Brian McNair, Guru Besar Jurnalistik Universitas Strathclyde, Inggris, belum lama ini menulis buku Journalists in Film: Heroes and Villains (2010). Dalam buku ini, McNair menggambarkan bagaimana sosok jurnalis dari 72 film yang diproduksi tahun 1997-2008. McNair mengatakan, secara umum ada dua karakter yang sangat bertolak belakang dari film-film yang menggambarkan para wartawan tersebut: wartawan sebagai pahlawan (hero), atau wartawan sebagai penjahat (villain).
Sebagai pahlawan, ada empat tipologi lebih jauh terhadap diri wartawan, yaitu dalam rupa sebagai ‘anjing penjaga’ (watchdog), sebagai saksi peristiwa (witness), sebagai sosok pemberani dalam masyarakat, dan sebagai tokoh dalam masyarakat.
Tipologi wartawan sebagai pengontrol kekuasaan umumnya menunjuk pada karya wartawan yang kemudian menjatuhkan kekuasaan korup dan membongkar kecurangan yang tersembunyi. Film dalam tipe ini adalah All The President’s Men, The Insider, dan Good Night and Good Luck.
Film klasik All the President’s Men mengambil kisah nyata perjuangan dua wartawan The Washington Post yang menemukan keterlibatan Presiden Nixon dalam penyadapan terhadap kantor Partai Demokrat. Film The Insider menggambarkan perjuangan produser televisi CBS, Lowell Bergman, untuk bisa menghadirkan wawancara dengan Jeff Wygan, bekas kepala penelitian dari perusahaan rokok Brown & Brown. Wawancara bisa dilakukan, tetapi menayangkan utuh hasil wawancara tersebut adalah perjuangan tersendiri, di bawah bayang-bayang tuntutan dari perusahaan rokok tempat Wygan pernah bekerja.
Sosok wartawan sebagai saksi menunjukkan bagaimana kegigihan wartawan untuk menjadi pewarta tentang satu peristiwa atau tragedi di suatu tempat ke dunia luar. Umumnya mereka adalah para koresponden di luar negeri atau koresponden perang. Film-film dengan tema ini misalnya Salvador, Welcome to Sarajevo, The Hunting Party, dan A Mighty Heart.
Wartawan sebagai sosok pemberani hadir dalam sejumlah film seperti Veronica Guerin, Lions for Lamb, dan The Life of David Gale. Veronica Guerin mengambil kisah nyata wartawati asal Irlandia yang gigih menggempur kekuasaan kartel narkoba. Namun, keberanian yang ia miliki ini harus ditebus dengan kematiannya.
Sementara wartawan yang digambarkan sebagai tokoh dalam masyarakat dan menjurus menjadi selebritas tergambar dalam film Capote dan Infamous. Kedua film ini menggambarkan sosok Truman Capote, jurnalis, bersama dengan Tom Wolfe dikenal sebagai jurnalis yang merintis cara penulisan jurnalistik dengan gaya baru (new journalism).
Di luar segala puja-puji tersebut, sosok wartawan di layar kaca juga dilihat dari kacamata negatif, terutama ketika wartawan tersebut menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan yang mereka miliki. Perilaku negatif ini muncul dalam rupa mereka yang menurunkan kualitas jurnalisme, berbohong, dan membesar-besarkan fakta serta mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat (king maker).
Representasi negatif juga bisa dilihat pada film Paparazzi yang dibuat oleh Mel Gibson. Paparazzi dibuat dalam suasana ketika media tengah meratapi ataupun diam-diam merasa bersalah karena kematian Putri Diana ataupun pengadilan OJ Simpon di Amerika Serikat.
Wartawan yang penipu atau manipulator bisa dilihat pada film Shattered Glass. Film ini diambil dari kisah nyata Stephen Glass, wartawan muda dari New Republic yang membuat laporan bohong atas sejumlah tulisannya.
Sebuah film klasik berjudul Citizen Kane menggambarkan sosok wartawan sebagai king maker, yaitu wartawan yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat hingga dapat memengaruhi politik yang ada dalam masyarakat. Sosok Charles Foster Kane dalam film itu adalah sosok fiktif, tetapi sejumlah pihak mengasosiasikan diri Kane dengan William Randolph Hearst, seorang pionir penerbitan tabloid di Amerika Serikat.
Film-film di Indonesia masih sedikit membahas masalah wartawan atau memasukkan unsur wartawan. Meskipun demikian, dari buku yang ditulis Brian McNair ini, kita akan melihat betapa banyak problem dalam dunia kewartawanan yang telah dipotret (hingga problem aktual: media cetak vs media online) dalam puluhan hingga ratusan film yang telah dibuat di Barat.
Karya McNair ini bisa menjadi cermin diri para wartawan di mana pun atas problem yang mereka rasakan dan hadapi: apakah wartawan masih merupakan saksi yang baik untuk masyarakat? Apakah wartawan zaman sekarang tidak kerap memanipulasi fakta? Apakah wartawan tidak terlalu dekat dengan dunia politik sehingga kehilangan kekritisan? Ataukah para wartawan memang adalah sosok arogan yang kerap jatuh dalam kesalahan saat menjalani profesinya?
Salah satu film terakhir yang menunjukkan problem dunia kewartawanan adalah film Contagion (tak disebut dalam daftar McNair) yang menggambarkan bagaimana dilema penyebaran informasi dalam era internet sekarang: seorang blogger yang menulis soal merebaknya virus satu penyakit telah menghasilkan kepanikan luar biasa dalam masyarakat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, di manakah sebenarnya fungsi wartawan, tatkala situasi “informasi” demikian cepat dihasilkan dan dikonsumsikan, tetapi isinya terkadang perlu dipertanyakan.
Lepas dari keasyikan menyusuri aneka film yang menggambarkan profesi kewartawanan, kita diajak terus merefleksikan diri: apakah profesi kewartawanan masih relevan untuk masyarakat zaman sekarang? Mengapa dan bagaimana relevansi masih bisa terjadi?
Ignatius Haryanto
Pemerhati Media
KOMPAS, 30 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar