GREAT MAN ARE ALMOST ALWAYS BAD MAN.
(Lord Acton)
Sudah lama saya bergumul dengan hati nurani saya, melihat dan menyimak sepak terjang para pemimpin kita. Mereka, secara sadar atau tidak, bermuka dua.
Mereka itu para politikus tengik dan para birokrat munafik yang terlibat korupsi. Entah dengan sengaja atau tidak, karena desakan perut atau karena ada kesempatan, mereka tak lain adalah para pejabat negara yang licik dan licin bagaikan belut. Pada waktu upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan, mereka bahkan tampak begitu serius dan seperti penuh tanggung jawab.
Mereka itu semua sesungguhnya —meminjam ungkapan kolonial— bukan “beroemd” (terkenal dalam arti baik), melainkan justru “berucht” (kesohor dalam arti jelek). Ironisnya, keterkenalan dalam arti jelek itu tanpa diikuti rasa malu dan rasa bersalah.
Demikian pula secara mutatis mutandis “seorang politikus, bukan politisi”, yang tanpa rasa malu muncul dengan gagasan licik bahwa Pancasila itu adalah pilar. Apa arti “pilar”? Maksud atau tujuannya apa?
Pancasila adalah “staatsfundamenteelnorm” (Belanda) dan secara “eo ipso” adalah “Weltanschauung” (Jerman) bangsa dan negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Titik! Itulah sebabnya, kalau ada gagasan amandemen UUD 1945, haram untuk menyentuh Preambule atau Mukadimah UUD 1945.
Dye dan Zeigler dalam The Irony of Democracy (1970) menulis antara lain bahwa “The underlying value of democracy is…. Individual dignity.… Another vital aspect of classic democracy is a belief in the equality of all men.” Jadi jelas, nilai yang mendasari demokrasi tak lain adalah martabat individu. Dan, aspek penting lain dari demokrasi (klasik) adalah keyakinan akan kesetaraan untuk semua orang.
Hal itu terjadi di republik ini beberapa kali karena orang-orang yang terlibat menganggap diri mereka orang-orang santun dan beragama. Suatu pretensi yang memalukan, terutama pada era reformasi dengan sebutan gagah: “politik pencitraan”. Di belakang itu semua ada power struggle, perebutan kekuasaan, terselubung bermuka dua atau lebih: semacam dokter Jekyll dan Mr Hyde. Dengan berbagai dalih, demi kekuasaan dan uang, yang tidak perlu disebut, bagaimana mungkin mau disebut bahwa politik itu “suci”. Amboi!
Tanpa basa basi (rencana) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) adalah salah satu contoh yang transparan tentang legislatieve misbaksel. Apalagi kalau disimak tentang “naweeËn”-nya (akibat yang meresahkan) yang bertalian dengan pemilu, pilpres, dan proses rebutan kursi, baik intern maupun antarpartai.
Menurut Kompas (27 Agustus 2014), ada sejumlah pihak yang tentu berkepentingan secara politis, terlepas dari legal standing-nya, kini sedang mengajukan pengujian terhadap UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jadi, ada beberapa pihak yang berkepentingan.
Dalam pada itu dinamakan dinamika sosial-politik, sosial-ekonomi, dan campur tangan terselubung dari luar, permainan yang menyangkut hajat hidup orang kecil dan masyarakat lapisan bawah, korupsi yang masih harus dibasmi oleh KPK sampai ke akar-akarnya masih terus berfermentasi. Sementara itu, proses pembusukan terus berlangsung dan kunci peti pandora tampak seperti sudah ditemukan. Kita berharap agar apa yang semula tidak bisa dibawa ke pengadilan semoga dapat dibongkar sampai bersih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Namun, yang membuat saya heran, masih ada para akademisi dan beberapa gelintir para cendekiawan yang masih memiliki animositas (kebencian) terhadap KPK. Lalu, kapan negara dan bangsa ini akan sejahtera?
JE Sahetapy,
Guru Besar Emeritus
KOMPAS, 15 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar