26 Desember, 2013

Republik Skizofrenia


Negeri ini semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan dan politik reformasi. Visi founding father bangsa kita, yang ingin mengantarkan kemerdekaan sebagai pintu gerbang kesejahteraan telah dikhianati para koruptor.

Janji reformasi yang ditandai penggulingan rezim otoriter menuju keterbukaan pendapat, akses informasi, dan demokrasi politik, telah ditelikung oleh mereka yang menggunakan jabatan sebagai akses utama menguras uang negara. Bagaimana renungan untuk bangsa yang semakin jauh dari orbit untuk menjadi bangsa yang besar ini?

Negeri ini dapat dianggap sebagai republik skizofrenia. Ini terjadi ketika hampir semua pejabat negara lupa pada tanggung jawabnya. Para politikus lupa hakikat perjuangannya. Para ilmuwan lupa pada aplikasi ilmunya, karena hanya menjunjung teori setinggi langit. Dan kalangan seniman pun telah lupa dengan hakikat kreatifnya. Bahkan mereka yang sejatinya waras, telah dianggap gila sepenuhnya.

Indonesia kini tak ubahnya hanya merupakan deretan catatan hitam yang dipenuhi dengan silang sengkarut kasus korupsi. Berderet-deret kasus korupsi berdesakan dengan tindakan amoral, asusila, dan setumpuk persoalan moral yang menjadi akar sekaligus ranting pohon kering bernama integritas. Sebagai negara, Indonesia masih kuat untuk bertahan lama. Akan tetapi, akar-akar yang menopangnya selama ini telah dan sedang digerogoti ribuan kasus yang tak pernah selesai.


Politik Skizofrenik
Jika membentangkan deretan masalah yang menjerat bangsa ini, dalam perspektif psikiatri, tak dapat disangkal kemungkinan hadirnya republik skizofrenia (David Hill, 1983). Di republik ini, yang ada hanyalah birokrasi yang depresif.

Sistem kerja dan mekanisme politik yang telah dihajar oleh tren koruptif, suap-menyuap, dan mental gratisan ini telah berlangsung tiga dekade dalam lanskap politik kemerdekaan dan ditambah dengan ratusan tahun menghamba pada kekuasaan kolonial.

Teror-teror yang terjadi dalam konteks konflik politik agama menjadi bukti hadirnya mental skizofrenik. Bagaikan palu godam menghantam kepala, mental skizofrenik terwujud dalam bentuk teror bom, teriakan syariat yang salah kaprah, dan adu fisik kelompok yang berjibaku atas nama agama. Mereka meneriakkan kalimat Tuhan dan menyitir hikmah nabi, namun hanya untuk menghakimi kelompok lain, yang notabene adalah saudaranya sebangsa.

Palu godam bernama agama berhasil memukul kelompok-kelompok minoritas yang dianggap sesat dan bahkan “disesatkan”. Dari catatan historis, kasus Ahmadiyah dan Syiah menjadi bagian teror skizofrenik yang lambat laun tidak sekadar halusinasi, tetapi telah menjadi teror fisik yang melahirkan konflik horisontal yang memecah belah bangsa ini.


Di panggung politik, berderet-deret kasus telah membuat kepala rakyat kecil pusing tujuh keliling. Setelah tiap hari dihajar oleh mahalnya biaya hidup, meroketnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, minimnya jaminan kesehatan, dan mundurnya kualitas pendidikan, warga dijerat simpang siur informasi kasus korupsi pejabat negara. Seperti kasus Century, impor sapi, Hambalang, simulator SIM, dan ratusan kasus lain yang menggunung di meja berkas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Data yang disampaikan FEB UGM, selama 2001-2009 uang negara yang dikorupsi senilai Rp 73, 07 triliun. Akan tetapi, total nilai hukuman finansial hanya Rp 5,32 triliun atau setara 7,29 persen. Selisih dana sebesar Rp 67,75 triliun adalah jumlah yang harus ditanggung rakyat dengan imbas pada minimnya dukungan negara untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik dan kesejahteraan warga.

Orang-orang cerdik yang berpengalaman dalam karier akademik dan birokrasi, yang kemudian diberi amanah sebagai panglima hukum, nyatanya mereka juga tergoda untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kasus suap di lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi bukti. Gaji tinggi dan segepok sertifikat prestasi ternyata tidak menjamin integritas personal. Visi dan moral pejabat negara dipertaruhkan di tengah sistem politik skizofrenik saat ini.


Visi Politik
Bagaimana menyelamatkan bangsa yang didera skizofrenia? Patut dicatat, bahwa hal yang menjadikan negara dan bangsa bertahan adalah adanya harapan. Jika harapan masih ada, akan terus ada semangat untuk meneruskan kehidupan dan masih ada tenaga untuk melakukan perubahan. Harapan (hope) inilah yang menjadi doa dan inspirasi bagi hadirnya orang-orang baik pada sistem politik yang busuk sekalipun.

Saat situasi krisis dalam birokrasi negara, apa yang disampaikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) —Wakil Gubernur DKI Jakarta— bahwa dunia politik di negeri ini masih kekurangan orang-orang yang baik, seharusnya menjadi poin penting untuk membaca tingkat kerusakan dalam republik skizofrenik ini. Apakah hadirnya orang-orang baik saja sudah cukup? Saya kira tidak!

Orang-orang baik harus memiliki visi yang kuat, bersinergi, dan berani melakukan perubahan. Orang-orang baik, yang selama ini bertahan dalam sistem politik yang kotor, pelan-pelan harus menyingkir dari medan pertarungan politik. Karena hanya mereka yang mampu menghadirkan perubahan, yang akan dapat bertahan dan dikenang.


Jadi, harus ada komunikasi integratif antar orang-orang baik dalam ruang politik dengan yang di luar sistem. Hal ini untuk saling bertukar gagasan, melakukan perubahan bersama, dan menembus batas-batas moral yang selama ini telah dikonstruksi dengan standar kebiasaan, bukan dengan standar kebenaran.

Politik dengan aktor yang memiliki integritas, bervisi kuat, dan sanggup melakukan perubahan inilah, yang bakal menjadi penyelamat negeri ini. Proses menuju 2014 harus digunakan sepenuhnya bagi menjaring sebanyak mungkin hadirnya pribadi tokoh dan kelompok “orang-orang baik” yang mau dan mampu melahirkan perubahan.

Munawir Aziz,
Visiting Researcher di Goethe-Frankfurt University, Germany,
Penulis buku Harmoni di Tiongkok Kecil

SINAR HARAPAN,  16 Desember 2013

12 November, 2013

Memakai Ukuran Konstitusi


Sebulan ini, publik Indonesia disajikan berbagai ukuran keberhasilan atau kemandekan pembangunan ekonomi nasional. World Economic Forum melaporkan bahwa indeks persaingan Indonesia pada 2013-2014 meningkat dari peringkat 50 ke 38. Membaiknya peringkat itu, tentu membanggakan bagi mereka yang berpaham persaingan-isme. Namun, tidak membanggakan jika peringkat itu dibandingkan dengan peringkat Thailand (37), Brunei (26), dan Malaysia (24). Juga merupakan prestasi yang biasa saja kalau melihat indeks kinerja logistik.

Untuk indeks itu, Indonesia di peringkat ke-59, membaik dari posisi 75, Thailand dari posisi 35 ke 38, dan Malaysia tetap di posisi 29. Bisa jadi angka-angka itu yang membuat anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation, memuji Indonesia.

Tetapi, belum juga angka-angka keberhasilan itu memberi makna mendalam, muncul penilaian Bank Dunia dalam Doing Business. Menurut ukuran Bank Dunia, dalam soal kemudahan berbisnis, peringkat Indonesia di posisi ke-120, Malaysia 6, Thailand 18, Brunei Darussalam 59, Vietnam 99, dan Filipina 108. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja (137).


Lalu ditambah lagi dengan indeks kesejahteraan menurut Legatum Institute yang memposisikan Indonesia di peringkat ke-69. Sementara Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina masing-masing di posisi 43, 50, 54, dan 61. Yang menarik, Bank Dunia menilai bahwa kini jumlah kelas menengah Indonesia mencapai sekitar 114 juta orang dari total penduduk sekitar 240 juta.

Pada saat yang sama utang luar negeri Indonesia mencapai 2.274 miliar dolar AS, yang tahun 2014 jumlahnya diperkirakan bertambah 345 miliar dolar AS. Beriringan dengan hal itu, Gini Ratio, sebagai indikator ketimpangan juga terus meningkat menjadi 0,43. Beberapa ekonom bahkan memperkirakan rasio ketimpangan itu sudah mendekati 0,5 yang berarti bangsa Indonesia sudah berada di ambang pintu kerusuhan sosial.

Prediksi ini layak dipertimbangkan karena urbanisasi terus meningkat, penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh sudah mencapai 27 persen, lahan pertanian terus menyusut, jumlah petani gurem dalam 10 tahun terakhir bertambah 5 juta orang di tengah penguasaan lahan pertanian oleh korporasi yang terus bertambah. Yang juga mengkhawatirkan, Pulau Jawa tetap menguasai kue pertumbuhan ekonomi yang mencapai 57,8 persen dan dikuasai DKI sebesar 16,5 persen.

Alhasil, ukuran-ukuran keberhasilan Indonesia dihadang oleh fakta ketimpangan pendapatan, struktural, sektoral, regional, intelektual, dan ketimpangan sosial lainnya.


Dengan demikian, takaran keberhasilan ala ukuran Barat ternyata berbeda dengan takaran yang sebenarnya ada dalam konstitusi kita. Jika menggunakan ukuran konstitusi, misalnya Pasal 23 UUD 1945 (tentang APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat), Pasal 27 ayat 2 (penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan), Pasal 28 (perumahan dan kesehatan), Pasal 31 (pendidikan guna mencerdaskan), Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 (perekonomian berbasis kepentingan nasional dan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat), dan Pasal 34 (fakir miskin dan anak terlantar) sebenarnya wajib digunakan sebagai ukuran apakah pembangunan ekonomi sudah sesuai dengan amanat konstitusi atau belum.

Saya jadi teringat bagaimana pemerintah menolak habis-habisan memasukkan sasaran penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada indikator perekonomian makro sebagai sasaran APBN. Penolakan itu menunjukkan pemerintah tidak siap disebut gagal, atau dengan kata lain pemerintah belum mau melaksanakan amanat konstitusi.

Tentu saja, memang lebih lezat menggunakan ukuran keberhasilan menurut Barat, walaupun sebenarnya bagi rakyat akan lebih nikmat jika pemerintah mau menggunakan ukuran konstitusi.

Ichsanuddin Noorsy;
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUARA KARYA, 6 November 2013

16 Oktober, 2013

Ketika Hukum Terkomodifikasi

John Locke dan Montesquieu, pencetus gagasan Trias Politika.

Masyarakat Indonesia untuk kali ke sekian dihentak oleh “tsunami besar” dalam dunia hukum, ketika Rabu, 2 Oktober 2013 malam lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar karena diduga menerima suap terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah.

Media televisi malam itu saling berlomba menampilkan informasi paling eksklusif. Hampir semua media cetak mengubah haluan headline untuk terbitan paginya. Tak sampai 24 jam, KPK pun menetapkan Akil dan beberapa orang lainnya dari DPR dan kepala daerah sebagai tersangka kasus penyuapan tersebut.

Kaget dan prihatin, itulah kata yang terlontar dari berbagai kalangan pada hari-hari ini. Gelombang “tsunami hukum” yang datang silih-berganti semakin memorakporandakan hukum dan keadilan di negeri ini. Sungguh ironi besar, ketika suara publik begitu kuat meneriakkan pengganyangan korupsi, di sisi lain penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tercemari oleh kejahatan luar biasa itu.

Lengkap sudah kolaborasi korupsi di negeri ini ketika tiga pilar negara berjamaah menjalankannya. Gagasan besar John Locke yang disempurnakan oleh Montesquieu untuk memisahkan kekuasaan ke dalam Trias Politika agar tercipta negara demokratis yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mendorong mekanisme check and balances menjadi porak-poranda di negeri ini. Semua justru berbagi kapling dalam berladang korupsi.

Angie, Kartini, Rudi, Akil, Heri, Luthfi, Gayus, Djoko.

Tidaklah mengherankan jika kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan makin tergerus. Jabatan sebagai penyelenggara negara yang pada awal pelantikan mereka katakan sebagai amanah, berubah menjadi khianat. Masyarakat bertanya-tanya, apakah yang salah dalam sistem politik, hukum, dan ketatanegaraan kita, sehingga badai korupsi datang silih-berganti?

Tentu kita masih ingat bagaimana pada awal reformasi, kemasifan praktik korupsi ditengarai sebagai akibat keminimalan kesejahteraan aparat penyelenggara negara dan penegak hukum. Pemerintah kemudian menaikkan kesejahteraan atau me-remunerasi dengan cukup signifikan bagi aparat yang rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, semisal pegawai Ditjen Pajak, Bea dan Cukai, juga aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.

Maka efektivitas kebijakan tersebut kembali dipertanyakan, ketika ternyata muncul rentetan kasus yang melibatkan pegawai pajak Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, jaksa Urip Tri Gunawan, hakim tipikor Kartini Marpaung dan Heri Kisbandono di Semarang, politikus Angelina Sondakh, Luthfi Hasan Ishaaq, Irjen Pol Djoko Susilo, Rudi Rubiandini dan berderet kasus lain yang tak kalah menggemparkan.

Kini masyarakat kembali disuguhi drama terheboh yang melibatkan Ketua MK. Mahkamah Konstitusi selama ini yang digadang-gadang sebagai benteng terakhir keadilan yang masih steril dari praktik kotor. Kamis, 3 Oktober lalu KPK menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka. Tentu bukan hal sepele, karena lazimnya kasus yang disidik KPK hampir pasti sampai meja pengadilan karena memiliki bukti kuat permulaan terhadap pelanggaran hukum.

Berbagai kasus tersebut menunjukkan tesis tentang keminimalan kesejahteraan penyelenggara negara dan penegak hukum sebagai faktor pemicu korupsi tidak selamanya benar. Pendapatan yang ditingkatkan ternyata belum terbukti efektif mengerem nafsu koruptif. Sebaliknya, justru menjadi bargaining untuk menaikkan “tarif” suap yang harus diberikan kepada mereka. Dan akhirnya masyarakat pun seolah-olah telah menjadi terbiasa ketika membaca dan mendengar angka-angka korupsi yang berjumlah jutaan bahkan miliaran.

Berani, Jujur, (Pemimpin) Hebat !!!

Proses Komodifikasi
Dari berbagai peristiwa tersebut, termasuk kasus Akil, tampaknya dunia hukum di Indonesia mengalami proses komodifikasi. Mengacu pemikiran kaum Marxian, komodifikasi dapat dilihat sebagai proses mengubah tujuan dan fungsi suatu aktivitas atau benda yang seharusnya nonkomersial dan bersih dari kepentingan kapital, menjadi komoditas menggiurkan yang membawa banyak keuntungan kapital.

Dunia hukum yang seharusnya menjadi sarana menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua orang, terkomodifikasi sebagai alat untuk memperoleh keuntungan bagi sebagian aparat penegak hukum. Kapitalisme yang saat ini menghegemoni kehidupan dunia, telah merangsek masuk ke ranah hukum, sehingga kini hukum memiliki fungsi laten menjadi alat transaksi ekonomi. Kini hukum telah menjadi alat untuk memupuk dan menumpuk kekayaan pribadi.

Penyelesaian kasus-kasus hukum kini cenderung transaksional, dan proses tersebut tidak pernah dipelajari oleh aparat penegak hukum ketika mereka masih di fakultas hukum atau di Akademi Kepolisian. Kapitalismelah yang telah dijadikan guru, sehingga dengan cerdik (bukan cerdas) dan licik bagai kancil, mereka mampu memanfaatkan wewenang hukum untuk pemupukan modal kapital.

Hasilnya, sengketa pilkada disulap sebagai peluang pemupukan kapital karena sudah menjadi naluri orang yang bersengketa pasti akan berusaha dan bersaing menjadi pemenang. Inilah peluang kapital yang kemudian ditangkap dan dimainkan oleh aparat penegak hukum yang amoral.

Inilah ironi dunia penegakan hukum dan kita masih harus bersabar menunggu, karena tampaknya epilog drama korupsi belum juga kunjung tiba waktunya. Tapi dengan sistem yang baik, didukung keterjagaan integritas moral individu penegak hukum, semestinya dan seharusnya korupsi dapat dilawan. Kita berharap, setelah peristiwa Akil, epilog segera datang untuk mengakhiri drama yang seolah-olah tak kunjung usai. Kita tetap harus optimistis.

Kuncoro Bayu Prasetyo;
Dosen Antropologi Unnes dan Akademi Kepolisian
SUARA MERDEKA, 7 Oktober 2013

24 September, 2013

Demokrasi Kita


Berhubung demokrasi merupakan fondasi dari suatu pengalaman hidup bebas, di ranah sosio-politik ia terus-menerus berusaha menemukan suatu solusi problematis bagi pembentukan suatu komunitas dari manusia-manusia bebas. Problematis karena solusi tersebut tak kunjung henti dipersoalkan, termasuk kedemokrasian kita sekarang ini.

Betapa tidak. Demokrasi representatif yang diusung oleh kaum reformis justru mengesankan semakin tidak demokratis. Ini tecermin pada sikap publik yang semakin banyak bergairah menjadi golput berhadapan dengan euforia Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang berkembang di kalangan politikus berpartai. Ketidakpuasan terhadap kedemokrasian yang kini berlaku dinyatakan pula oleh gerakan yang semakin gencar menuntut pemekaran daerah dengan dalih perwujudan otonomi.

Prinsip politik tetap dinyatakan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Sebagai realisasinya, rakyat dipersilakan untuk “berpesta demokrasi”, memilih wakilnya, yang notabene ditetapkan oleh parpol, lima tahun sekali. Sesudah itu rakyat tidak perlu lagi aktif berpolitik. Para wakil yang dipilihnya mengambil alih wewenang dan hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik. Mereka berbuat begitu “atas nama” rakyat.


Prinsip demokrasi katanya tetap dijunjung tinggi, tetapi pemerintahan yang dilahirkan oleh pesta demokrasi itu digunakan untuk melucuti kekuasaan rakyat dengan jalan mengorganisasi dan melegitimasi ucapan-ucapan dari para wakil rakyat, yang ujungnya berarti membungkam suara rakyat yang katanya berkuasa. Pembungkaman rakyat menjadi semakin luas dan semakin berlapis melalui praktik legislasi parlementer-trikameral, yaitu dengan keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, di samping Dewan Perwakilan Rakyat.

Maka kelihatan sekali betapa politikus berlomba-lomba menjadi “wakil rakyat yang terhormat”, berambisi berbicara “atas nama ...”. Kecenderungan ini, apa pun dalihnya, tentu tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa sanksi. Dan rakyat memang sudah semakin muak, lebih senang dan puas menjadi golput saja daripada diatasnamakan terus-menerus.

Para warga negara (citizens) yang menyebut dirinya “wakil rakyat” seharusnya tidak mengklaim membuat sendiri undang-undang. Mereka seharusnya tidak punya kehendak partikular untuk dipaksakan. Jika mereka tetap mendiktekan kehendak, memaksakan kemauan politik, Indonesia tidak lagi merupakan negara representatif. Dan hilanglah peluang Indonesia menjadi negara demokratis. Karena rakyat tidak bisa bicara, tidak dapat bertindak, kecuali melalui wakil-wakilnya.


Demokrasi kontinu
Namun, demokrasi dewasa ini tidak mungkin dibuat langsung seperti keadaan aslinya dulu di zaman Yunani Kuno, di mana setiap warga berbicara sendiri di Agora mengenai kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Jadi, persoalannya sekarang adalah bagaimana dalam sistem dan suasana demokrasi-tak-langsung, atau demokrasi representatif ini, warga negara masih mungkin dan dibenarkan aktif berpartisipasi langsung dalam pembuatan undang-undang dan pengambilan keputusan.

Anggapan bahwa pembahasan undang-undang akan lebih terjamin apabila dilaksanakan oleh orang-orang terpilih saja, adalah pendapat yang menyepelekan kemampuan rakyat. Apalagi rakyat saat ini, yang adalah juga warga negara yang punya kuasa, banyak yang menyatakan kemampuannya untuk melakukan sendiri pengambilan keputusan. Jadi, kebajikan hakiki demokrasi sudah saatnya ditransformasi dari “hak rakyat untuk memilih dan dipilih” menjadi “kebebasan rakyat berpartisipasi aktif setiap waktu dalam pengambilan keputusan”.

Dengan kata lain, yang menjadi masalah krusial dalam berdemokrasi adalah bagaimana membuat “demokrasi representatif” bisa berfungsi efektif sebagai suatu “demokrasi kontinu”. Artinya, rakyat bisa terlibat dalam pengambilan keputusan tidak hanya satu kali dalam lima tahun, tetapi terus-menerus sepanjang tahun.

Praktik demokrasi kontinu ingin memperhitungkan, selain “kebajikan hakiki” demokrasi, juga sebagai penggerak konfigurasi politik kontemporer, di mana setiap unsur mungkin dapat dianalisis sebagai suatu modernisasi dari sistem representatif yang sudah ada. Atau merupakan awal dari akibat kemerosotannya usaha kolektif yang terlepas dari masalah representasi sehingga dapat langsung terkait dengan upaya pengukuhan pembentukan bangsa kita yang, per definisi, masih serba rawan ini.


Jadi, demokrasi kontinu berbeda dengan demokrasi langsung karena ia bisa memupus distingsi antara yang mewakili dan yang mewakilkan. Ia juga berbeda dengan demokrasi representatif berhubung kerjanya memintasi (bypass) organ representatif. Ia berbuat begitu bukan hendak meniadakan representatif, melainkan karena kehendak mentransformasi dan memperluas ruang partisipasi langsung dari rakyat dengan menciptakan bentuk-bentuk partikular yang memungkinkan opini berkembang dan ditanggapi sebagai karya politis dalam arti positif. Dan berfungsi sebagai kontrol yang kontinu dan efektif terhadap kebijakan atau aksi pemerintahan, di luar momen-momen pemilihan umum atau pemberian suara.

Partisipasi langsung dari warga negara dalam pengambilan keputusan politik dapat merupakan instrumen yang memperkuat pendelegasian kekuasaan. Satu di antara instrumen itu adalah model pembangunan nasional dalam term “ruang sosial”, yang bertujuan menciptakan kebahagiaan bersama (a common happiness). Bukan hanya model pembangunan ekonomi dalam term produk nasional bruto (GNP), yang bertujuan meningkatkan kemakmuran bersama (a commonwealth), seperti yang dilakukan rezim Orde Baru dan kini dilanjutkan oleh rezim Reformasi.

Model pembangunan nasional itu sudah beberapa kali saya paparkan di harian ini dalam konteks yang berbeda. Kali ini saya hanya ingin mengingatkan betapa relevan model tersebut dengan kebajikan dari demokrasi kontinu begitu rupa hingga bahkan bisa menjadi mekanisme pengukuhan pembentukan negara-bangsa kita.


Ruang sosial
Kebahagiaan bersama adalah milik rakyat yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Namun, rakyat ini bukanlah sembarang kumpulan makhluk manusia yang mengelompok dengan jalan apa saja. Rakyat adalah suatu konsentrasi sejumlah besar orang, yang berasosiasi dalam suatu persetujuan tentang keadilan dan kemitraan bagi kebaikan bersama. Asosiasi seperti ini bukanlah sekedar berkat dorongan dari kelemahan individual, tetapi karena dorongan spirit sosial tertentu yang sudah disuratkan Tuhan dalam diri manusia agar selaras dengan alam.

Asosiasi yang alami tersebut diharapkan terjadi di suatu ruang sosial. Ruang ini adalah ruang hidup rakyat yang konkret, diciptakan dalam konteks pembangunan suatu komunitas tertentu. Hubungan antara referen dan pembangunan diformulasikan sebagai suatu “gerakan komunitas”. Dan selama proses berlangsung, komunitas yang bersangkutan terasa menjadi lebih adil serta lebih akseptabel karena lebih manusiawi. Di sini setiap warga diajak merundingkan rasionalitas setiap proyek pembangunan, baik yang berasal dari pusat maupun atas inisiatif pemerintahan lokal.

Jadi, dalam model pembangunan dengan term “ruang sosial” ini, musyawarah –yang merupakan sila keempat Pancasila– antar-orang yang berkepentingan akan menjadi satu keniscayaan. Hal ini terlepas dari kedudukan formal, sosial, dan tingkat keterpelajaran individual masing-masing. Artinya, semua warga akan merasa “diuwongke”, dianggap bermartabat dan setara satu sama lain.


Berhubung terbuka kemungkinan untuk membahas tidak hanya ongkos finansial, tetapi juga opportunity costs dari suatu proyek, maka model pembangunan ini mendorong kebiasaan how men behave, sesuai dengan pesan-pesan implisit Pancasila selaku dasar filosofis berbangsa dan bernegara, bukan how markets behave yang sekedar aktualisasi dari homo economicus.

Dengan begitu, dalam politik akan tercipta participatory democracy, bukan spectator democracy dan pembangunan menjadi participatory development, bukan spectator development. Dan jika interaksi kewargaan dijalankan terus-menerus secara konsisten niscaya akan lahir budaya-budaya lain (hukum, ekonomi, artistik, pengetahuan) yang menjurus kepada pembentukan masyarakat pembelajar, yang merupakan dasar ideal bagi pembentukan masyarakat madani.

Ruang sosial yang dengan sadar dibina oleh konsep pembangunan nasional ini diharapkan menjadi atmosfer yang menghasilkan pengalaman eksternal. Pengalaman konstruktif ini bisa disimpulkan sebagai faktor sentripetal dari pikiran manusia dan karena itu menjadi state of mind, bahkan merupakan jalan pikiran (mindset). Dengan demikian, kerawanan dalam dasar-dasar pembentukan bangsa akan terkikis dan hingga akhirnya bisa pupus sama sekali.

Bangsa adalah the will to live together (Renan). Jadi “bangsa” bukan suatu entitas yang sudah jadi. Ia selalu in potentia, tidak pernah in actu, terus-menerus dalam status nascendi. Jadi, istilah “bangsa” bukan menarasikan kemapanan keadaan, tetapi suatu tekad, suatu usaha kolektif yang terarah, terpadu dan berkesinambungan. Yang secara pragmatis berupa pembangunan nasional dengan atmosfer demokrasi kontinu.


Filosofi politik
Di samping sebagai statecraft, demokrasi kontinu merupakan suatu filosofi politik mengenai the polity, yang jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga pemerintahan. Ia meliputi semua lembaga, disposisi, kebiasaan, dan lain-lain faktor tempat pemerintah bergantung dan, karena itu, sudah seharusnya pemerintah berusaha membentuk pengaruh dan membangun opininya sebijak mungkin (politeness).

Dengan demikian, Indonesia bukan hanya sekadar “suatu lokalitas fisik” semacam hotel. Hotel adalah suatu lokalitas fisik (George F Will) yang berpenghuni. Penduduk Indonesia bukanlah sekedar penghuni, tetapi warga negara (citizens) yang selain berkontribusi melalui pajak juga masing-masing memiliki saham.

Maka, Pemerintah Indonesia yang demokratis seharusnya berperan sebagai “tutor” sekaligus “pelayan” bagi para warga negaranya. Sebab, “kewarganegaraan” (citizenship) merupakan suatu jalan pikiran (mindset). Mengingat setiap tindakan manusia berawal dari pemikiran, maka dalam benak pikiran manusia itu perlu dibangun mindset yang serba human dan konstruktif.

Daoed Joesoef;
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 1 Juli 2013

15 September, 2013

Utang, Kemiskinan dan Keserakahan


Memasuki Ramadhan tahun ini, kehidupan mayoritas rakyat Indonesia makin susah. Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ditunggu-tunggu kedatangannya, ternyata muncul bersamaan dengan melambungnya harga kebutuhan pokok, barang-barang lain, dan biaya transportasi. Hal ini terjadi karena wacana kenaikan harga BBM sampai eksekusinya berlangsung terlalu lama sehingga pasar telah lebih dulu meresponsnya jauh sebelum kenaikan harga BBM itu sendiri.

Kenaikan harga kebutuhan hidup yang lebih dari 30 persen itu diantisipasi pemerintah dengan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang jumlahnya Rp 150.000 per orang selama empat bulan. Kita bisa membayangkan: cukupkah nilai BLSM untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan pokok itu? Persoalannya, sebandingkah BLSM dengan utang pemerintah sendiri untuk memenuhi kebutuhan gaji pegawai negeri (PNS), pembangunan infrastruktur (yang minim), dan belanja negara yang lain? Jawabannya: simak gambaran berikut ini.

Jumlah utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) saat ini mencapai 243,18 miliar dolar AS atau Rp 2.371 triliun. Dari jumlah itu, Rp 2.023,72 triliun (85 persen) merupakan utang pemerintah. Jika mengacu pada APBN 2013, utang pemerintah menjadi Rp 2.160 triliun atau bertambah Rp 137 triliun. Komposisi utang pemerintah itu terdiri atas utang luar negeri, utang dalam negeri, dan surat berharga negara. Kalau kita hitung berapa utang pemerintah itu dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia (247 juta jiwa), maka tiap kepala orang Indonesia sesungguhnya sudah punya utang sekitar Rp 8,7 miliar. Lalu, apa artinya BLSM yang hanya Rp 150 ribu selama empat bulan itu?


Dengan utang per kapita rakyat Indonesia Rp 8,7 miliar, kapan utang itu terselesaikan? Boro-boro akan selesai, bahkan bisa jadi tiap tahun akan bertambah. Kenapa? Karena Indonesia sudah masuk negara yang terjebak dalam “lumpur utang”. Sehingga makin berusaha melepaskan diri dari jebakan lumpur, maka makin dalam lumpur itu menenggelamkannya. Patricia Adams mengistilahkan utang semacam ini sebagai odious debt atau utang najis. Mengapa utang itu menjadi najis? Ini terjadi, tulis Adams, karena utang luar negeri itu digunakan bukan untuk kepentingan negara yang sebenarnya, melainkan untuk memperkuat rezim yang sedang berkuasa.

Dalam konteks Indonesia, bisa juga untuk ‘menggelembungkan’ birokrasi dan memberikan fasilitas berlebihan kepada para pejabat negara, elite politik, dan pengusaha kroni. Utang najis semacam ini seharusnya bukan menjadi beban negara dan rakyat, melainkan beban dari rezim yang bersangkutan.

Di samping utang najis, menurut Adams, besarnya utang negara juga bisa terjadi karena utang kriminal. Utang najis berbeda dengan utang kriminal, walaupun semua utang kriminal dapat dikategorikan sebagai utang najis. Namun sebaliknya, tidak semua utang najis adalah utang kriminal. Perbedaan utamanya adalah utang najis hanya berhubungan dengan utang luar negeri suatu negara, sedangkan utang kriminal termasuk juga utang dalam negeri.


Dalam kaitan ini, Indonesia sudah terjebak pada kedua jenis utang ini. Utang luar negeri telah menjadi utang najis karena dihambur-hamburkan untuk berbagai pembiayaan program-program pemerintah yang boros dan penuh penyelewengan. Sedangkan utang kriminal, contohnya bisa dilihat dari kasus dana rekapitulasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 1.400 triliun.

BLBI merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia pada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas ketika Indonesia diterpa krisis moneter tahun 1998. Skema tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mengatasi krisis. Indonesia saat itu menuruti saja segala petunjuk dan perintah IMF karena pemerintah banyak terkotori utang najis.

Selanjutnya, utang najis itu berubah menjadi utang kriminal yang jumlahnya amat sangat besar, yaitu Rp 1.400 triliun. Celakanya bank-bank yang mendapat bantuan likuiditas itu sebagian besar mengemplang atau merekayasa utang-utangnya sedemikian rupa sehingga seolah-olah utangnya menjadi lunas. Tragisnya, pemerintah pun tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi utang kriminal ini.

Akibat utang kriminal BLBI, maka setiap tahun pajak rakyat kita dipakai untuk mencicil utang BLBI sekitar Rp 60 triliun hingga Rp 80 triliun. Dan beban utang yang menyandera APBN inilah yang menyebabkan negara kehilangan kemampuan untuk mendanai dan membiayai sektor publik –terutama infrastruktur– untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.


Jika kini pemerintah mengklaim kemiskinan dan pengangguran makin berkurang, klaim tersebut jelas harus dipertanyakan. Sebab, klaim itu hanya berdasarkan statistik yang amat mudah direkayasa. Salah satu tujuan ‘udang di balik batu’-nya BLSM adalah bisa dipakai untuk merekayasa statistik tersebut dalam rangka menampilkan postur palsu untuk memperlihatkan berkurangnya pengangguran dan kemiskinan. Padahal, apa arti uang Rp 150 ribu selama empat bulan untuk memperbaiki ekonomi rakyat bila dibandingkan dengan beban utang tiap penduduk yang jumlahnya rata-rata sekitar Rp 8,7 miliar per kepala?

Pertanyaannya: mengapa pemerintah mau berutang sedemikian besar untuk hal-hal yang tidak urgen? Jawabnya: keserakahan. Keserakahan telah menyebabkan manusia tidak mampu melihat dirinya sendiri. Akibatnya, manusia akan terjerat dan jatuh akibat keserakahannya. Keserakahan akan membunuh diri kita sendiri. Untuk itulah, pemerintah harus mencoba bangun dan berdiri pada kaki sendiri. Indonesia mempunyai sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga menurut Bung Karno, Indonesia pantas untuk menjadi pemimpin dunia. Syaratnya, jangan terjebak pada utang, hindari pemborosan, dan keserakahan.

Dalam perspektif inilah, kita menghayati urgensi puasa. Puasa adalah sebuah pembelajaran manusia untuk menghindari keserakahan. Selama bulan Ramadhan, umat Islam dididik untuk belajar hidup sederhana, menahan nafsu, menahan lapar, dan menahan amarah untuk mencegah munculnya keserakahan dan perbuatan maksiat. Jika makna puasa Ramadhan ini bisa diinternalisasi kita semua, terutama para penguasa negeri, niscaya problem-problem yang bisa menghancurkan negara ini bisa segera teratasi.

Rokhmin Dahuri;
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)
REPUBLIKA, 15 Juli 2013

27 Agustus, 2013

Teks Pidato Bung Tomo

Bung Tomo, orator ulung yang pidatonya mampu menggerakkan para pejuang dan menggentarkan lawan dalam pertempuran Surabaya.

Bismillahirrahmanirrahim ....

MERDEKA!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia.
Terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya.

Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang.

Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.


Penyobekan bendera biru Belanda menjadi Merah Putih di hotel Oranje Surabaya, merupakan salah satu lukisan karya M Sochieb yang terkenal.

Saudara-saudara.
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan.
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera.
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung. Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pentempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat, sekarang inilah keadaannya.


Tentara Inggris yang dibantu oleh Belanda memasuki kota Surabaya.

Saudara-saudara kita semuanya.
Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkanlah ini tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai tentara Inggris.
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu.

Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada.


Lukisan-lukisan M Sochieb yang mengabadikan perjuangan para pahlawan pertempuran Surabaya.

Tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga.

Saudara-saudara rakyat Surabaya. Siaplah! Keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.

Dan untuk itu saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: MERDEKA atau MATI!

Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.

Percayalah saudara-saudara.
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

MERDEKA!!!

Sumber:
http://maulanusantara.wordpress.com

29 Juli, 2013

Baina Bugisan Wa Berlin


Bagaimana proses pendewasaan, antara lain yang menyangkut soal pemikiran keislaman kelompok mahasiswa Muslim di Berlin Barat serta beberapa tempat lain di Eropa Barat, sampai saat ini saya terus menempuh kemungkinan untuk karib dengan mereka: tulisan ini merupakan kesan-kesan yang besok pagi mungkin bisa berkembang atau berubah.

Orang sudah berada di antara bintang-bintang, cita-citanya tak tinggi lagi. Tapi kini, umat Islam berada justru di awal kebangkitan dari suatu kejatuhan yang panjang dalam sejarahnya. Keadaan ini menentukan psikologi kita untuk selalu berharap terlalu banyak dari setiap gejala. Psikologisme semacam ini, juga yang menghinggapi saya kapan saja berhadapan dengan kegiatan kelompok Muslimin. Kita adalah fuqoro, yang memimpikan Allah al-ghoniy, al-mughniy, bisa dibuktikan betul oleh kreativitas pemikiran dan gerak kaum Muslimin. Barangkali, secara pribadi saya bukan Muslimin yang cukup baik, maka idaman saya akan hal tersebut justru amat tinggi dan mewah serta meningkat terus-menerus.

Banyak kegembiraan, namun juga kecemasan dan kengerian, bertemu dengan pelarian-pelarian bekas Muslimin Iran, atau para pekerja keluarga Turki dan Maroko di Eropa Barat namun juga bergaul dengan kelompok Muslimin dari Indonesia menyodorkan kegelisahan tersendiri.


Ketika datang di Berlin, saya sebenarnya diundang oleh Kelompok non-agama, yang dikenal sebagai “kiri-progresif”. Segera saya mengalami ketegangan dan kekisruhan hubungan antara kelompok mahasiswa kita di Berlin itu: suatu cermin khas dari heterogenitas ideologi masyarakat Indonesia. Masing-masing bilang ‘kita’ dan ‘mereka’. Masing-masing mengecam masing-masing lainnya. Yang satu menganggap lainnya musuh –dan saya adalah teman dari semuanya yang ‘diminta’ untuk memusuhi kelompok lain.

Itu suatu kisah tersendiri. Yang penting, dalam waktu sebulan di kota itu saya berdiskusi, pengajian dan ‘rapat’ sebanyak empat kali dengan kelompok mahasiswa Muslimin. Disertai banyak ketegangan, lirik-lirikan, pelotot-pelototan di tengah konstelasi Indonesia kecil yang memang ruwet itu –toh saya mencatat suatu perkembangan yang menggembirakan pada kelompok Muslimin tersebut.

Perjuangan mereka –sesungguhnya– bagaimana syari’at Islam bisa survive dalam kehidupan mereka di tengah kota metropolit itu. Mereka mengadakan pengajian rutin, belajar baca Quran, kemudian menata etik-akhlaq keislaman diantara mereka. Sedemikian rupa sehingga belum bisa diharapkan integritas yang lebih luas dengan lingkungannya yang multi nilai, atau bagaimana mereka mengembangkan pemikiran Islam, mereka menanggapi tata nilai lingkungan yang amat menantang itu. Maka bisa dimaklumi kalau keagamaan mereka cenderung formalistik. Waktu tak banyak, sibuk kuliah dan memikirkan hal-hal yang teknologis sifatnya.

Maka sesungguhnya, saya telah salah duga. Islam belum tampil dalam percaturan nilai: kaum Muslimin kita itu sangat defensif dan baru berjuang untuk survive.


Teringat saya sehabis menulis tentang kecenderungan paternalistik di kalangan umat Islam Indonesia, saya memperoleh undangan mengejutkan dari anak-anak muda kampung Bugisan Yogya –untuk mendengarkan ceramah rutin yang mereka selenggarakan. Itu ceritanya di awal tahun 1984.

Saya datang, dan menjumpai sesuatu yang amat mengharukan hati dan merangsang rasa syukur kepada Allah. Di malam Minggu, anak-anak muda, gondrong, berkumpul di sebuah rumah kecil, bersama-sama meniti secara sistematis nilai-nilai Islam. Mereka menguliti kembali dasar-dasar nilai Islam serta memotretnya pada manusia dan masyarakat, dalam suatu skema dan kronologi yang rapih. Di tengah galau zaman, di tengah tekanan-tekanan ekonomis, politis dan ideologis di negeri ini, mereka kembali ke al-Quran dan as-Sunnah. Mereka dengan tekun dan sabar membangun diri dan mengembangkan kreativitas pikiran keislaman, karena menyadari betapa problem-problem sejarah masa kini membutuhkan jawaban kongkrit. Suatu kerja yang panjang, amat panjang, namun ketekunan semacam itu yang memang sekarang kita butuhkan –ketka lembaga persekolahan tidak mengajarkannya, ketika struktur kekuasaan negara membimbing ke yang sebaliknya, dan ketika udara lingkungan kemasyarakatan abad ini makin berbau Abu Jahal.

Pertumbuhan semacam itu, anak-anak muda yang mandiri mempelajari Islam, ternyata cukup gencar di Indonesia. Mereka tak tinggal frustasi oleh krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam. Mereka mendidik diri, mungkin tidak untuk menjadi pemimpin, tapi setidaknya mengisi aspirasi-aspirasi kepemimpinan Kaum Muslimin. Bersamaan dengan itu, perkembangan pemikiran Islam menaik dengan pasti di Indonesia, meskipun memang masih semrawut dan belum ‘terkoordinasi’ –tanpa diketahui oleh mass media, karena mass media kita terlalu sibuk dengan isu semu tentang ‘semangat negara Islam’, ‘Islam sempalan’, atau kebodohan untuk mentransfer revolusi Khomeini secara verbal.


Dari wawasan ini, dari tanah air saya ke Berlin, tentu saja dengan mimpi yang muluk dan penasaran. Tetapi, toh saya melihat perkembangan yang bagus. Sehabis berdiskusi melebarkan proyeksi nilai-nilai Islam ke masalah-masalah sosial, berulangkali, sehabis menatap dharuroh problem masyarakat Indonesia dan menatapnya dari kacamata Islam –perlahan-lahan mereka mulai membuka pintu dan jendela.

Dari kotak formalistik mereka mulai melihat keluar dan menyadari bahwa dunia begitu luas, dimensi gejala begitu multi, tantangan terhadap Islam jauh lebih kompleks dibanding menyembelih ayam tanpa Bismillah.

Mereka mulai melihat jarak antara ‘negara’ dan ‘bangsa’. Mulai menginsyafi bahwa Quran, Hadits bukan hanya mengurus doa, berwudlu dan berapa derajat ke tenggara arah kiblat. Namun, nilai Islam sangat berkaitan juga dengan ke mana larinya kilang minyak, mengapa hutan seluas itu terbakar, atau kenapa harga semangkok soto di Kecamatan Rejosari hanya 75 perak, tapi di Surabaya bisa sampai 250 perak.

Terakhir, saya terlibat dengan mereka dalam diskusi tentang pengemis. Menguliti problem itu secara struktural, dan merencanakan untuk bikin organisasi kecil buat ikut menolong orang-orang malang itu.

Emha Ainun Nadjib
Den Haag, 16 Desember 1984

14 Juni, 2013

Ironi Tak Tersentuh Freeport


Freeport McMoran ceroboh terhadap pekerjanya. Fasilitas pelatihan bawah tanah Big Gossan tiba-tiba runtuh (14/5/2013) tanpa dapat diantisipasi perusahaan global berstandar keselamatan internasional itu. Data sementara, 38 pekerja Indonesia terperangkap di dalam tanah; 6 meninggal, 10 selamat, dan 22 pekerja lainnya belum diketahui nasibnya.

Akhirnya menurut berita kompas.com, (27/5/2013) disebutkan bahwa dari 38 orang yang sedang mengikuti pelatihan di terowongan Big Gossan tersebut 28 diketemukan tewas dan hanya 10 orang yang selamat.

Runtuhnya fasilitas ini mengingatkan kita pada konflik pekerja domestik Indonesia melawan manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) dua tahun silam. Untuk alasan keselamatan dengan risiko tinggi, sementara produk yang dihasilkan (tembaga, emas dll.) begitu bernilai di pasar dunia, maka tuntutan para pekerja yang masih menggantung sampai sekarang ini menjadi kian bisa dipahami.

Saat itu, ribuan pekerja Freeport berunjuk rasa berhari-hari dan berdarah. Bentrokan dengan polisi 10 Oktober 2011 menelan korban tewas dua pekerja. Kurang lebih 10 ribu pekerja berkumpul di check point 32 Kuala Kencana, meninggalkan mesin untuk operasi sehingga melumpuhkan produksi.

Sebelumnya, di awal Juli 2011, muncul kejutan berita mogoknya ribuan pekerja pemegang kontrak karya tembaga di Timika, Papua, itu. Operasional PTFI yang 90,64 persen sahamnya dimiliki FM Cooper & Gold (RI hanya 9,36 persen) kala itu praktis lumpuh. Hanya tiga hari saja mogok masal, kerugian PTFI tidak kurang dari USD 49,2 juta (dengan perhitungan USD 16,4 juta per hari).


Mogoknya hampir seluruh pekerja PTFI itu disebabkan diskriminasi standar gaji. Pekerja Freeport di Indonesia ketahuan mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja di 12 tambang Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam adalah USD 1,5-3, padahal di negara lain mencapai USD 15-35 per jam.

Manajemen PTFI juga menambah keruhnya hubungan industrial karena telah memecat pengurus serikat karyawan, Sudiro, saat dalam proses membahas perundingan perjanjian kerja bersama (PKB). Padahal, berdasar UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja, pekerja memiliki hak untuk menyatakan pendapat, termasuk melakukan mogok kerja (pasal 4).

Melihat portofolio PTFI yang merupakan business unit dari Freeport McMoran yang berpusat di Phoenix, Arizona, AS, itu, sebetulnya tidak ada alasan timbulnya dispute pekerja dan manajemen PTFI hanya karena persoalan normatif. Keuntungan bersih pada tahun lalu dari korporasi dengan kode bursa FCX ini berdasar release resmi Freeport McMoran AS menyebutkan kenaikan 8,4 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yakni sebesar USD 3 miliar (setara dengan Rp 28,5 triliun lebih).

Produksi emas yang tercatat mencapai 18 ton per tahun. Namun, kandungan emas yang terikut ketika menambang tembaga yang diukur oleh Gold Fields Mineral Services (GFMS, 2011) dapat menghasilkan 100 ton lebih. Pada 2013 ini, Freeport Indonesia berencana menjual tembaga asal tambang Grasberg 1,1 miliar pon (500.500 ton) dan emas dengan berat 1,2 juta ons (33,6 ton). Kini harga emas melejit sampai dengan USD 1.358 per troy ounce dengan demikian kekayaan PTFI tahun ini paling tidak akan bertambah sebanyak USD 1,48 miliar, padahal belum termasuk hasil tambang tembaga dan mineral lainnya.


Bisnis Freeport memang tidak hanya di Indonesia, namun deposit tambang di Indonesia adalah yang terbesar. Ada empat basis operasi Freeport, yakni di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika, dan Indonesia. Volume deposit tambang di ladang Grasberg Papua saat ini mencapai 2,7 miliar metrik ton dan ditambang untuk menghasilkan biji tembaga 1.390 ton per hari. Kondisi ini membuat saham Freeport (kode FCX) selalu diburu.

Sebagai perusahaan dengan label MNC (multi national corporation) kelas dunia, apalagi umumnya korporasi dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik secara mutualistik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen dari manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak dan tak diskriminatif.

Tak dapat disangkal bahwa peran pekerja asal Indonesia telah terbukti memberikan dampak positif kepada keseluruhan kinerja dan image Freeport. Jika melihat hal ini, sungguh manajemen PTFI dan BOD Freeport telah berlaku diskriminatif terhadap tenaga kerja Indonesia. Hal ini, tentu saja tak boleh dibiarkan.

UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 malah tidak memberikan petunjuk apa pun soal standar pengupahan jika korporasi itu MNC. Perjanjian kerja bersama (PKB) dalam hal ini harus menjadi peraturan lex specialist antara pihak pekerja dan manajemen PTFI. Jika PKB tersebut memberikan pertimbangan indeks pekerja Freeport dari unit bisnis di tempat atau negara lain, maka menjadi sangat wajar tuntutan para pekerja PTFI di Timika ini.

CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc Richard Adkerson, kanan, membisikkan sesuatu kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral Jero Wacik, saat konferensi pers di Jakarta, Rabu, 22 Mei 2013. Tim SAR telah berhasil mengevakuasi 21 mayat dari ruang bawah tanah yang runtuh di dalam tambang emas dan tembaga raksasa milik AS PT Freeport Indonesia di propinsi Papua akibat atapnya runtuh pada 14 Mei. (AP Photo / Dita Alangkara)

Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PTFI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik untuk menambah kocek negara, padahal tidak terbukti secara signifikan sumbangan PTFI benar-benar untuk negara. (Ingat RI hanya 9,36 persen).

Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PTFI berizin penambangan tembaga, namun mendapatkan juga emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan ini dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami proses pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, bahkan PTFI sendiri tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport McMoran sebagai induknya.

Keuntungan berlipat justru didapatkan PTFI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPH badan dan dari pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Karena PTFI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah TKA itu pasti tidak akan bisa diketahui dengan pasti oleh imigrasi atau pemerintah RI.

Pelajaran runtuhnya Big Gossan dan mogok tanpa solusi yang sudah terjadi menujukkan, ada masalah besar yang tak tersentuh di pedalaman Papua itu.

Effnu Subiyanto;
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep),
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair

JAWA POS, 21 Mei 2013



Daftar Para Korban Terowongan Freeport

Setelah sepekan sejak peristiwa runtuhnya atap terowongan tambang bawah tanah Big Gossan (14/5/2013), dimana seluruh korban yang tertimbun reruntuhan sudah dievakuasi, maka PT Freeport Indonesia pun menyatakan proses evakuasi secara resmi dinyatakan selesai pada hari Selasa (21/4/2013) pukul 23.00 WIT. Sementara itu sumber lain menyatakan bahwa dari 28 korban tewas, yang berhasil diketemukan dan dievakuasi sebanyak 21 mayat, sedangkan 7 orang lainnya diyakini masih terkubur di bawah reruntuhan.

Paste pouring into the Big Gossan Mine Stope
The number of paste backfill operations in the mining industry has been increasing rapidly since the 1990’s. Paste fill operations, when designed and operated properly,supply an engineered, low strength structural fill material for underground backfill purposes. There is a great interest to apply paste technology for surface disposal of wastes in the base metal, gold mining and industrial minerals sectors. (Foto: Hengky Rumbino)

Inilah daftar nama para korban reruntuhan terowongan Big Gossan yang berlokasi di Mil 74 Distrik Tembagapura, Timika, Papua.

Korban selamat:
1. Ahmad Rusli
2. Muhtadi
3. Hasbullah
4. Florentinus Kakupu
5. Towali
6. Andarias Msen
7. Rudi Sitorus
8. Alham
9. Kenny Wanggai
10. Leonardus Spartan

 


Meninggal dunia:
1. Mateus Marandof
2. Selpianus Edoway
3. Yapinus Tabuni
4. Rooy Kailuhu
5. Aan Nugraha
6. Jhoni Tulak
7. Aris Tikupasang
8. Viktoria Sanger
9. Retno Arung Bone
10. Artinus Magal
11. Hengky Ronald Hendambo
12. Frelthon Wantalangi
13. Johni Michael Ugadje
14. Muntadhim Ahmad
15. Ma’mur
16. Petrus Frengo Marangkerena
17. Petrus Padak Duli
18. Suleman
19. Amir Tika
20. Gito Sikku
21. Lewi Mofu.
22. Lestari Siahaan
23. Herman Susanto
24. Daniel Tedy Eramuri
25. David Gobai
26. Febry Tandungan
27. Ferry Edison Pangaribuan
28. Wandi

Underground Facility
Process water tank facility at the Big Gossan Mine Paste Plant. The plant was built in underground at the level 3100 right above the mine orebody. (Hengky Rumbino)

Seperti pada pemberitaan sebelumnya, atap terowongan tersebut runtuh sekitar pukul 07.30 WIT, yang menimpa ruang kelas 11 QMS Underground. Saat itu, terdapat 40 orang di ruang kelas tempat pelatihan tersebut, tetapi hanya 2 orang yang dapat menyelamatkan diri. Dan 2 orang yang lolos adalah instruktur kelas, Kristian Sitepu, dan peserta pelatihan yang saat itu berada dekat pintu bernama Tito. Sementara 38 orang lainnya tertimbun runtuhan bebatuan yang diperkirakan beratnya tak kurang dari 500 ton.

Sumber:
http://forsasnews.com/daftar-para-korban-terowongan-freeport/

30 Mei, 2013

Fenomena Langkah Pertama


Semua orang ingin sukses. Tapi tidak semua orang akan sukses. Ada yang bilang bahwa sukses adalah hak setiap orang. Tapi, kalau memang benar demikian, kenapa tidak semua orang lantas mengklaim hak untuk suksesnya? Aneh kan?

Jadi, apakah benar sukses itu adalah hak setiap orang? Kenapa banyak orang yang ingin sukses, tetapi tidak berhasil? Ada banyak alasannya, diantaranya faktor keberuntungan yang belum menghampirinya, kurang gigih alias mudah menyerah, berusaha berkali-kali dengan cara yang sama padahal sudah tahu bahwa cara itu kurang tepat, dan masih ada “jutaan” alasan lainnya.

Namun, yang paling banyak kita jumpai adalah ketidakberanian seseorang untuk mengambil langkah pertama. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa semua berawal dari langkah pertama. Inilah kenapa saya menuliskan judul “Fenomena Langkah Pertama” untuk tulisan kali ini. Kalau dipikir-pikir, aneh kan, mau sukses tapi nggak berani mengambil langkah pertama? Secara psikologis, merupakan hal yang wajar dan manusiawi apabila kita memiliki rasa takut.

Ada orang yang takut apabila berada di ketinggian, ada yang takut apabila berada di ruang tertutup atau di ruang gelap, ada yang takut ketika harus berbicara di depan publik, dan seterusnya. Bagaimana mengalahkan rasa takut yang kita miliki? Yang pertama harus dijawab adalah apakah kita benar-benar mau mengalahkan rasa takut tersebut dan kenapa?


Apa alasannya? Kalau Anda hanya ingin mengalahkan rasa takut tersebut tanpa memiliki alasan (reason) yang jelas, saya rasa kemungkinan Anda akan menyerah di dalam prosesnya lebih besar dibandingkan apabila Anda memiliki alasan yang jelas kenapa Anda ingin sekali mengalahkan rasa takut tersebut. Nah, balik ke fenomena langkah pertama di dalam pencapaian sebuah kesuksesan.

Pertama, sadarilah bahwa kalau Anda tidak mengambil langkah pertama ini, ya jelas Anda tidak akan mencapai tujuan yang ingin Anda capai, yaitu kesuksesan (apa pun itu). Kalau Anda sekarang berada di rumah dan ingin pergi ke kantor, tapi nggak berani keluar rumah, ya gimana Anda bisa sampai di kantor? Nggak mungkin kan? Kenapa sih banyak orang yang nggak berani mengambil langkah pertama? Pada umumnya sih karena mereka takut gagal di tengah jalan.

Benar! Mereka takut kalau di tengah jalan, apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Mereka takut menghadapi rintangan yang tahu-tahu muncul di depan mereka tanpa mereka prediksi sebelumnya. Mereka takut tidak siap menghadapi rintangan yang ada di depan. Memang, sehebat apa pun kita merencanakan suatu perjalanan, kita tidak akan mampu memprediksi 100% apa yang akan terjadi di perjalanan yang akan kita tempuh.

Ketika hal ini yang Anda hadapi, ya Anda nggak boleh give up. Di detik Anda menyerah, ya tujuan yang ingin Anda capai tidak akan pernah tercapai. Balik ke ketakutan di awal, coba pikir deh, kalau Anda tidak berani mengambil langkah pertama, ya Anda sudah pasti gagal alias tidak akan berhasil mencapai tempat yang ingin Anda tuju. Menurut saya, masih lebih baik mencoba dan di tengah jalan gagal daripada sama sekali tidak mencoba.

Kenapa? Kalau sudah dicoba, tetapi misalnya kapasitas diri kita ternyata tidak mampu untuk menghadapi rintangan yang ada, setidaknya ada yang bisa kita pelajari. Kita akan bisa menganalisis rintangan tersebut dan setidaknya kita sudah tahu bahwa kalau kita akan mencobanya di lain kesempatan, kita harus mempersiapkan diri andai rintangan tersebut kembali muncul di hadapan kita.


Nah, kalau kita tidak mencoba sama sekali, ya kita masih tetap tidak akan tahu bahwa akan ada kemungkinan rintangan tersebut muncul ketika suatu hari kita mencoba melakukannya. Sekarang ini, teman-teman saya masih sering bingung dengan kegiatan saya sehari-hari memimpin beberapa perusahaan milik saya dan mitra bisnis saya.

Jangankan teman-teman saya, personal assistant dan beberapa orang di tim saya aja bingung, “Banyak banget yang Mas Billy jalanin!” Terkadang, saya sendiri juga bingung, kok bisa ya? Di bawah PT Jakarta International Management (JIM), ada beberapa lini bisnis yang beberapa diantaranya modeling agency (JIM Models), artist management (JIM Artists), fashion event organizer (JIM Events), modeling school (JIM-f Modeling Academy), dan professional speaker management (JIM Executive).

Ini adalah lini bisnis yang masih jalan dan berkembang. Tapi bukan berarti sejak JIM berdiri pada akhir 2006, semua lini bisnis yang dimulai berkembang. Ada beberapa yang saat ini sedang “mati sementara”, diantaranya bidang fotografi (JIM Photography), kids talent management (JIM Kids), talent management (JIM Talent), dan creative digital agency (JIM Digital).

Kenapa saya bilang keempat lini bisnis ini mati sementara? Karena meskipun pernah dicoba dan gagal, saya tidak menganggap bahwa keempat bisnis ini lantas tidak akan pernah bisa dimulai kembali dan berhasil. Dengan kata lain, suatu saat, ketika saya mampu mendapatkan mitra bisnis yang sesuai, saya akan kembali membuka keempat lini bisnis ini lagi. Saat ini, saya masih sebagai salah satu pemegang saham Rolling Stone Cafe Jakarta yang ada di Ampera Raya, Jakarta Selatan.


Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa saya juga sempat bermitra dengan teman SMP saya membuka sebuah warung nasi goreng di Kelapa Gading pada akhir 2009 lalu. Warung ini hanya bertahan sekitar lima bulan dan akhirnya kami berdua memutuskan untuk menutupnya. Saya juga pernah menginvestasikan uang saya puluhan juta ketika seorang teman SD mengajak saya untuk membuka sebuah perusahaan digital printing.

Perusahaan ini sempat bertahan selama 2 tahun, tetapi kemudian bangkrut. Masih ada beberapa pelajaran lain yang telah saya dapatkan. Saya tidak menganggap kegagalan yang saya ceritakan tadi adalah sebuah kegagalan, tapi lebih sebagai sebuah pembelajaran. Kenapa? Karena saya yakin, ketika suatu hari saya akan mencoba kembali bisnis-bisnis tersebut, saya sudah menjadi lebih siap jika dibandingkan kala itu. Satu hal yang saya tahu, saya nggak pernah takut untuk mencoba.

Saya sadar bahwa ketika saya hanya “ingin, ingin, dan ingin” dan hanya berucap (baca: ngomong doang), saya tidak akan mencapai apa pun yang ingin saya capai. Anda harus berani mengambil langkah pertama alias mencoba. Kalau ternyata di tengah jalan gagal, so what? Life goes on, analisis apa yang terjadi, belajar, dan coba lagi! See you ON TOP!

Billy Boen;
CEO PT YOT Nusantara;
Director PT Jakarta International Management;
Shareholder, Rolling Stone Café

KORAN SINDO, 24 Mei 2013

18 April, 2013

Ambang Batas Dinasti Politik


Dalam hitungan maju sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diberlakukan, cengkeraman dinasti politik di setiap daerah semakin menguat. Pilkada makin ditandai dengan pesta keluarga.

Dalam lingkup sempit, horizontal dan vertikal, para anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah pejabat petahana mencalonkan diri dalam arena pilkada. Dalam arti luas, para keponakan dan menantu juga tak mau ketinggalan.

Selama satu dasawarsa terakhir, di sejumlah daerah, mata rantai alih kuasa dalam satu dinasti politik makin tak kenal jeda. Proses demokrasi di daerah dengan mekanisme pilkada hanya jadi pesta besar sejumlah dinasti. Kuasa dinasti yang mencengkeram sejumlah daerah ini pun berkelindan dengan kepentingan dinasti di level lokal dan nasional.

Anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala daerah pun ramai-ramai bertarung dalam kontes pemilu legislatif untuk DPRD, DPD, dan DPR. Sistem politik yang dibangun dengan semangat demokrasi makin dibajak oleh sejumlah dinasti.


Belenggu Dinasti Politik
Sudah saatnya kita belajar dari dampak negatif dinasti politik di sejumlah negara. Pada masa Orde Baru, dinasti politik telah menjadi “momok” dan diyakini menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Data dari Kementerian Dalam Negeri mengidentifikasi ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik di beberapa daerah di Indonesia (2013). Dari 57 kepala daerah yang mencalonkan para anggota keluarga yang memiliki pertalian darah, hanya 17 di antaranya yang kalah di arena pilkada. Selebihnya, mereka menjadi pemenang menggantikan kekuasaan keluarganya.

Menguatnya politik dinasti di sejumlah daerah ini juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan para anggota keluarga dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik bukanlah satu-satunya faktor maraknya korupsi di daerah. Namun, makin rapatnya kuasa para dinasti di sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak terhindarkan.

Menguatnya lapisan dinasti politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan sistem politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan —yang mestinya bersifat terbuka— kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.


Kedua, dominasi dan belenggu dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke arah “personalisasi dan privatisasi kepentingan politik”. Dalam sistem demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan dikelola oleh parpol —yang mestinya untuk kepentingan publik— pada akhirnya diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.

Ketiga, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik ini juga akan semakin membusukkan budaya politik dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan aset publik.

Keempat, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja sistem politik. Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal, arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.


Mencari Ambang Batas
Dominasi dan cengkeraman dinasti politik di daerah, bagaimanapun, harus dibatasi. Siapa pun yang memiliki akumulasi kekuasaan luar biasa dan berbasis kekerabatan cenderung sulit mengendalikan moral hazard yang dimilikinya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Maka, tepat jika RUU Pilkada yang saat ini diajukan pemerintah mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga dinasti politik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Pasal 70 (p) menyebutkan bahwa warga negara Republik Indonesia yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/walikota adalah yang tidak punya ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/walikota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Ketentuan di atas jadi penting dimasukkan dalam RUU Pilkada mengingat potensi konflik kepentingan pejabat petahana terhadap calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah akan tak terhindarkan. Meskipun Pasal 93 Ayat (1) menyebutkan sejumlah larangan dalam kampanye para calon kepala daerah untuk tidak melibatkan pejabat petahana hingga pegawai negeri, kepala desa dan perangkat desa, tetapi konflik kepentingan pasti sulit dihilangkan oleh pejabat yang anak, istri, adik, dan kakaknya jadi calon kepala daerah.

Demikian pula Pasal 94 Ayat (1) yang menegaskan, “pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye”, namun tetap saja fakta di lapangan menunjukkan sejumlah pejabat petahana membuat sejumlah kebijakan politik yang menguntungkan calon kepala daerah yang menjadi kerabatnya.


Meski Pasal 92 (f) menyebutkan pula bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, dan hal ini merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 95 Ayat 1), namun dalam pelaksanaannya tindakan penegakan hukum atas hal itu sangat lemah. Karena itu, Pasal 70 (p) di atas jadi kunci utama mengantisipasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas yang dimiliki pejabat petahana.

Gejala penguatan cengkeraman dinasti politik di sejumlah daerah, bagaimanapun, akan menggerus nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Tak semua pihak menyadari bahaya yang mengancam di balik cengkeraman dinasti politik di setiap daerah. Bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang telanjur nyaman di dalam cengkeraman keluarga dinasti politik tertentu.

Adalah tanggung jawab negara untuk mengatur kembali ambang batas dominasi dinasti politik dalam pilkada. Mereka yang menjadi anggota keluarga dekat —baik vertikal maupun horizontal— dari pejabat petahana tentu saja tidak akan dihilangkan haknya sebagai calon kepala daerah. Namun beragam potensi moral hazard dari pejabat petahana dan keluarganya —yang berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya di arena pilkada— sedini mungkin harus dicegah agar monopoli kekuasaan tidak membunuh nilai-nilai demokrasi di setiap daerah di Indonesia.

Umar Syadat Hasibuan;
Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri
KOMPAS, 11 April 2013