04 Januari, 2013

China Selalu Mulai dari Dasar


Pada tahun 1992 atau 13 tahun setelah China mulai mempraktikkan dua sistem dalam satu negara, kota Beijing, Shanghai, dan Guangzhou masih merupakan kampung raksasa. Infrastruktur buruk dan kemiskinan menyeruak secara dramatis. Jangankan dengan ukuran dunia, dengan skala Asia saja perekonomian China saat itu sungguh ketinggalan!

Beijing, ibu kota negara dengan penduduk 1,4 miliar jiwa ini, sangat memelas. Pada malam hari, kota gelap gulita karena tidak banyak kawasan ibu kota diterangi lampu penerangan. Gedung-gedung tinggi mematikan lampunya pada malam hari. Akibatnya jalan-jalan kota, terutama jalan-jalan besar, disungkup gulita.

Pada pagi hari, mulai pukul 06.00, semua jalan raya di Beijing yang umumnya terdiri atas enam lajur sampai sepuluh lajur penuh sesak oleh arus manusia bersepeda. Ratusan ribu bahkan jutaan manusia bersepeda melaju cepat laksana ombak yang menerjang-nerjang dan mengarus deras. Mereka memenuhi ratusan kilometer jalan-jalan di Beijing dan sekitarnya. Banyak juga mobil dan bus, tetapi jumlahnya tak sebanding dengan sepeda. Tak ayal, mobil-mobil seakan tenggelam dan tergulung ombak lautan manusia bersepeda. Pemandangan dramatis ini sungguh menggetarkan.

Kemiskinan rakyatnya terasa menyesakkan. Pada umumnya flat-flat tidak dilengkapi dengan lift. Daya beli masyarakat rendah karena gaji mereka di bawah standar. Di desa-desa, keadaannya lebih memelas lagi. Jalan-jalan antar-provinsi buruk. Perjalanan dengan bus, yang menempuh jarak 400 kilometer, acap ditempuh selama 26 jam. Bandara penuh sesak manusia yang ingin terbang ke pelbagai kota. Mereka mesti antre beberapa pekan untuk mendapatkan tiket pesawat karena sedemikian banyaknya warga yang ingin bepergian tak sebanding dengan jumlah pesawatnya.


Akan tetapi, walau dengan determinasi yang amat tinggi itu, China tetap terus maju ke depan. Pertumbuhan ekonomi dan investasi tinggi, dua instrumen yang akan memakmurkan China dan membuka lapangan pekerjaan, terus dipacu dengan kecepatan luar biasa. Bayangkan, pertumbuhan ekonomi berlari cepat: rata-rata di atas 13 persen per tahun. Negara mana yang mampu memacu pertumbuhan ekonominya sedemikian tinggi seperti itu?

Lalu pada tahun 2012 atau “hanya” 20 tahun sejak saat dramatis dan memelas itu, China kini sudah menjelma menjadi negara raksasa dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia. Cadangan devisanya saja 3,25 triliun dollar AS. Bahkan Amerika Serikat yang kini masih bertakhta sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, Jepang di urutan nomor tiga, Jerman di urutan nomor empat, dan Inggris di urutan nomor lima tidak mempunyai cadangan devisa sebanyak itu. Hal yang menarik, ekonomi Amerika Serikat selamat dari krisis ekonomi yang berat karena China turun tangan memberi dana talangan dan membeli saham perusahaan-perusahaan raksasa Amerika Serikat. Kini keadaannya terbalik, Amerika Serikatlah yang berutang pada China. Amerika Serikatlah yang memohon bantuan “Negeri Tirai Bambu” itu. Yang hebat, keadaan berbalik hanya dalam tempo 20 tahun.

Apa yang membuat China mampu membalikkan keadaan “dalam waktu sekejap” itu? Inilah pertanyaan yang banyak mengemuka saat ini. Mengapa negara yang terengah-engah akibat Revolusi Kebudayaan (1966-1976) serta miskin karena sangat menutup diri itu dapat seketika menjadi negeri raksasa ekonomi dan bahkan politik?

Menurut pengamatan Kompas, juga menurut pengakuan warga China, selama puluhan tahun tertutup dan tidak nyaman selama era Mao tidak membuat bakat bisnis yang hebat, pantang menyerah, dan etos kerja rakyat China lenyap. Maka ketika Deng Xiaoping mencanangkan sistem “dua sistem dalam satu negara”, China dengan cepat dapat mengubah diri.


Deng yang tenang dan brilian tidak langsung menerapkan sistem “dua sistem dalam satu negara” tersebut di seluruh negara (wilayah). Ia menjadikan beberapa kota semacam laboratorium ekonomi, di antaranya Shenzhen di selatan China. Diam-diam, tanpa banyak hiruk pikuk, China menyerap investasi asing hingga triliunan dollar Amerika Serikat, angka yang sangat fantastis. Sebagai perbandingan, Indonesia berharap menyerap investasi asing sebesar 50 miliar dollar Amerika Serikat per tahun saja susahnya bukan main.

Pemimpin China mampu meletupkan semua bakat rakyatnya untuk melonjakkan pertumbuhan ekonomi. China pun, terutama pada masa awal penerapan sistem “dua sistem dalam satu negara”, mengajak para usahawan dunia keturunan Tionghoa untuk membangun usaha di daratan China. Yang paling mencolok menanam investasinya adalah usahawan Hongkong, Makau, Taiwan, dan dari pantai barat Amerika Serikat. Para industriawan Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang akhirnya juga ramai-ramai membuka industri di China. Inilah salah satu faktor pemicu amat tingginya pertumbuhan ekonomi China.

Akan tetapi, terlepas dari aspek-aspek tersebut, ada sejumlah faktor menentukan yang membuat ekonomi China berkembang luar biasa. Pertama, pembangunan infrastruktur sangat luas dan menyentuh pelosok-pelosok pedalaman China. Ini secara signifikan memacu ekonomi, membuka sekat-sekat daerah yang selama ini tertutup, dan membuat rakyat leluasa bergerak. Bayangkan, setiap tahun, jalan raya yang dibangun mencapai paling kurang 70.000 kilometer. Ini belum termasuk sarana lain, seperti bandara-bandara dengan luas minimal setara Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Lalu pelabuhan-pelabuhan samudra pun dibangun di banyak kota besar di China.

Salah satu hal yang mencolok adalah sarana jalan di kota-kota tier satu China, di antaranya Beijing, Shanghai dan Guangzhou. Di Beijing, misalnya, meski sudah ada subway, namun jalan tol dan jalan lingkar tetap dibangun. Jalan lingkar di Beijing kini berjumlah lima buah, dan jalan lingkar keenam sedang menunggu penyelesaian. Bandingkan dengan Jakarta yang menyelesaikan satu jalan lingkar saja sudah terengah-engah.


Kedua, China membangun kawasan-kawasan industri dalam bentuknya yang raksasa. Industri pesawat terbang, kapal selam, kapal angkutan, senjata api, mobil rakyat kecil dan mobil luks, sepeda motor, hampir semua barang elektronik, serta pelbagai kebutuhan manusia lainnya dibangun dengan kapasitas serba besar.

Industri-industri China berkembang jauh dari dugaan awal. Mengapa? Sederhana saja, pasar dalam negeri China sendiri memang amat luas. Bayangkan, misalnya, industri pena, sepatu, dan pakaian jadi. Berapa produksinya setiap tahun? Kalau setiap penduduk China menggunakan dua pena setiap tahun, satu (saja) pasang sepatu setiap tahun, dan dua lembar pakaian setiap tahun, lalu jumlah penduduk China mencapai 1,4 miliar jiwa, maka pabrik di China mesti memproduksi masing-masing 2,8 miliar pena, 1,4 miliar pasang sepatu, dan 2,8 miliar pakaian setiap tahun.

Bisa dibayangkan betapa sibuk industri dalam negeri memenuhi kebutuhan domestik, padahal, China adalah eksportir pelbagai jenis pena, pakaian, sepatu, dan beragam produk lain. Konsumen tinggal pilih, produk asli (bukan tiruan) atau produk KW1 atau KW2. Hal yang menarik diamati adalah siapa yang bisa melawan China yang memproduksi aneka jenis barang dagangan dengan cara massal begitu? Bukankah prinsip ekonomi yang sangat mendasar adalah semakin besar kapasitas industri, maka efisiensi bisa diraih. Artinya adalah negara lain pasti susah melawan harga (efisiensi) yang disodorkan China.

Ada kisah menarik tentang hal ini. Suatu ketika ada produk korek api gas Jerman yang laris manis. Pengusaha China melihat ini sebagai peluang, lalu ia membuat juga korek api yang sama mutunya. Namun, kalau produk Jerman hanya menghasilkan warna api merah, produk pengusaha China bisa menghasilkan tiga warna api, yakni merah, kuning, dan biru. Hal ini masih ditambah harga jual separuh dari harga korek api buatan Jerman. Bisa diduga produk Jerman langsung kalah di pasar.

Contoh ini hanya beberapa kisah tentang superioritas ekonomi China yang sangat fantastis dalam waktu singkat. Dalam beberapa hal kita bisa menarik pelajaran, di antaranya karakter kerja keras, etos kerja, dan naluri bisnis.

Abun Sanda
Wartawan Kompas
KOMPAS, 2 Januari 2013

Tidak ada komentar: