Begitu juga jika masih ada yang berbuih-buih mulutnya mengatakan pemerintah telah melakukan pelindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, itu mungkin karena mereka memang tak hendak bangkit dari tidur panjangnya. Tak usah dibangunkan, sudah terlalu boros bangsa ini membuang energi untuk membuka lebar-lebar mata mereka yang pejam permanen.
Tak aneh karenanya ketika TKI dilecehkan, mengalami berbagai macam kekerasan hingga nyawa dan kehormatan sekalipun tak mampu dipertahankan, tak pernah tebersit bahwa mereka itu saudara kita, sebangsa dan setanah air. Berasal dan memijak bumi yang sama, bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai.
Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia terenyak dengan terkuaknya iklan yang tersebar di Malaysia dengan judul “Indonesian Maids Now on Sale”. Sungguh sebuah iklan pelecehan dan penghinaan tak hanya kepada bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada era ketika perbudakan terhadap manusia menjadi musuh bersama dalam kehidupan ini.
Munculnya iklan yang mengobral TKI di Malaysia sebenarnya hanya puncak dari fenomena gunung es dari paradigma komodifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang memberikan bobot bisnis penempatan TKI lebih dominan daripada perlindungannya. Besarnya peran swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS) dalam pengiriman TKI yang dilegalisasi dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 telah memperkuat skema migrasi dengan biaya tinggi yang mengakibatkan TKI terjerat utang secara sistematis.
Situasi ini secara perlahan menggeser dimensi HAM dalam penempatan buruh migran sehingga penempatan TKI menjadi industri dan kerajaan bisnis. Sementara, Pemerintah Indonesia cenderung membiarkan praktik tersebut dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Untuk itu, sikap dan langkah cepat Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memprotes keras iklan tersebut kepada Menlu Malaysia patut diapresiasi. Begitu juga langkah tanggap Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Malaysia.
Menganggap iklan ini hanya sebagai kreativitas orang-orang iseng dan berujung pada kedai potong rambut sungguh sangat memprihatinkan dan patut disayangkan. Apalagi itu diucapkan oleh seorang menteri yang semestinya berada pada garda terdepan untuk melindungi TKI. Selugu inikah bangsa ini berhadapan dengan mafia dan sindikat trafficking yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan?
Atau, jangan-jangan memang ada yang tak ingin sindikat perdagangan PRT migran Indonesia di Malaysia ini benar-benar terbongkar. Kecurigaan ini wajar karena hal ini sangat berkaitan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sejak 29 Juni 2009, Pemerintah Indonesia memutuskan kebijakan moratorium ke Malaysia, hingga moratorium dicabut pada Desember 2011, dan penempatan PRT migran di Malaysia dibuka pada Maret 2012.
Sesungguhnya praktik penempatan tidak berhenti sama sekali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semasa moratorium, sekitar 22.000 permit kerja untuk PRT Indonesia diterbitkan oleh Malaysia. Dan pasca-moratorium, bulan Juli hingga September 2012, pemerintah mengaku hanya menempatkan 64 PRT migran Indonesia di Malaysia, tetapi nyatanya sekitar 14.000 permit kerja dan Job Performance Visa sudah diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia.
Sekadar gambaran, biaya penempatan (cost structure) PRT migran Indonesia di Malaysia adalah 12.000 ringgit (sekitar Rp 38.400.000) yang harus dibayar oleh majikan di Malaysia dan 3.850 ringgit (sekitar Rp 12.320.000) yang harus dibayar PRT migran Indonesia dengan cara potong gaji selama 7 bulan. Hal ini berbanding terbalik dengan gaji PRT migran di Malaysia yang hanya 550 ringgit atau sekitar Rp 1.760.000.
Oleh karena itu, dengan menganggap fiktif iklan ini, sama saja dengan menutup mata terhadap kejahatan trafficking yang jelas-jelas berada di depan mata. Atau memang sengaja menutup kasus ini agar borok dan kobobrokan yang terjadi selama moratorium tak terungkap sehingga mereka dapat terus melanjutkan mimpi-mimpinya di atas singgasana penderitaan para pekerja.
Tiga tahun moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tak ditanggapi secara serius oleh Pemerintah Malaysia. Karena fakta di lapangan menunjukkan Pemerintah Malaysia senantiasa mengeluarkan permit kerja kepada PRT migran asal Indonesia. Hal ini sungguh sangat melecehkan kewibawaan bangsa ini.
Posisi setara antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang selalu didengungkan para pemimpi itu tampak hanya bualan dan imajinasi fiktif. Faktanya, Pemerintah Indonesia hanya bertepuk sebelah tangan selama moratorium. Oleh karena itu, wajar kiranya jika moratorium selama ini tidak banyak meninggalkan jejak yang berarti bagi perbaikan perlindungan untuk TKI.
Nota kesepahaman (MOU) yang direvisi dengan dua klausul baru, yakni paspor dipegang oleh TKI dan adanya hari libur bagi PRT migran, secara normatif menjanjikan masa depan baru bagi buruh migran. Namun, hal ini belum dapat menjamin perlindungan mereka selama komodifikasi TKI terus dilanggengkan.
Akhirnya, sudah terlalu sering bangsa Indonesia disakiti, baik oleh sikap maupun kebijakan Pemerintah Malaysia kepada para TKI di sana. Bukan rahasia lagi bila banyak TKI yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, baik oleh majikan maupun oleh sindikat trafficking yang menggurita hampir di setiap sel dalam institusi yang legal dan ilegal. Bahkan, tidak sedikit para TKI yang tewas dan menjadi korban kesewenang-wenangan polisi di Malaysia.
Untuk itu, bila bangsa ini, yang dimotori oleh presiden sebagai kepala negara, tak mau mengambil sikap tegas dan menganggap remeh pelecehan terhadap harkat dan martabat PRT migran Indonesia yang bekerja di Malaysia, sesungguhnya kita memang sedang diajak bermimpi.
Anis Hidayah
Direktur Eksekutif Migrant Care
KOMPAS, 2 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar