Nurcholis Majid, Syafi'i Maarif, Amien Rais,
Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Kuntowijoyo
Tapi saya membayangkan, bahwa pada pertengahan dasawarsa ’80-an Indonesia akan panen intelektual Muslim, yang akan menguasai dunia wacana. Maka sambil memimpin LP3ES, saya merancang pendirian lembaga-lembaga baru. Saya ikut membidani beberapa lembaga baru di luar LP3ES, yaitu LSP yang dipimpin oleh Adi Sasono, PPA, oleh M. Amin Azis dan juga Paramadina yang saya pimpin sendiri sebagai direktur eksekutif pertama. Hadimulyo menggerakkan HP2I di Ciputat. Polanya sama, mengkombinasikan gerakan sosial dan pemikiran.
Saya ingat betul, ketika itu saya mulai asyik mempelajari al-Quran karena dirangsang oleh Fanani, salah seorang murid Isa Bugis, yang namanya saya ketahui dari coretan-coretan di pagar madrasah al-Hayatul Islamiyah, di kampung saya, Cawang, sampai kemudian saya mengembara ke berbagai pesantren untuk menggerakkan diskusi al-Quran dengan para ustadz muda, seperti Habib Chirzin dari Pabelan.
Fanani, Isa Bugis dan Dawam Rahardjo
Tentang al-Quran saya punya beberapa ide: menyelenggarakan Kongres al-Quran, komputerisasi al-Quran, menyusun Ensiklopedia al-Quran dan menerbitkan majalah yang diilhami oleh al-Quran. Karena itu majalah yang saya dorong terbit, bernama “Ulumul Qur’an”. Kongres al-Quran telah terselenggara di Hotel Sahid Yogya, bekerjasama dengan UII. Saya juga minta bantuan Pak Munawir untuk melakukan komputerisasi al-Quran, tapi saya hanya berhasil menyampaikan gagasan itu saat MTQ-di Lampung. Sebetulnya saya ingin agar Kongres al-Quran itu dilaksanakan pada setiap acara MTQ. Saya waktu itu minta bantuan Hery Ahmadi –Pakar komputer yang saya kenal pada waktu itu. Saya punya gagasan kongkret bagaimana mendigitalisasi al-Quran berdasar informasi mengenai kemampuan komputer dari Hery Ahmadi.Ternyata telah banyak orang lain yang melaksanakannya.
Dan alhamdulillah, terbitlah Ulumul Qur’an. Mula-mula saya berfikir, bahwa yang menyusun Ensiklopedia adalah para ahli tafsir. Tapi itu tidak terjadi, walaupun banyak ahli tafsir al-Quran, ternyata mereka tidak bisa membuat tafsir. Karena itu maka gagasan itu saya laksanakan sendiri, tanpa gentar terhadap kritik. Bondo nekad. Di UQ itulah saya nekad menulis rubrik Ensiklopedia al-Quran. Dan masih banyak ide yang ingin saya tulis.
Ketika akan menerbitkan Ulumul Qur’an, saya sering menulis makalah tentang tema-tema kajian Islam pada waktu itu. Saya temukan beberapa gagasan: Reaktualisasi Ajaran Islam, Pak Munawir Sadzali, Future Study atau Futurology oleh Ziauddin Sardar, Studi Peradaban, Malik bin Nabi, Pribumisasi Islam, Abdurrahman Wahid. Islamization of Knowledge, Ismail Faruqi dan Syed Naquib Alatas, Rethinking Islam, Mohammad Arkoun. Sedang saya sendiri punya gagasan mengenai studi al-Quran dan sastra religius (sebenarnya juga Ekonomi Islam). Dari situlah lahir rubrik-rubrik dalam Ulumul Qur’an waktu itu. Jadi UQ pada waktu itu dilatar belakangi oleh “proyek gagasan”, meminjam Hasan Hanafi (proyeknya sendiri adalah Islam al-Yasar). Di Mesir juga lahir gagasan al-mujtama’ al-madani, suatu gagasan yang tepat untuk Dunia Islam. Gagasan-gagasan seperti itulah yang bisa diproyekkan dalam UQ menjadi wacana ilmiah.
Akhirnya pada tahun 1998, UQ berhenti terbit karena kenaikan harga kertas. Saya depressed banget. Perasaan yang sama dialami oleh teman-teman yang lain. Tapi dari kalangan luas, timbul dorongan-dorongan untuk menerbitkan kembali UQ. Akhirnya alhamdulillah, berkat bantuan Herdi SRS saya dipertemukan dengan investor yang sudah berhasil di bidang penerbitan, “Inilah.com group”. Insya-Allah, dengan dukungan Anda semua, UQ akan segera terbit lagi, mungkin di bulan April 2012.
Tapi saya terlebih dahulu ingin tahu pendapat kawan-kawan, terutama para senior pimpinan UQ. Pertama kali saya hubungi Hadimulyo, Pemimpin Umum UQ waktu itu. Suatu pagi, dalam perjalanan menuju ke Yogya saya telepon dia. Mas Hadi menyambut sangat antusias, tetapi masih ragu bergabung aktif, katanya “sudah tua”. Emangnya umurnya sudah berapa? Ternyata ia ingin saounding dulu dengan teman-teman, lewat facebook. Hasilnya di luar dugaannya. Begitu antusias, kawan-kawan mengirim sambutan yang dikirimkian via email ke Mbak Mala. Saya baca, alhamdulillah, luar biasa. Dan Mas Hadi pun, menurut Mbak Mala merasa mantap untuk bergabung kembali. Ini merupakan dukungan moral yang besar.
Dawam Rahardjo dan Hadimulyo
Saya telepon yang lain-lain. Fachry Ali dan Deden Ridwan menanyakan apakah diperlukan konsep baru atau menghiduplan kembali yang sudah menemukan bentuknya (Rubrik: aktualisasi, tafsir, khasanah, futurologi dan seni-budaya)? Deden menyambut penerbitan baru. Cuma dia bilang, perlu penyempurnaan. “Bahasanya diperingan Mas, Jangan hanya bisa dibaca oleh orang-orang pinter saja.” Kawan di kantor LSAF, Solahuddin, punya pengalaman penerbitan di Kairo dan tahu jaringan, lulusan Al-Azhar yang lagi menyiapkan proposal itu punya gagasan yang serupa: “Audience UQ hendaknya diarahkan ke kalangan menengah ke bawah”. Ini adalah aliran jurnalistik saat ini.
Respon saya: apa maunya UQ menjadi majalah dakwah semacam “Hidayatullah” atau “Gema Islam?” Ataukah menjadi majalah berita semacam “Umat” yang jurnalistik? Atau semacam Madina, yang ilmiah tapi agak diperingan bahasa maupun tema-temanya? Teman Andi Suruji dari grup “Inilah.Com” menginginkan majalah dengan artikel ringan dan popular yang terbit mingguan setebal 68 halaman. “Kita harus mengikuti trend, waktu membaca orang sekarang sedikit ”, katanya. “Di AS, jurnal-jurnal ilmiah sudah pada berguguran,” tandasnya.
Waduh, bagaimana ya? Apa kita harus mengikuti trend popular. Saya justru ingin melawan arus. Orang sekarang jangan terlalu sibuk rutin mengikuti run away world. Istirahat dong. Saya ingin menghidupkan kembali budaya baca sebagai cara rekreatif. Minum kopi. santai pegang majalah. Pergunakan waktu luang untuk membaca. Untuk rekreatif, kontemplatif. Baca puisi, cerpen, dan esai, sungguh merangsang otak untuk berpikir. Kalau bisa menulis subuh-subuh dong. Mosok kerja terus, sebentar baca koran. Itupun headline-nya doang. Maka deliteralisasi dong nanti. Manusia jadi robot. Baca Ulumul Qur’an dong, yang mencerahkan pikiran dan rohani.
Jadi gagasan saya adalah:
1. UQ harus menjadi jurnal pencerahan rohani dan akal-pikiran.
2. UQ adalah jurnal pemikiran, yang mengundang pemikiran para pemikir.
3. Artikel utamanya adalah analisis public issue dan public policy yang menjadi trend setter dan menjadi rujukan pengambil keputusan.
4. Style bahasanya adalah literer, cerdas dan jernih, yang pasti enak dibaca. Tapi jernih kan tidak harus memakai bahasa jurnalistik. Bahasa ilmiah-lah, tapi yang jernih. Jika pikirannya jernih, tulisannya pun juga jernih. Kalau tulisannya ruwet, pikirannya yang sebenarnya ruwet. Bukankah al-Quran itu qaulan tsaqiila? Tapi kalau kita serius baca, ternyata enak juga kan?
5. Tulisan yang dimuat dipilih di antara yang punya sudut pandangan lain, pandangan baru, pandangan dari luar. Misalnya pandangan Syi’ah yang lain. Karena itu corak pemikirannya adalah pluralis-liberal-progresif. Kalau lain, tentu menarik. Tak usah diperingan-ringan lewat bahasa. Nanti norak. Keindahan sastra itu bukan terletak pada kulitnya, tetapi isinya yang indah.
6. Di bidang pengetahuan, berusaha menampilkan rediscovery, misalnya perekonomian atau pluraisme di Zaman Turki Usmani. Kalau aktual, menemukan temuan statistik yang mengejutkan. Coba kemukakan, misalnya, berapa luas perekonomian kita dikuasai asing?
7. UQ berusaha membangkitkan pemikiraan Islam, walaupun dalam konteks perbandingannya dengan pemikiran lain.
8. UQ bisa saja mempunyai suatu proyek pemikiran tertentu, misalnya “filsafat Nusantara”, “demokrasi Indonesia”, atau “civil economy”.
9. UQ akan banyak meliput perkembangan Dunia Islam dan Muslim minoritas.
10. Perwajahan luar dan dalam bersifat artistik, misalnya menampilkan ornamen, kaligrafi, lukisan, vignette, dan lain-lain.
11. UQ akan meramaikan dunia sastra.
12. UQ menampilkan berita-berita dan peristiwa budaya.
13. Puisi dan cerpen adalah rubrik tetap yang menyegarkan dan romantic.
14. UQ harus membawa angin segar, damai, saling menghargai, rukun walaupun bisa berbeda pendapat.
15. UQ harus menjadi “Penyebar Semangat” kebangkitan Islam yang damai, yang rahmatan lil ‘alamin.
1. Public issue, public policy. Teorisasi kondisi realitas dan perkembangan masyarakat, misalnya: No.1 berjudul “Korupsi, Demokrasi dan Kapitalisme” atau “Musim Semi Arab”, “Peta Pemikiran Islam Timur Tengah”.
2. Dunia al-Quran, antara lain Ensiklopedia al-Quran.
3. Dunia Islam. Laporan perkembangan di dunia Islam, artikel-artikel dari Timur Tengah yang lagi ngetrend. Atau dari Turki dan Iran. Kata teman-teman Kairo, banyak yang menarik dalam trend baru pemikiran Dunia Islam.
4. Sastra dan kebudayaan; puisi, cerpen, esai kebudayaan.
5. Khazanah atau Rediscovery zaman Klasik.
6. Bumi Manusia. Berisi kehidupan beragama di Indonesia.
7. Ekonomi Islam dan pembangunan.
Rubrik-rubrik itu disajikan dalam berbagai bentuk.
1. Iftitah, membuka cakrawala pemikiran.
2. Editorial redaksi. Pengantar isi.
3. Dialog (bukan wawancara lho).
4. Tokoh atau sosok. Bisa sosok sejarah atau pelaku sekarang.
5. Liputan, bisa gagasan, tradisi, bumi wisata seperti kota-kota batik dan komunitas Cina di Lasem, masyarakat Tengger, masyarakat Badui dan semacamnya.
Tapi dipilih yang unik. Rediscovery.
1. Pembahasan buku.
2. Liputan seminar, konperensi, diskusi.
3. Kelompok-kelompok epstemik.
1. DEMOKRASI
2. EKONOMI KREATIF
3. KEADILAN
4. KEHIDUPAN BERAGAMA
5. TRADISI
6. BUDAYA PERUSAHAAN
7. GENDER
8. MINORITAS
9. BIROKRASI
10. TEKNOLOGI
11. TOKOH-TOKOH
12. KEMISKINAN
13. HASIL PENELITIAN
14. LAPORAN SEMINAR
15. KRIMINALITAS
16. TOKOH-TOKOH SUFI KEBANYAKAN
17. SEMINAR KREATIF
18. ILMUWAN
19. TOKOH DAERAH
20. KOMUNITAS
Bagaimana teman-teman, pandangan Anda? Tolong dong, komentar, kritik dan saran. Pokoknya saya akan mengelola UQ dengan perasaan, cinta, dan dengan rasa seni, penuh diskusi di kantor. Setiap nomor harus memuaskan. Pokoknya setiap artikel, kelak bisa dikumpulkan menjadi buku berseri. Para dosen dan mahasiswa harus bangga menenteng UQ. Biar UQ menjadi bahan diskusi di warung-warung kopi.
Jakarta, 23 Februari 2012
Sumber: Akun fb Dawam Rahardjo