31 Oktober, 2008

Krisis Finansial dan Korporasi Ulat


Tumbangnya raksasa keuangan Lehman Brothers Holdings Inc membawa dampak ikutan (contagion effect) luar biasa. Ini terjadi karena Lehman Brothers tidak sendiri. Pelaku besar lain juga sempoyongan. Sejumlah perusahaan, mulai asuransi terbesar di dunia -American International Group Inc- hingga perusahaan sekuritas besar, seperti Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs, limbung. Mereka adalah lokomotif dan episentrum pembawa gerbong panjang. Bisa dibayangkan massifnya dampak negatif yang ditimbulkan. Kepanikan tidak hanya melanda bursa, dari Wall Street hingga Jakarta, tapi juga indeks harga saham merosot, dan kini kerisauan menghantui pelaku sektor riil.

Untuk mengatasi krisis keuangan, sejumlah negara melakukan berbagai langkah, terutama menyuntikkan dana talangan (bailout). Krisis keuangan menelan biaya yang begitu mahal. Amerika Serikat menginjeksi modal sembilan bank besar US$ 250 miliar dan mengikuti langkah Eropa menasionalisasi perbankan. Belum lagi paket dana talangan US$ 700 miliar untuk menyelamatkan pasar. Langka serupa diikuti Inggris, yang memompa dana US$ 691 miliar untuk menggenjot likuiditas. Jerman mengikuti (US$ 679 miliar), Irlandia (US$ 549 miliar), Prancis (US$ 494 miliar), dan Norwegia (US$ 57,4 miliar). Langkah serupa ditempuh negara-negara di Asia untuk menyelamatkan diri.

Sejauh ini ada banyak analisis yang menjelaskan kehancuran pasar finansial AS, mulai kebijakan defisit besar Presiden Bush, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, sampai tindakan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers. Namun, inti masalahnya ada dua (Prasetyantoko, 2008). Pertama, gejolak ini semata-mata kesalahan prosedur tata kelola yang mengakibatkan kegagalan pasar (market failure). Solusinya sederhana: usaha penyelamatan oleh negara.

Kedua, akar masalah ada pada sifat alamiah perekonomian itu sendiri. Sumber instabilitas ekonomi (finansial) ada pada dirinya sendiri (endogen), bukan faktor luar (eksogen). Krisis terjadi jika pelaku ekonomi terlalu ekspansif dan spekulatif dalam kebijakan keuangan, sehingga tak mampu membayar kewajibannya. Karena instabilitas bersifat endogen, campur tangan pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan jika telah terjadi masalah (ex-post), tapi sebelum terjadi (ex-ante). Sayang, intervensi, selain mengundang moral hazard, dianggap restriktif terhadap inovasi dan perkembangan.

Apa yang terjadi pada Lehman dan perusahaan finansial lainnya adalah absennya kehati-hatian (hedge). Sistem finansial modern memungkinkan semua pelaku keuangan bersikap spekulatif. Masalahnya, sistem keuangan semacam itu tidak adil bagi publik. Jika mereka (baca: korporasi) untung, hasilnya diprivatisasi (dimiliki privat), tapi jika rugi, bebannya dibagi kepada pihak lain. Karena ukurannya terlalu besar, pemerintah harus turun tangan menyelamatkan mereka. Untuk Indonesia, contohnya kasus BLBI 1998.

Inilah saatnya memikirkan ulang format kebijakan ekonomi, baik di level mikro (perusahaan), nasional, maupun global. Pertanyaan krusialnya, mungkinkah sistem yang mengandalkan fundamentalisme pasar seperti saat ini tidak akan bertahan? Kasus ini, untuk kesekian kalinya, menunjukkan intervensi negara amat diperlukan untuk mencegah terjadinya krisis. Apa yang harus dilakukan? Selain membuat aturan tata kelola (good governance) yang canggih dan ketat, di level mikro amat mendesak mengatur korporasi.

Sejarah mengajarkan, aneka krisis sebagian besar dipicu oleh perilaku korporasi yang tidak taat tata kelola. Ironisnya, dari tahun ke tahun, pengaturan korporasi -terutama korporasi transnasional (TNCs)- kian buruk. Padahal korporasi paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global, dan pengurasan sumber daya di seluruh dunia serta memiliki andil besar pada munculnya pola-pola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif (Khor, 2003). Dan kini korporasi terbukti jadi biang keladi segala krisis. Kesalahan terbesar berbagai kesepakatan penyelamatan lingkungan atas pembangunan ekonomi adalah kealpaan memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan, dan TNCs.

Upaya menyelesaikan kode etik bagi TNCs (Code of Conduct on TNCs) secara formal terhenti pada 1993. Sedangkan badan yang bertanggung jawab tentang hal itu, The UN Center on TNCs, dibubarkan. Dengan demikian, institusi, inisiatif internasional dalam penyusunan pedoman perilaku TNCs, dan yang menetapkan aturan mengenai hak serta kewajiban TNCs tak ada lagi. Global Compact Initiative yang diinisiasi PBB -yang meminta korporasi bertanggung jawab dan berperilaku bisnis sehat- tidak efektif karena sifatnya tidak mengikat, tapi sukarela. Kini arus balik justru kian kuat, yakni kecenderungan mengurangi dan menghilangkan peraturan demi peraturan yang dibuat pemerintah guna mengatur perusahaan. Di saat yang sama, lantaran kekuatan, lobi, dan kedekatannya dengan organisasi multilateral, ada kecenderungan TNCs diberi hak-hak dan kekuasaan yang kian besar. Kontrol negara atas perilaku korporasi dihilangkan.

Caranya? Di satu sisi, lewat deregulasi, bisnis melepaskan dari aturan, di sisi lain, privatisasi memungkinkan korporasi mengelola berbagai area dalam hidup bersama yang tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Gejala ini oleh Noreena Hertz (1999) disebut "pengambilalihan diam-diam" (silent take-over). Bisnis dalam rupa korporasi menjelma menjadi institusi yang sangat dominan, yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas sipil. David Korten menyebut, korporasi kini jadi pengatur dunia.

Sejarah korporasi sebenarnya masih baru. Namun, korporasi terus eksis, bahkan kian merajalela: dari 7.000 TNCs (1970-an) menjadi 37 ribu (1990-an). Selama 150 tahun, seperti diuraikan Joel Bakan dalam The Corporation (2004), korporasi telah berkembang dari entitas yang tak dikenal menjadi institusi yang mendominasi perekonomian dunia, mempengaruhi dan mengatur masyarakat, menggantikan negara. Masalahnya, menurut ahli pembangunan John Elkington (2001), dari empat metafora korporasi -ulat (caterpillar), belalang (locust), kupu-kupu (butterfly), dan lebah madu (honeybee)- dunia disesaki korporasi ulat.

Korporasi kupu-kupu dan lebah madu menumbuhkan (regeneratif), model bisnisnya sustainable, terus berinovasi, memiliki kemampuan terus tumbuh, taat etika bisnis, dan ramah sosial. Ini berbeda dari korporasi ulat (dan belalang) yang bersifat merusak (degeneratif), memiliki model bisnis tak sustainable, cenderung melampaui daya dukung ekologi, sosial, dan ekonomi, serta secara kolektif menghasilkan dampak regional dan bahkan global. Seperti ulat, sistem ekonomi (yang didominasi korporasi ulat) akan melahap kapital alam dan sosial. Itulah yang terjadi saat ini. Krisis ini, sekali lagi, mengajarkan perlunya mengatur perilaku korporasi.

Khudori, Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Koran TEMPO, 30 Oktober 2008

Tidak ada komentar: