02 Februari, 2013

The Busy Generation


Busy, busy, busy, busy, busy, busy. Busy … dead !

Menurut kalender, dalam seminggu yang disebut hari kerja (workdays) ada lima hari, lalu hari libur (holidays) dua hari. Mengapa jumlah hari kerja lebih banyak ketimbang hari libur?

Karena bekerja itu sehat, melegakan dan membahagiakan, sedangkan diam menganggur itu melelahkan dan bahkan menyiksa. Tidak percaya? Coba saja sendiri selama setahun jadi pengangguran, pasti tersiksa. Di dalam bekerja seseorang menemukan keasyikan, sebuah aktualisasi diri sebagai pribadi yang produktif dan berharga bagi sesamanya. Pohon pisang saja tidak mau mati sebelum mempersembahkan buah dan keturunan dari kehadirannya.


Terlebih manusia yang dibekali potensi hidup dan kreativitas yang sampai sekarang belum diketahui secara persis batas akhir kemampuannya. Oleh karenanya manusia juga disebut homo faber. Makhluk yang senantiasa mencipta berbagai produk baru untuk menyalurkan imajinasinya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Saking kreatifnya, sangat mungkin para ilmuwan di masa depan akan menciptakan produk-produk baru yang sesungguhnya tidak diperlukan oleh masyarakat, padahal biayanya amat mahal, semata untuk menyalurkan daya kreatifnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, sekarang pun anomali dan deviasi sosial sudah terjadi, yaitu orang terjerat pada gaya hidup yang supersibuk. Sibuk seakan menjadi identitas dan gaya hidup kalangan eksekutif. Padahal ide besar yang menjanjikan sukses besar justru muncul saat orang dalam suasana santai, rileks, meditatif. Makanya banyak inspirasi dan peristiwa besar yang terjadi di malam hari seperti yang dialami para nabi. Mereka mendapatkan pencerahan hati dan pikiran di malam hari, di tempat yang sunyi, seperti yang dialami Nabi Muhammad di Gua Hira.

Peristiwa Isra’-Mi’raj pun juga di malam hari. Dengan bantuan teknologi modern, seseorang dapat melakukan multi-tasking dalam jam dan tempat yang sama. Artinya, bisa saja seseorang semakin sibuk dibuatnya ataupun sebaliknya, bisa lebih rileks karena rapat jarak jauh pun dapat dilakukan. Jadi, godaan dan peluang untuk menjadi sibuk dan supersibuk pun semakin terbuka. Namun perlu disadari bahwa sukses tidak selalu identik dengan sibuk. Para inovator bidang ilmu selalu memerlukan suasana rileks untuk mencari ilham.


Terlebih mereka yang selalu sibuk dengan dalih demi memenuhi kebutuhan keluarga sesungguhnya perlu diingatkan dan dipertanyakan keabsahan dalihnya. Bagi mereka yang secara ekonomi sudah cukup, yang diperlukan anak-anak dan anggota keluarga adalah kebersamaan berkualitas yang tidak dapat ditukar dengan materi. Banyak keluarga yang hidupnya tidak bahagia, suami-isteri cerai bukan karena tidak punya uang, tetapi tidak punya waktu senggang dan nyaman untuk berbagi hati dan pikiran dalam rangka menjaga kehangatan keluarga.

Ketika panggung politik terasa pengap, kondisi lalu lintas macet dan membuat stres, sementara kejahatan dan konflik sosial bermunculan tak berkesudahan, pasti semua itu berpengaruh secara negatif pada suasana hati warga bangsa ini. Situasi demikian mesti diimbangi dengan pencerahan hati dan pikiran agar kita tidak menjadi orang yang reaktif, melainkan menjadi pribadi yang kreatif. Menjadi pribadi yang sabar sekaligus penyebar damai dengan pikiran-pikiran alternatif yang mendatangkan aura optimistis-konstruktif.

Ketika yang terjadi adalah akumulasi stres, marah, pesimistis, dan sikap egoistis, sesungguhnya kita telah mempersempit dan membuat gelap dunia kita sendiri. Ketika kita memandang dunia, tanpa disadari yang muncul dan terlihat sebenarnya adalah proyeksi dari keyakinan, ideologi, dan endapan emosi serta pikiran tentang hidup yang kita inginkan. Kita akan selalu mengejar hal-hal yang kita bayangkan menyenangkan dan selalu berusaha menghindari hal-hal yang kita bayangkan menyakitkan.


Padahal, pada kenyataannya, bayangan, keinginan, dan pikiran yang menyenangkan itu tidak mudah diwujudkan dan apa yang kita bayangkan menyenangkan adakalanya justru sebaliknya yang terjadi. Kita seringkali terlalu sibuk sehingga tidak bisa mengambil jarak dari kehidupan praktis mekanistis sehingga tidak bisa merenung dan membuat refleksi tentang makna dan tujuan hidup, tak ubahnya seperti pesawat terbang yang kehilangan peta titik koordinat dan tujuan akhir untuk mendarat. Seperti kasus yang pernah menimpa pesawat terbang Adam-Air beberapa tahun lalu yang akhirnya nyasar ke lautan.

Tragedi serupa banyak terjadi pada kehidupan kita semua. Bukankah perjalanan hidup ini tak ubahnya pesawat yang melaju kencang ke depan? Apa yang terjadi kalau kehilangan peta yang menjadi petunjuk jalan? Oleh karena itu fenomena munculnya busy generation mesti diwaspadai karena akan mendorong seseorang hidup bagaikan mesin berputar. Selalu sibuk bahkan super sibuk tapi kehilangan sense of meaning of life. Kesibukan tanpa pemahaman dan penghayatan yang mendalam, untuk apa dan siapa hidup ini dijalani. Kesibukan yang tanpa makna apa-apa dan sia-sia belaka.


Ada sindiran Dalai Lama yang sangat populer. Katanya; "Saya heran dengan perilaku manusia, mereka sibuk mengumpulkan uang sampai-sampai mengorbankan kesehatan dan waktu senggang untuk memelihara hubungan sosial. Anehnya, setelah uang terkumpul, semuanya habis terkuras untuk biaya berobat akibat gaya hidup yang tidak sehat." Mereka hidup pada hari ini, tapi pikiran dan emosinya meloncat jauh ke depan sehingga tidak bisa menikmati keindahan hari ini. Sementara ketika memasuki hari tua yang dijumpai ternyata tidak seindah yang dibayangkannya.

Sibuk seakan menjadi mantra baru. Ketika bertemu teman, dulu orang masih sempat ngobrol tentang kehidupan keluarga dan cerita hobi masing-masing. Sekarang hal itu telah berubah, pertanyaan yang muncul biasanya adalah: “Sekarang lagi sibuk apa?” 

Busy, busy, busy, busy, busy, busy. Busy … dead !

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 14 Desember 2012

Tidak ada komentar: