maki di internet, tetapi ia percaya seruan moral tetap akan berguna. Penulis sendiri sebenarnya ragu-ragu akan keefektifan seruan moral itu. Alasannya sederhana saja: bukankah orang Belanda selalu bangga dengan karakter nasional mereka yang menjunjung tinggi keterusterangan dan blak-blakan?

Dalam sosiokultur Belanda sendiri keterusterangan itu justru dianggap sebagai bukti kejujuran yang selama ini telah diapresiasi dengan positif. Bahkan, semakin kasar ungkapannya justru dianggap semakin autentik.

Dalam satu perspektif yang positif, berbagai kritik itu justru bisa dimaknai sebagai lecutan buat para pemeluk agama-agama tersebut bahwa semua tudingan itu tidak benar. Islam, Kristen, dan juga agama lainnya, sejatinya dapat kompatibel dengan kemajuan peradaban umat manusia.

Edwin Wieringa
Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia serta Kajian Islam di Universitas Cologne, Jerman;
Berasal dari Belanda
KOMPAS, 2 Maret 2013

Tidak ada komentar: