Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. “Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir,” tulis Newsweek.
Di Indonesia, kondisi itu sangat mudah dimafhumi. Sebagaimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu, generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai “Generasi X” itu hidup dan berkembang dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga saya nyatakan, bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja dan anak muda kala itu karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim.
Generasi X adalah segerombolan anak yang bukan hanya biaya sekolah, uang jajan, dan makan minumnya ditentukan orangtua, bahkan hingga warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri, di belakang rumah, di bawah pohon, membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang disembunyikan.
Maka, saya pun mengamati almarhum cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengikuti caranya membaca buku dengan hafal setiap kutipan, halaman, penerbit, hingga kredit bukunya. Namun, semua itu seperti tak berjejak pada generasi berikut, Generasi Y alias mereka yang lahir antara 1976 dan 1995. Barisan manusia muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras, akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi pertama.
Pada masa kanak-kanak dan remaja generasi ini, dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi kecepatan, membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka turut menentukan apa yang keluarga harus konsumsi, memiliki kartu kredit dengan tanda tangan orangtua, dan mulai dapat merancang masa depannya sendiri.
Namun, dunia tidak berhenti bergerak. Teknologi komunikasi dan informasi seperti menggenggam dunia dalam telapaknya, membuat manusia seperti berlari-lari kecil untuk mengelilingi bumi dan mengetahui setiap detail tubuh (persoalan)-nya. Media menjadi begitu canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data, yang siapa pun mampu mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman kita, manusia.
Pada masa inilah, pasca-1995, lahir sebuah generasi baru, “Generasi Z”, yang tak hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas, tetapi juga mengubah hampir setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup, cara berpikir, kosmologi, hingga cara menatap waktu atau masa lalu dan masa depannya.
Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital!
Maka, semua jadi purba dalam soal bagaimana kita mengaktualisasi diri, meneguhkan eksistensi. Diri dibentuk oleh perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia, hingga sudut terkucilnya, lewat BBM, WWW, instant messaging, MP4, mobile phone, Skype, hingga Youtube. Hidup yang posmodernik, multikultural, dan global menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas meneguhkan atau menciptakan klaim tentang diri sendiri tetapi pada saat bersamaan mereka lenyap dalam riuh.
Jadilah kemudian mereka generasi yang diam karena dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya. Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.
Inilah generasi yang sangat berbeda dengan penulis yang mengeja semua huruf dan kata, menghafalkannya dengan bangga. Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.
Lalu di mana James Joyce, Homerus, Hemingway, atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka adalah teman lama kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku, monumen masa lalu. Peradaban dan kebudayaan sedang dibentuk ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru, yang bahkan generasi saya, X, merasa malu dan sungkan untuk mengakui, “Maaf, aku tidak paham itu.”
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya. Mereka yang begitu bernafsu ingin membeli iPad terbaru, tetapi ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan bagaimana kondisi mental sosial itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri, masyarakat, atau bangsanya?
Betapa tidak bertanggung jawabnya bila kita lebih peduli pada rebutan kursi kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut generasi kosong, generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa mereka ada di atas tanah ini?
Radhar Panca Dahana
Budayawan
KOMPAS, 28 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar