Dari sisi struktur, puskesmas memiliki cabang yang disebut dengan puskesmas pembantu (pustu). Apabila kita mencermati kepanjangan puskesmas, yaitu pusat kesehatan masyarakat, tentu kita akan berasumsi pengertiannya cukup luas. Kata pusat menunjukkan sentral dari sisi aktivitas manusia yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan.
Kesehatan adalah nilai tertinggi dalam siklus kehidupan setiap manusia. Lamun ceuk urang Sunda mah, sanajan harta lubak libuk teu kalebok, bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (kata orang Sunda, walaupun harta berlimpah di setiap penjuru hingga tidak termakan, tidak memiliki arti apabila kita mengalami gangguan kesehatan). Inilah yang terjadi saat ini.
Kecukupan materi terhalang oleh berbagai larangan atas asupan makanan yang harus diterima oleh tubuh. Kita mampu beli gula, tapi tidak boleh makan gula. Beras banyak, tapi makan ditakar. Daging berlimpah, tapi kolesterol harus dikontrol. Garam banyak, tapi tekanan darah tinggi. Riweuh apanan (repot kan?), kalau seperti ini. Artinya, betapa penting makna kesehatan bagi kebahagiaan seseorang.
Kata orang Sunda, sehat itu adalah ngeunah dahar, tibra hees (makan enak tanpa pantangan, tidur nyenyak tanpa halangan). Ngeunah nyandang, ngeunah nyanding, duka ari nyandung mah... (memiliki sesuatu, menggunakan sesuatu, entah kalau beristri lebih dari satu... tidak tahu, ah ...) tanpa harus bayar uang “retribusi”.
Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan lingkungannya. Gunung yang hijau, air jernih mengalir, angin berembus perlahan, hujan jatuh membasahi seluruh permukaan alam yang menari dan bernyanyi tanpa henti. Keindahan tanpa batas. Ah, pokona mah endah weh... (Ah, pokoknya indah deh...). Dengan demikian, akan melahirkan masyarakat yang panjang umur, terbebas dari konflik, tidak mumet dalam politik, meletakkan diri pada kepasrahan yang menjadi garis perjalanan hidup manusia. Hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi, sarengkak saparipolah, sadaya kersaning Allah... (menerima seluruh ketentuan hidup yang didasarkan pada kepasrahan takdir Yang Mahakuasa).
Alhasil, bagi orang Sunda, untuk setiap musibah, selalu ada kata “untung”. Orang jatuh dari pohon, untung teu potong sukuna (untuk tidak patah kakinya), untung teu maot (untung tidak meninggal). Jika pun jatuh sampai meninggal, untung maot, lamun hirup mah leuwih susah (untung meninggal, jika saja hidup tentu hidupnya lebih sulit).
Kalau melihat hal tersebut, pusat kesehatan itu ada pada setiap rasa manusia yang sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, apa yang dilihat, apa yang diisap, dan apa yang disuap. Artinya, kesehatan sangat dipengaruhi oleh pendengaran, penglihatan, penghisapan, pengucapan, yang membentuk karakter manusia yang berpusat pada perut, hati, dan jantung serta otak. Dari situlah, kesehatan manusia akan mampu ditata dan dikendalikan.
Asa ku aneh (terasa aneh) memang, kesehatan masyarakat dipusatkan pada sebuah bangunan yang diisi oleh tenaga medis, tenaga administrasi, obat, dan bangunan standar. Sangatlah pantas kalau tingkat kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi, penyakit dengan ancaman kematian tinggi sudah menyebar ke seluruh desa. Di desa sekarang ada kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes, leukimia, bahkan sudah ada HIV. Hal tersebut mungkin dipicu oleh pemahaman kita yang salah terhadap kesehatan. Kesehatan itu adalah berobat, kesehatan itu adalah operasi, kesehatan itu adalah alat pacu jantung, kesehatan itu adalah kemoterapi. Kata saya yang bodoh, itu bukan kesehatan. Itu kesakitan. Kalau yang diurus oleh dinas kesehatan terfokus pada pengobatan, nanti kita ganti saja jangan dinas kesehatan, tapi ganti jadi dinas kesakitan. Lucu kan?
Dunia ini adalah kumpulan kata-kata. Kata menunjukkan makna, menempatkan kata yang salah akan melahirkan makna yang salah. Memaknai sesuatu yang salah, akan melahirkan perilaku hidup yang sesat. Sesat bukan persoalan aliran agama nih, tapi kita tersesat dalam pola hidup kita. Kesehatan terpusat pada hati dan pikiran. Dari hati dan pikiran yang sehat, tidak akan pernah melawan keinginan alam besar dan alam kecil. Alam besar adalah pusat yang menggerakkan, alam kecil, tanah, air, udara, matahari yang menjadi bagian dari diri kita.
Tidur tanpa nonton televisi tidak akan pusing oleh kebisingan politik. Tengah malam, bangun shalat Tahajud, terus tidur lagi sampai Subuh. Ah, rarasaan nu kieu pusat kesehatan mah... (Ah, rasa-rasanya yang beginilah namanya pusat kesehatan). Walaupun hal ini tidak mungkin ditemukan lagi, kecuali di kampung adat seperti di Baduy, tidak ada puskesmas, tidak ada dokter, tidak ada perawat, tidak ada obat kimia, mereka umurnya panjang-panjang, hidupnya bahagia tanpa konflik, bahkan tidak ada demokrasi pemilihan langsung, yang ada demokrasi alam yang diatur oleh siklus alam. Jangan-jangan puskesmas itu di sini. Heup ah... (Sudah ah...).
Wah, jadi serius nih... Tidak ada salahnya kalau kita melakukan koreksi. Frase “pusat kesehatan masyarakat” kita ganti saja menjadi “balai gangguan kesehatan” atau “rumah berobat”, atau istilah lain yang lebih jujur bahwa yang datang ke situ orang yang sakit dan butuh pelayanan tingkat pertama. Mudah-mudahan kalau diganti kalimatnya sudah enggak ada lagi orang yang datang, karena puskesmasnya sudah dipindahkan oleh masyarakat ke dalam hati dan pikirannya. Bisa jadi nanti enggak ada lagi kementerian kesehatan, karena kesehatan menjadi milik semua kementerian. Yang ada adalah kementerian gangguan kesehatan. Yang diurusnya adalah bangunan pelayanan, obat, kelengkapan medis, tenaga medis dan asuransi gangguan kesehatan serta manajerial pelayanan gangguan kesehatan yang berstandar internasional.
Mengerti kan maksud saya? Kalau tidak mengerti, nanti baca lagi tulisan saya yang berikutnya.
Dedi Mulyadi,
Bupati Purwakarta
KORAN SINDO, 27 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar