Hingga kini tampaknya hanya UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang benar-benar aneh (tapi nyata). UU "4 dalam 1" ini jelas mengandung diskriminasi. Siapa saja yang melanggar pasal-pasal yang menyangkut bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan dihukum Rp 100 juta hingga Rp 500 juta atau pidana penjara setahun hingga lima tahun. Anehnya, tak satu pasal pun menjelaskan sanksi bagi pelanggar pasal-pasal tentang bahasa.
Pantaslah ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato resmi dengan bahasa Inggris beberapa waktu lalu tak bisa dituntut secara hukum. UU yang disahkan Presiden SBY pada 9 Juli 2009 ini menyatakan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa. Media massa dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.
UU ini mewajibkan pemerintah mengembangkan, membina, melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan. Pemerintah juga wajib meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
Tentang bahasa negara yang diatur dalam Bab III Pasal 25-45, penuh dengan kata wajib (ada 18 kata wajib dalam 17 pasal). Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan, dokumen resmi negara, dan pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Bahasa Indonesia juga wajib dipakai dalam forum yang bersifat nasional atau bersifat internasional di Indonesia, komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah, penulisan dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, nama geografi di Indonesia, nama-nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Bahasa nasional ini pun wajib digunakan pada rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, seperti informasi melalui media massa, dan informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.
Semua kata wajib dalam UU ini sama sekali tak berpengaruh karena tidak mengikat, tanpa sanksi hukum. Dalam kehidupan sehari-hari sangat mudah kita menemukan berbagai pelanggaran terhadap kata wajib dalam UU ini. Dan tentu saja tak pernah ada seorang pun yang terkena hukuman. Lihatlah nama-nama pusat pertokoan, kompleks perumahan, lembaga-lembaga pendidikan, judul-judul buku, film, sinetron, nama-nama program radio dan televisi swasta, serta nama-nama rubrik di media massa cetak, dan dalam jaringan. Mereka telah melanggar UU tersebut secara terang-terangan tanpa merasa bersalah, apalagi takut.
Pembinaan meliputi peningkatan mutu berbahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan juga untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Perlindungan bahasa meliputi upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa lewat penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Melalui media ini kita mengusulkan agar pemerintah (presiden) dan DPR segera merevisi UU tersebut. Khususnya Bab III tentang Bahasa Negara harus diatur secara normal, tidak diskriminatif, dan ada sanksi hukum bagi para pelanggar yang tak melaksanakan kewajibannya.
Namun, bila soal perilaku berbahasa dianggap tak perlu diatur oleh UU, mohon dicabut saja segera Bab III (Bahasa Negara) dari UU tersebut. Jadi, UU itu cukup mengatur bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan saja. Biarkanlah setiap warga negara ini berperilaku berbahasa sesuka hati. Biarlah setiap orang bertanggung jawab secara moral dan sosial belaka dalam hal berbahasa Indonesia.
S Sagala Tua Saragih
Dosen Program Studi Jurnalistik
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung
REPUBLIKA, 1 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar