“Menangislah dengan yang menangis!”
(St Paul)
(St Paul)
Bila kita jeli membaca tanda-tanda zaman, nurani kita pasti akan terusik melihat makin keruhnya nasib para buruh. Keputusan pemerintah Jokowi menaikkan BBM yang diumumkan Senin (17/11) jelas menjadi kado pahit bagi wong cilik atau kaum lemah. Jelas keputusan itu membuat hidup wong cilik kian menderita. Aneh bahwa penderitaan kaum lemah justru tengah terjadi di negeri, yang melimpah ruah dengan sumber daya alam.
Logika sederhana kaum buruh hanya melihat, sumber daya alam melimpah negeri ini sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama, sesuai amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Apalagi kabarnya harga minyak dunia juga turun sehingga menjadi sekitar Rp 6.000 per liter. Namun, mengapa di sini harga BBM (premium) justru naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500?
Ada ekonom yang menulis 10 alasan Jokowi menaikkan BBM, tapi kaum lemah tidak boleh punya alasan, karena mau tak mau, kaum lemah hanya bisa patuh pada kebijakan penguasa. Seharusnya dengan melimpahnya sumber daya alam, hal ini bisa membuat rakyat, khususnya kaum lemah, bisa diangkat derajat dan martabatnya sehingga menjadi lebih sejahtera.
Tapi yang terjadi justru kekayaan alam kita, lewat berbagai regulasi, justru diskenariokan untuk hanya menyejahterakan investor asing dan segelintir elite kita yang tahu mekanisme dan seluk-beluk jual beli BBM. Bukan hanya kenaikan BBM yang mencemaskan kaum lemah, tapi terlebih lagi adalah efek domino kenaikan BBM yang langsung banyak mendongkrak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.
Tak mengherankan bila berbagai elemen wong cilik seperti tukang ojek, satpam, dan buruh di berbagai penjuru Tanah Air pasti menentang kenaikan BBM. Dalam beragam unjuk rasa, misalnya banyak buruh berteriak dan berorasi. Namun, sejatinya, di lubuk hati yang terdalam para buruh sedang menangis.
Bahkan sudah cukup banyak air mata yang terkuras. Sayang, teriakan, orasi atau tangisan wong cilik itu hanya membentur dinding keangkuhan para penguasa, yang tidak punya empati lagi pada rakyatnya sendiri. Memang wong cilik seperti buruh mengalami kenaikan UMK dalam beberapa tahun terakhir, termasuk untuk UMK 2015 mendatang.
Namun, kenaikan itu sesungguhnya menjadi sia-sia akibat kenaikan BBM. Bagaimanapun, kenaikan BBM jelas memicu inflasi dan kenaikan harga. Presiden memang sudah membagi jutaan kartu sakti untuk jutaan kaum lemah, yang per kartunya senilai Rp 200.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah kartu itu bisa menghentikan inflasi dan kenaikan harga yang sudah sedemikian mencekik leher kaum lemah.
Maklum proses tumbuh kembang mereka menjadi terganggu karena ketidakhadiran orang tua mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota dengan gaji yang tidak seberapa. Kenaikan BBM, jelas bisa mempengaruhi relasi kaum lemah dengan pasangan hidupnya. Selama ini saja, tingkat perceraian di kalangan kaum menengah ke bawah tidak bisa dikatakan rendah.
Memang ketika suami istri sama-sama bekerja, sementara anak-anak dititipkan atau berada jauh dari keluarga, kohesivitas atau keterikatan pada nilai-nilai dan komitmen pada keluarga bisa memudar. Dunia kerja pun tidak membawa sukacita.
Benar, Filosof Yunani kuno, Sophocles, menulis “Without labor nothing prospers.” (Tanpa pekerja atau buruh, tak akan ada kemakmuran). Tentu, ada yang kian makmur, seperti para elite di Senayan dan mereka yang di dalam Istana. Tapi apa artinya makmur, jika harus ada kaum lemah yang kian babak-belur? Akibat kenaikan BBM, pasti menyengsarakan kaum lemah seperti buruh, nelayan, petani, para pekerja informal dan “wong cilik” lainnya.
Betapa mudahnya kaum lemah di manapun dipinggirkan lewat sebuah kebijakan penguasa. Kaum lemah juga bisa terus dipermainkan, terlebih lewat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Simak saja, para pemimpin dari pusat hingga daerah hanya memperkaya diri sendiri, kelompok atau parpolnya. Persetan jeritan pilu para buruh, petani atau wong cilik! Ini jelas mengingkari cita-cita luhur politik, yakni “bonum commune” (kesejahteraan bersama).
Mendiang Hugo Chavez dan Lula da Silva.
Peran Pemimpin
Padahal, jika ada pemimpin yang mau membuat kebijakan pro “poor” seperti mendiang Hugo Chavez di Venezuela, sesungguhnya masih mungkin untuk mengurangi penderitaan kaum lemah. Selain Chavez, kita mungkin perlu memiliki pemimpin seperti mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.
Seperti diketahui, Lula lahir pada 1945 dari keluarga miskin. Saking miskinnya dia sempat tak lulus SD, mengingat dia terpaksa harus bekerja sebagai buruh pabrik pada umur 14 tahun. Namun karena terdorong cita-cita luhur mengentas para buruh yang terjerat kemiskinan, Lula memilih menjadi aktivis serikat buruh.
Karena kerap bersuara lantang menentang ketidakadilan, dia pernah merasakan pengapnya penjara militer. Mengingat jalan perubahan secara signifikan dan masif, hanya bisa dilakukan lewat politik, Lula mendirikan Partido dos Trabalhadores (Partai Buruh Brasil) pada 1980 dan terpilih menjadi anggota parlemen enam tahun kemudian.
Prestasinya, di tengah proses transisi ke demokrasi (dari era militer sebelumnya), Lula berhasil memperkuat hak buruh tatkala UUD diamendemen, tentu dengan kekuatan partainya. Lula selalu menjadi capres dari partainya pada Pemilu 1990, 1994, dan 1998, tapi terus kalah. Akhirnya kemenangan pun diraih dalam Pemilu 2002 dan dipilih lagi empat tahun kemudian.
Presiden Brasil, Lula da Silva, sangat dekat dengan rakyatnya karena program-program Pro-Poor yang telah mereduksi kemiskinan dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada 2009.
Sebagai presiden yang berlatar belakang miskin, Lula mampu mengentas jutaan warga miskin Brasil lewat kebijakan yang diambilnya. Yang terkenal adalah program tunjangan keluarga (bolsa familia), berupa bantuan untuk keluarga miskin yang punya anak bersekolah. Juga ada program melawan kelaparan atau gizi buruk yang disebut “fome zero”. Banyak buruh sungguh terbantu.
Kemiskinan berhasil diatasi, karena yang berpendapatan di bawah USD 1,25 per hari (kriteria kemiskinan ekstrem) berkurang dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada 2009. Malah menurut Bank Dunia, ekonomi Brasil kini nomor tujuh di dunia. Jelas ini berkat Lula yang tidak hanya beretorika, tapi langsung membuat perubahan nyata untuk mengentas kaum lemah khususnya buruh, petani, dan nelayan.
Oleh sebab itu, kita yang kuat, tidak boleh semena-mena pada yang lemah. St Paul di awal tulisan ini sudah mengajak yang kuat untuk berempati pada yang lemah. Apalagi, dalam pemilu, banyak kaum lemah telah mengantar orang untuk meraih kekuasaan. Tapi mengapa setelah duduk di kursi kekuasaan, ada kebijakan yang membuat leher kaum lemah kian tercekik? Sakitnya tuh di sini!
Tom Saptaatmaja,
Teolog
KORAN SINDO, 19 November 2014