Apakah rekam jejak yang minim bahkan nihil dalam soal di atas dapat dan wajar diatasi dengan hanya sekadar menampilkan habis-habisan wajah dengan senyum dipaksakan dan sedikit slogan yang sering justru mempermalukan diri sendiri itu? Lalu, jika Anda punya sedikit uang lebih, Anda menawarkan sembako, selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai, atau menghadirkan organ tunggal dengan tiga penyanyi dangdut amatir?
Namun, demikianlah ajang prestisius secara politis yang bernama pemilihan umum diselenggarakan di negeri ini macam sebuah panggung drama dengan opening cukup menggelikan seperti ilustrasi di atas. Gambar dan berbagai atributnya mengambil lanskap kota, desa, bahkan jalanan berdebu sebagai panggung yang riuh, menyesakkan, dan sungguh mengganggu citra visual masyarakat secara umum. Lalu aktor-aktornya bermunculan tanpa memiliki kemampuan berperan yang memadai bahkan mungkin tak memiliki bakat sama sekali.
Bagaimana tidak jika sekonyong-konyong kita dihadapkan —hampir setiap menit dalam pergaulan kita yang intens dengan media dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya— pada wajah dan nama-nama yang memaksa sistem kognitif kita menerima mereka sebagai calon pemimpin kita, pemimpin 240 juta kita. Dengan satu kondisi yang jujur harus diakui, kita tidak tahu apa yang telah mereka lakukan selama ini —di luar tanggung jawab profesional dan kedinasannya— untuk kemaslahatan dan kepentingan (240 juta) kita.
Lalu tiba-tiba beberapa nama itu melompat ke deret atas dari peringkat calon presiden paling berpotensi, menciptakan semacam persepsi yang kuat bahwa mereka semua adalah “tokoh nasional” yang pantas —entah dengan alasan apa— menjadi pemimpin nasional. Persepsi ini dibentuk dengan cara seperti terurai di awal tulisan, lantas diteruskan oleh media-media massa utama, baik cetak, audio, visual maupun daring. Lalu dengan persepsi yang tertanam kuat itu, lembaga-lembaga survei melakukan pendataan persepsi di kalangan masyarakat tertentu untuk pada akhirnya memperkuat “keberadaan” nama dan wajah kita yang mengkilap dengan rekam jejaknya itu.
Inilah sesungguhnya arti lain dari sebuah pesta demokrasi bernama pemilu: rakyat sebagai penonton (entah membayar dengan uang atau suara) disuguhi sebuah fait accompli pertunjukan teatrikal yang pada dasarnya “seolah-olah”. Dalam bahasa agak teoretis, media massa dibantu antara lain oleh lembaga survei mengondisikan kita (masyarakat pada umumnya) menerima pencitraan yang mereka buat dan suguhkan sebagai sebuah “kebenaran”. Semacam “kebenaran” yang ditawarkan iklan tentang mobil premium dengan kemewahan puncak, gadget dengan fitur tercanggih, atau bintang film tercantik dan akting terbaik. Semua itu kita terima tidak lain bukan karena berdasarkan pada faktualitas, tetapi melulu karena artifisialitas data. Kemampuan finansial dan akses besar seseorang pada media akan menjadi lebih menentukan ketimbang realitas riwayat hidupnya yang bekerja bagi kemaslahatan orang banyak.
Di sinilah alasan mengapa tokoh-tokoh alternatif di masyarakat akan sulit muncul dan bersaing dengan mereka yang memiliki kemampuan dan akses besar di atas. Sehebat apa pun seseorang yang berpotensi menjadi pemimpin, ia tidak akan mampu mengalahkan seseorang yang bisa menampilkan wajahnya hingga setengah halaman, bahkan hingga delapan foto ukuran besar dalam sehari di koran, atau belasan kali di televisi yang dimilikinya.
Atau bagaimana mengalahkan seseorang yang bisa menyewa belasan bus setiap hari untuk mengajak orang satu desa atau satu RW di berbagai wilayah Indonesia pelesir bersama sambil mengajak mereka memilih nomor dan nama tertentu pada saat pemilihan. Bagaimana dapat bersaing program dengan seseorang yang memiliki semacam think-tank berisi lulusan pasca sarjana untuk menyusun sebuah program “melulu janji”. Merekalah yang menurut survei dan media massa berada dalam top of mind dan memiliki peluang besar sebagai calon presiden. Demikianlah kenyataan artifisial yang disesakkan begitu saja lewat sebuah desain yang kita sendiri hampir tidak menyadari bahkan harus menerimanya begitu saja (taken for granted).
Dan rakyat umum tidak memiliki ruang dan peluang untuk mempertanyakan, menganalisis, atau menyikapi secara kritis realitas itu atau “kebenaran” itu. Misalnya sekadar membandingkan apa yang mereka, para calon, semburkan sebagai janji atau program dengan apa yang pernah mereka lakukan di persoalan yang sama. Saya kira jika penilaian berdasarkan perbandingan semacam ini sungguh-sungguh dilakukan, sebagian besar nama-nama di atas akan gugur dari daftar unggulan.
Tampaknya kita harus berani untuk memulai dengan sedikit hal baik dan benar demi memperbaiki semua itu. Memperbaiki cara kita memproses atau menyeleksi pemimpin yang kita inginkan. Saya kira hal pertama dari itu adalah kejujuran. Semua orang memang berhak merasa dan bernafsu menjadi pemimpin. Namun, setidaknya ia harus jujur kepada publik, kepada dirinya sendiri, kepada apa yang pernah dilakukannya.
Bertanyalah kepada diri sendiri, misalnya, apakah dalam sekujur hidupnya ia pernah melakukan sesuatu yang baik dan benar untuk tingkatan publik di mana ia ingin jadi pemimpinnya. Seberapa besar atau tinggi hasil kerja atau prestasinya itu. Dan jujurlah menilai diri sendiri. Apabila memang tidak sepadan, kenapa harus ngotot dan nekat? Apalagi bila ternyata justru banyak tindakan yang destruktif bahkan negatif yang dulu pernah ia lakukan, secara etis dan moralistis pantaskah Anda mengajukan diri? Tidakkah Anda merasa malu pada waktu (sejarah), keluarga, diri sendiri, Tuhan, atau sejawat yang tak bisa kita tipu? Ataukah Anda sudah tak punya malu, bahkan pada diri sendiri?
Begitupun media massa selaiknya jujur pada data yang ada dan tidak bisa dihapus oleh sejarah. Mungkin baik jika kita mulai mengurangi bahkan berhenti memainkan impresi atau persepsi yang bisa jadi sangat subyektif atau sektarian untuk lebih mengedepankan data yang pada dasarnya netral, jujur, dan valid. Berilah publik informasi yang akurat dengan penuh keberanian sehingga media massa dapat menjadi mata dan hati nurani publik, bukan justru menjadi senjata pengelabu kesadaran dan kebeningan hati masyarakat yang gelisah ini.
Lalu bila ditambah dengan biaya pemilu dari APBN yang meningkat dua kali lipat, sumbangan-sumbangan yang didapat partai sebagaimana mereka laporkan, dana-dana lembaga publik, swasta, negeri hingga perorangan yang terlibat, maka kita semua akan tercengang. Bahwa total semua itu sebanding dengan membuat 5.675 kilometer rel kereta api ganda yang cukup untuk seluruh Sumatera atau 3.200 kilometer jalan tol yang sama dengan target 25 tahun pembangunan kita atau sebanding dengan menggratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa Indonesia selama 32 tahun berdasarkan hitungan Mendikbud RI.
Di sinilah komedia drama pemilu ini akan berakhir menjadi tragedi. Demi sebuah pesta bernama demokrasi, demi “prestise” ilusif di tingkat internasional, demi —katakanlah— kebebasan untuk meraih, menjadi atau bicara “apa saja” itu, kita bersama harus mengorbankan kemampuan besar kita menyelesaikan masalah-masalah besar yang kritis di atas. Demi sebuah dramaturgi yang melulu memberi kita impresi dan persepsi, yang sebenarnya gelap dasar faktualitasnya, namun menyodorkan kepada kita “kebenaran” abstrak yang bahkan ilusif. Sungguh lucu.
Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 3 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar