Indonesia, juga boleh berbangga hati karena menjadi negara demokrasi plural terbesar di dunia. Tanggal 9 April lalu, kita, bangsa Indonesia telah membuktikan diri sebagai kampiun demokrasi. Pemilu legislatif telah berjalan aman dan relatif lancar dengan angka partisipasi pemilih yang mengagumkan, yakni di atas 70%. Sebuah pencapaian yang layak mendapatkan apresiasi tinggi.
Pemilu legislatif yang sesungguhnya menjadi basis bagi pemilu presiden ini, melahirkan euforia sukacita sekaligus haru biru. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, setidaknya telah memberikan gambaran awal peta kekuatan perpolitikan menuju RI 1.
Hal yang menarik adalah betapa “nujum” beberapa lembaga survei ternyata meleset. Atau mungkin memang sengaja diplesetkan? Partai-partai Islam yang diprediksi bakal –meminjam istilah pelawak Asmuni almarhum– “wassalam” karena gagal melampaui electoral threshold, ternyata kompak menjadi partai kelas menengah dengan perolehan suara yang cukup besar. Bahkan, PKS yang dihajar fitnah “Fathanah Effect”, ternyata bergeming di posisi tengah. Sementara PDIP yang sempat jumawa dengan “Jokowi Effect” yang diyakini bisa meraup 30% suara, ternyata hanya serupa bubble effect dengan perolehan di bawah 20%. Kalah dengan “Rhoma Effect” dan “Mahfud Effect”-nya PKB, atau lejitan suara Partai Gerindra.
Kondisi inilah yang membuat pertarungan politik di Indonesia semakin sengit dan pelik. Peta dan perilaku politik di masyarakat yang multikultur, etnik yang plural, multiagama, multipartai yang sangat rumit dan terkadang sulit ditebak itulah, yang membuat Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Negeri ini benar-benar menjadi surga sekaligus laboratorium politik terbesar di dunia, tempat segala macam realita, termasuk anomali demokrasi bisa dan mungkin terjadi.
Di negeri yang rakyatnya cerdas dan sejahtera –meminjam Abraham Maslow, berada dalam tingkatan aktualisasi diri– maka, demokrasi mungkin menjanjikan kebaikan. Namun apabila dihelat di sebuah republik yang kebutuhan fisiologis berupa sandang, pangan, dan papan belum sempurna tercukupi, taraf pendidikan sebagian besar rakyatnya memprihatinkan, maka yang akan terlahir hanyalah sebuah “demokrasi fisiologis” yang liberal, nyaris tanpa fatsun dan etika. Meski mungkin terasa berat, marilah kita berkenan melihat apa yang sesungguhnya terjadi dengan demokrasi di negeri ini.
Membaca Indonesia, dari pemilu ke pemilu, serasa kita tengah diajak berpetualang di tengah belantara yang nyaris bebas nilai. Terasa jelas bahwa ada sesuatu yang salah (something wrong) dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di negeri kita. Demokrasi kita bukan demokrasi filosofis yang ideal, melainkan sekedar demokrasi fisiologis. Pemilih kita sebagian masih memilih karena pertimbangan kebutuhan fisiologis tingkat dasar. Suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan itu, tak lebih dari sekadar sebuah komoditas yang bisa “diijon” dan diobral dengan murah, sekadar untuk makan.
Celakanya, inilah wajah demokrasi kita. Banyak calon wakil rakyat yang mengikuti kontestasi bernama pemilu, yang mencalonkan dirinya karena dimotivasi untuk memenuhi kebutuhan atau hajat fisiologis. Mereka mencari pekerjaan dan kekuasaan guna mencari makan. Bukan kehendak aktualisasi diri, mewakafkan kehidupannya untuk mengabdi pada rakyat melalui jalur parlemen. Situasi ini adalah cacat yang serius dari demokrasi yang mendamba kebaikan dan kesejahteraan segenap rakyat (bonnum publicum).
Kita tidak akan pernah sampai pada tujuan bernegara sebagaimana dicitakan para founding fathers negeri ini, manakala wakil rakyat yang terpilih tidak berkualitas dan pemerintahan yang terbentuk lemah serta tunduk pada intervensi asing. Tidak perlu terlalu cerdas untuk tahu bahwa sebenarnya suara golput adalah pemenang dalam pemilu. Kondisi ini mengindikasikan distrust yang kuat terhadap perpolitikan kita. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih merajalela, dengan aktor para legislator dan pejabat kotor, membuat sebagian rakyat “ilfil”, lalu apatis dan bahkan benci dan muak pada demokrasi.
Marilah berkilas balik dengan kampanye yang semestinya digelar untuk mengenalkan pemilih dengan visi misi calon legislator dan partai pengusung. Sayangnya, kampanye bagi sebagian besar partai ternyata tidak lebih dari kampanye fisiologis, ajang hura-hura kelas rendah, panggung hiburan seronok yang mengumbar syahwat, bagi-bagi duit, tawuran, dan konvoi ingar-bingar tak tentu arah. Di sisi yang lain, apakah para pemilih mencoblos dengan berbekal kecerdasan dan ketajaman nurani? Tengoklah pula realita ruang batin masyarakat kita, khususnya kelas menengah ke bawah, yang adalah populasi terbesar negeri ini, bagaimana mereka memaknai demokrasi. Tanyakan kepada mereka, berapa amplop yang mereka terima, berapa isinya, dan lalu kepada siapa mereka memberikan suaranya?
Apakah mereka peduli dengan kualitas caleg yang harus mengemban tugas mahaberat, melakukan fungsi legislasi, budgeting dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjaga negeri ini? Pemilu dalam alam demokrasi fisiologis, seringkali tak lebih dari sekedar sebuah elegi. Ia menjadi “pemiluan umum”, ketika rakyat sekedar menjadi obyek transaksi demokrasi “wani piro”. Para pemilih tetap saja pilu, berkubang dengan kemiskinan. Persis mendorong mobil mogok. Berat dan melelahkan. Tetapi setelah mesin berbunyi, mobil berlari kencang dengan meninggalkan kepulan asap yang menyesakkan rakyat, para pendorongnya.
Tidak ada jaminan tentang kualitas wakil rakyat di parlemen. Sementara mereka yang sudah duduk sebagai wakil rakyat yang terhormat, menuntut gelimang fasilitas dan kemewahan, namun abai dan alpa mendengar keluh-kesah rakyat. Mereka yang menang biasanya “ngedan” (menggila), terlibat dalam mafia anggaran dan suap. Korupsi dan kolusi menjadi modus untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan. Adapun caleg yang kalah, tekor ratusan juta hingga miliaran rupiah, akibat mahar demokrasi yang terlalu mahal, ada yang bertebal muka, lalu menarik kembali sogokan pembeli suara mereka. Sebagian yang lain terganggu psikisnya, frustrasi, stres, depresi, mengamuk, psikosis (edan), bahkan bunuh diri. Mereka menjadi tumbal demokrasi. Sungguh pemilu yang benar-benar memilukan.
Demokrasi fisiologis justru terhenti sebatas pemerolehan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan pribadi, dan partai politik belaka. Demokrasi direduksi menjadi sekedar transaksi atau seni memanipulasi pemilih dengan menghalalkan segala cara tanpa etika. Kemiskinan, kebodohan dan ketidak-melekan politik, membuat rakyat gampang sekali dibodohi oleh kelicikan, janji dan angin surga para politikus. Situasi inilah yang justru akan terus dipelihara oleh para politisi busuk penikmat demokrasi untuk dapat memanipulasi suara konstituen agar mereka terpilih menjadi wakil rakyat.
Dalam konteks inilah, pendidikan politik guna mencerdaskan masyarakat agar tidak buta politik menjadi sebuah keharusan dan kewajiban bangsa ini. Sesungguhnya hanya dari rakyat yang cerdas sajalah kita bisa berharap keterpilihan wakil rakyat yang juga cerdas dan bijaksana. Legislator yang benar-benar di-“drive” oleh spirit pengabdian pada negara dan rakyat, bukan mengabdi pada kepentingan pribadi atau menghamba pada kepentingan partai. Partai politik dengan demikian harus segera berbenah untuk meluruskan orientasi, visi dan ideologi menyejahterakan rakyat.
Caleg yang diajukan semestinya cerdas, berkualitas, dan berintegritas. Bukan caleg gagap pemilu, penunggu pohon yang gambarnya terpaku di taman-taman kota, ikut “ngetem” di kaca angkot, bertebaran di ruang publik, menjadi sampah visual perusak estetika lingkungan. Aturan main pemilu yang tegas dan cerdas juga sudah semestinya ditegakkan, guna memberikan efek jera bagi para pelaku pembusukan politik. Senyampang masih ada waktu, mari kita berbenah. Sungguh, negeri ini pasti akan membusuk, apabila kita tidak bersegera meliberasi diri dari praktik politik yang jumud dan demokrasi yang kotor dan hina ini.
Indonesia harus menciptakan aura politik yang lebih dewasa, matang, mantap dan santun. Indonesia butuh legislator yang kritis, bukan legislator narsis yang hanya bermanis muka dalam iklan liputan media. Indonesia butuh legislator handal yang bekerja rasional, bukan legislator supranatural yang gemar berburu dukun dan bersemedi di gua atau kungkum (berendam) di tempuran kali. Indonesia sungguh rindu lahirnya wakil rakyat dan pemimpin pinter yang minterke (cerdas dan mencerdaskan), bukan minteri (sok menggurui), apalagi ngadali (menipu dan membohongi) rakyatnya sendiri.
Achmad M Akung,
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Semarang
KORAN SINDO, 23 April 2014