15 Oktober, 2012

Pelajaran dari Maybrat


Sejak pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari sosial menjadi komersial, pendidikan —apalagi yang bermutu— semakin jauh dari kelompok miskin.

Kian mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin sering harus menyerah betapapun berprestasinya anak-anak mereka. Bahkan sekadar bermimpi menyekolahkan anak sampai setingkat SMA saja, mereka tak berani lagi.

Ada anak lulusan SMP yang berprestasi —bahkan pernah mengikuti olimpiade sains di daerahnya— terpaksa menjadi TKI. Ada lagi anak yang nekat mengikuti tes dan diterima di perguruan tinggi negeri, akhirnya mengundurkan diri. Alasannya sama, tak ada biaya lagi.

Di negeri ini ternyata tengah berlangsung proses pemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpi mereka. Tidak heran kalau dulu banyak mobilisasi vertikal lewat pendidikan. Sekarang, biaya jadi kendala utama.


Namun fenomena yang tidak biasa terkait kemiskinan dan akses atas pendidikan kami temukan di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maybrat. Di kalangan masyarakat Papua, Maybrat dikenal sebagai daerah yang warganya banyak menjadi sarjana. Bahkan tidak sedikit pejabat tinggi di kabupaten lain di Papua yang berasal dari Maybrat.

Padahal, kondisi warga Maybrat sama miskinnya dengan warga di kabupaten lain. Namun, masyarakat Maybrat bersemangat tinggi untuk memperoleh pendidikan. Apa yang membedakan Maybrat dengan masyarakat lain di Papua?

Pertanyaan ini muncul ketika mendata keluarga miskin di kampung-kampung. Ternyata banyak anak-anak mereka yang mengenyam pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tidak sedikit anak dari keluarga miskin di daerah ini yang mampu menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan, banyak pula yang menempuh pendidikan tinggi di Jawa.

Jawabannya kami temukan dalam diskusi bersama komunitas-komunitas kampung di Kabupaten Maybrat. Meski berbeda kadarnya, ada semacam spirit gotong royong yang berlaku umum dan dipelihara oleh masyarakat kampung di Maybrat. Spirit ini dalam bahasa setempat disebut anu beta tubat, yang artinya bersama kami mengangkat.


Spirit yang Menyatukan
Spirit anu beta tubat menyatukan masyarakat Maybrat untuk memprioritaskan pendidikan. Ibarat lidi yang bila disatukan sulit dipatahkan, demikian pula kekuatan spirit anu beta tubat bagi keluarga-keluarga miskin di Maybrat. Betapa pun miskinnya, mereka tidak menyerah dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka. Berbagai hambatan diatasi bersama.

Spirit anu beta tubat semakin menguat setelah masyarakat memetik dan merasakan buahnya. Melihat perubahan positif pada karakter anak-anak mereka yang mendapatkan pendidikan, para orangtua tidak ragu lagi mengirim anak mereka ke sekolah. Melihat anak-anak yang berpendidikan mudah memperoleh pekerjaan, masyarakat berlomba menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka bergotong royong dan berjibaku bersama membiayai pendidikan anak. Dulu untuk mengirimkan anak ke sekolah saja para orangtua harus didorong-dorong. Kini, pendidikan telah mereka tempatkan sebagai prioritas dan spirit anu beta tubat menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai hambatan.

Spirit gotong royong untuk pendidikan itu bisa ditemukan di kampung-kampung untuk berbagai tingkatan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar, spirit itu mewujud dalam upaya masyarakat menjaga keberlangsungan pendidikan di kampung mereka.


Untuk membuat guru betah mengajar di kampung, di antaranya mereka bergotong royong membuatkan kebun, membangun tempat tinggal, dan menyokong bahan makanan bagi guru yang baru ditempatkan di kampung mereka.

Masyarakat juga bergotong royong membangun atau memperbaiki bangunan sekolah, membantu pengadaan mebel, membayar gaji guru honorer, membeli buku-buku pelajaran, dan membantu biaya ujian.

Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, baik SMP atau SMA, kebanyakan anak di Maybrat harus keluar dari kampungnya dan bersekolah di kota kecamatan, di kota kabupaten atau di kota provinsi. Mereka tinggal di asrama atau menumpang pada keluarga-keluarga di kota. Baru tingkat SMP saja orangtua sudah harus mengirimkan uang tunai setiap bulan. Padahal, penghasilan mereka sebagai petani tidaklah menentu.

Untuk menghemat biaya, masyarakat kampung membangun asrama atau rumah tinggal bersama bagi anak-anak yang bersekolah di kota. Salah satu atau beberapa warga ditunjuk untuk mengurus asrama dan mengawasi anak-anak dalam belajar. Sistem “asrama” atau “rumah tinggal bersama” ini sangat membantu para orangtua yang tidak memiliki keluarga di kota.

Pada tingkat perguruan tinggi, anu beta tubat diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk meringankan beban biaya pendidikan. Orangtua biasanya menanggung biaya bersekolah di SMP dan SMA, sementara biaya hidup anak selama belajar di kota dibantu oleh masyarakat kampung atau keluarga di kota.


Dukungan Keluarga Besar
Bentuk dukungan masyarakat kampung bagi keluarga yang anaknya menempuh pendidikan tinggi bermacam-macam. Ada yang bergotong royong menanggung biaya pendaftaran, pembelian sarana-prasarana, membayari biaya skripsi, biaya wisuda, dan lainnya. Dukungan paling besar datang dari keluarga besar orangtua masing-masing.

Anak-anak yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi akan menjadi kekuatan dan modal bagi masyarakat kampung dalam menjalankan dan memperkuat spirit anu beta tubat. Mereka punya tanggung jawab lebih dalam mengangkat anak-anak lain. Kalau tanggung jawab itu tidak mereka jalankan, masyarakat akan menempatkan mereka dalam barisan orang yang tidak berguna.

Spirit anu beta tubat memberi inspirasi tentang bagaimana kemiskinan dan lemahnya akses kaum miskin atas pendidikan dapat diatasi. Pada saat negara tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai hak asasi —sehingga pemerintah kurang serius dalam menjalankan komitmen untuk mewujudkan pendidikan bagi semua— masyarakat dapat bahu-membahu mengembalikan pendidikan sebagai prioritas.


Saat negara kehilangan daya dalam memenuhi hak warga atas pendidikan, masyarakat dapat berjibaku untuk secara bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa yang cerdas tidak akan dapat dicapai selama kaum miskin masih sulit mengakses pendidikan.

Kami membayangkan banyaknya kemajuan yang bisa kita capai sebagai bangsa seandainya satu warga yang mampu secara ekonomi berkomitmen menyekolahkan satu anak keluarga miskin. Kami yakin, sumber daya warga yang terbatas apabila disatukan akan menjadi kekuatan yang dapat mengembalikan bangsa ini sebagai bangsa yang punya masa depan. Masyarakat Maybrat di Papua Barat telah membuktikannya.

Sri Palupi
Ketua Institute for Ecosoc Rights
KOMPAS, 9 Oktober 2012

Tidak ada komentar: