Adanya lintang kemukus yang muncul di langit dini hari adalah benar-benar pertanda alam akan adanya pageblug. Dan 40 hari kemudian, ternyata perang saudara meledak. Tidak hanya di daerah kami, malahan di seluruh negeri, sejak terdengar berita terbantainya para jenderal di sebuah lubang sumur di pinggiran kota Jakarta.
Setahun kemudian, suatu malam, aku dan Mulyono, sahabat karibku, bersama regu ronda dengan komandan Mas Parman, seorang pimpinan gerakan pemuda, mendapat tugas rutin dari aparat yang sungguh tidak kami harapkan. Yakni tugas sebagai tukang kubur. Berpuluh-puluh orang diturunkan dari truk di tengah kebun jati, dengan kedua ibu jarinya diikat kawat. Setelah ikatannya dilepas, di bawah ancaman tendangan dan pukulan pistol, setiap empat orang diharapkan menggali sebuah lubang selebar dua meter. Akhirnya mereka diharuskan berjongkok menghadap lubang, dan dentuman-dentuman pistol bergema. Kami memejamkan mata atau melengos ke samping. Hanya Mas Parman yang tampak tegar melihat eksekusi ini.
“Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti ini. Bayangkan! Kalau mereka menang, akan jadi apa kita?! Kita pun akan disembelih seperti para jenderal itu,” nasihat Mas Parman kepada kami.
Malam-malam seterusnya adalah malam kematian. Kehidupan hanya sebatas jangkauan lampu minyak yang tergantung di gardu ronda. Selebihnya adalah gelap semata. Di gardu jaga, kami lebih banyak diam berselimut sarung, meringkuk dan merapat ke dinding. Binatang malam pun tak terdengar suaranya. Warga kampung juga lebih menyukai mematikan lampu dan bersembunyi dari ketakutan ke dalam kegelapan. Hanya Mas Parman yang selalu siaga mondar-mandir di depan gardu.
Monumen Lubang Buaya, Jakarta.
Suatu kali, kata sandi yang kami terima dari kelurahan adalah rokok-kelembak. Adalah tugas kami para pemuda yang memperoleh giliran jaga untuk mencegat siapa saja yang keluar malam hari dan menegurnya dengan kata sandi rokok. Bila tidak menyahut dengan kata kelembak, kami berhak memukulinya dan menyerahkan ke aparat setempat.
Menjelang tengah malam, terlihat seorang berjalan terbungkuk-bungkuk melintas di depan gardu kami sambil membawa upet sebagai penerang jalan.
“Stop! Rokok!” teriak Mas Parman.
Ternyata orang itu adalah Mbah Warso yang kami kenal sebagai penggali sumur di kampung kami. Dia kaget dan tergagap. Dia keluarkan sebungkus rokok keretek dari sakunya, sambil katanya: “Rokok Man? Nih!” Tapi uluran tangannya ditepis oleh Mas Parman hingga rokoknya terpental.
“Dari mana kamu!” tanya Mas Parman garang.
“Dari jagong bayen, Man …” jawab Mbah Warso terheran-heran.
Tiba-tiba, plak! Mas Parman menampar muka Mbah Warso dan perintahnya kepada kami: “Tangkap! Bawa ke markas!”
Beberapa hari kemudian, setengahnya aku protes kepada Mas Parman, terhadap penangkapan Mbah Warso itu, tapi ujarnya dengan keras, “Dia adalah salah satu saksi mata dan mungkin antek mereka! Berapa banyak dia menerima pesanan menggali sumur dari siapa-siapa yang menggunakan galiannya seperti di Lubang Buaya.”
Hatiku berdesir, saya mengetahui bahwa ternyata Pak Hardi, tetangga saya, aktivis partai, juga membuat galian sumur di belakang rumahnya, meskipun sudah memiliki sumur di samping rumah. Bukan tidak mungkin aku pun akan menghuni galian itu apabila mereka menang seperti kata Mas Parman.
“Kamu lihat!” kata Mas Parman kepada kami. “Mereka mau menantang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa.” Kemudian dia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. “Dan ini mereka-mereka yang harus diciduk malam ini!”
Dari mana Mas Parman mendapatkan daftar itu, kami tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas Parman bagaikan panglima perang, bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor pintu rumah dan menyeret para lelakinya. Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, maka yang ada di rumah adalah sebagai gantinya. Para istri atau para kakek pun diciduk pula tanpa ampun. Termasuk Mbak Sri yang sedang hamil tua.
“Mereka sangat diperlukan untuk interogasi, ke mana mereka yang masih jadi buronan?!” ujar Mas Parman, sebelum aku berniat protes.
Ketika kemudian para tawanan bergiliran dipanggil ke dalam, kemudian terdengar bentakan suara Mas Parman dan kemudian terdengar raungan menyayat orang kesakitan, perutku jadi terasa mual dan aku pun muntah-muntah. (Kudengar beberapa waktu kemudian, Mbak Sri meninggal di tahanan dengan benjolan-benjolan memar di sekujur tubuhnya).
Semakin lama tugas kami semakin berat. Kecuali siap siaga siang malam, hampir setiap tengah malam kami harus mengubur berpuluh-puluh mayat. Bahkan kamilah yang menggali kubur apabila yang datang sudah menjadi mayat. Bila sudah begini, kepalaku semakin berkunang-kunang, peluh dingin membuatku menggigil, perut mual, muntah-muntah, dan tidak jarang jatuh tak sadarkan diri. Juga Mulyono, kalau bertugas mengubur mayat, peluh dingin membasahi dahinya, tangannya gemetar, serta suka menggigit bibirnya sampai berdarah-darah. Oleh karena itu, Mas Parman menyuruh aku dan Mulyono istirahat cuti beberapa hari di rumah.
Rupanya api dendam telah membakar seluruh rakyat. Penangkapan warga terhadap warga sendiri yang dicurigai mempunyai indikasi, mulai merebak. Yang kusaksikan kemudian adalah keadaan tak terkendali. Baku curiga, baku tuduh, baku fitnah, dan baku bantai antara warga sendiri. Rupanya Mulyono juga mempunyai perasaan seperti aku. Kerap kali kami menghindar dari tugas itu dengan berbagai alasan. Bahkan kami pernah sembunyi di dalam hutan beberapa lama karena mencoba berpikir waras untuk melawan kengerian yang juga bisa membuat kami sekarat. Karena itu, aku sempat digelandang Mas Parman ke balai desa.
Di depan warga ia berucap dengan berang, “Jangan jadi orang banci! Dasar anak yatim, kalau bukan sepupuku sendiri, sudah aku ciak kamu!” Kutahan perasaan untuk tidak menangis mendengar caciannya.
Dan malapetaka itu pun terjadi. Setiap malam, berpuluh tahanan dibawa ke sungai pasir di lereng gunung merapi. Mas Parman memaksaku untuk menghabisi Marjo, pemuda tetanggaku yang selalu berseragam hitam dengan sapu tangan merah di lehernya. Dengan tangan terikat, dia harus menghadap lubang galian pasir. Aku siap dengan pistol di belakangnya. Terdengar aba-aba siap. Peluh membasahi telapak tanganku. Badanku menggigil. Kepalaku berkunang-kunang. Perutku mual, mau muntah .…
“Tembaaak!” teriak aba Mas Parman. Tiba-tiba Marjo berbalik menghadapku bersamaan dengan tekanan pelatuk pistolku. Matanya menatapku tajam. Tepat di dadanya muncrat darah mengenai mukaku. Jantungku seperti terhenti, kemudian hanya kegelapan menerpa pandanganku .… Dan kemudian yang tersisa hingga sekian lama adalah tatapan mata Marjo yang selalu mengikutiku.
“Kamu tahu, Aryo,” ceritanya. “Setelah aku lulus dan mulai praktik, beberapa kali aku kedatangan pasien yang sama. Lelaki kurus, pucat, dan bermata cekung. Setiap kutanya sakit apa, dia buka bajunya dan tampak perutnya robek menganga dengan usus yang terburai. Sesudah itu aku tak tahu dia pergi karena aku pingsan. Hingga aku pun juga hampir jadi gila. Tapi sekarang aku tenang, setelah bisa aku atasi dengan tekun beribadah.”
“Sekarang Mas Parman di mana ya?” tanyaku. Cepat dia jawab dengan pandangan aneh seperti mengandung rahasia. “Oh ya, kau harus tengok dia. Dia sempat diangkat jadi camat. Sekarang dia sakit. Beberapa kali dia dibawa kemari. Dia sekarang tinggal di desa kelahirannya sana!”
“Tidak apa-apa, biar saja Mas,” ujarnya, “sejak jadi camat, penyakit aneh ini selalu timbul ketika diingatkan tentang masa lalunya. Tapi saat hendak dibawa ke dokter, penyakitnya selalu hilang dengan sendirinya.”
Ah, masa, pikirku. Dengan setengah memaksa, kubawa dia dengan mobil ke tempat Mulyono. Begitu sampai di depan pintu ruang praktiknya, mendadak penyakit Mas Parman hilang dengan sendirinya. Rintihannya berhenti dan wajahnya penuh ketidakmengertian.
Mulyono keluar. Senyumannya aneh menyambut kami .…
Catatan:
Lintang kemukus: meteor berekor asap
Pageblug: musim kematian manusia
Upet: tali bambu kering yang dibakar ujungnya
Jagong bayen: menghadiri selamatan kelahiran bayi
Jagabaya: aparat keamanan kelurahan
Diciduk: ditangkap
Ciak: makan
Rokok kelembak: rokok berbumbu menyan
GM Sudarta
Klaten, 2003
https://cerpenkompas.wordpress.com/2006/10/01/cerita-tentang-orang-mati-yang-tidak-mau-masuk-kubur/