Karena beragama bukan hanya soal individual maka dimensinya kemudian mencakup segala hal. Ricklefs mencatat kenyataan ini sejak dini. Katanya, kaum priyayi meragukan bahwa Islamisasi adalah gagasan yang baik untuk masyarakat Jawa. Karena itu mereka merintis berdirinya Boedi Oetomo, yang kemudian tenggelam karena konservatisme mereka dan kalah bersaing dengan organisasi lain yang lebih modern dan lebih aktif. Bahkan Islam makin berkembang dengan pesat. Penjajahan Belanda merupakan salah satu faktor penguat perkembangan Islam.
Proses Islamisasi yang dialektis itu terus berlangsung hingga kini. Walau dikotomi abangan dan santri pada satu sisi kini tak relevan lagi, namun pada level tertentu masih tetap muncul. Kita menyaksikan proses Islamisasi yang kian massif. Namun dalam hal politik, ekonomi, bahkan wacana publik, kita akan menyaksikan Islam tetap seperti di masa awal kedatangannya: pelik dan problematis. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
Di bidang ekonomi, umat masih lebih dominan sebagai konsumen. Pelanggaran HAM terhadap umat, sedikit atau bahkan tak ada pembelaan sama sekali. Misalnya hak untuk mengenakan jilbab di lingkungan TNI dan Polri, serta di lembaga-lembaga pendidikan non-Muslim. Demikian pula hak untuk mendapat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah non-Muslim dan hak untuk mendapat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah non-Muslim oleh guru-guru beragama Islam. Umat benar-benar sedang menjadi buih. Terombang-ambing tak berdaya. Wacana publik berbau Islam dicurigai sebagai tidak Indonesia. Tentu ini sangat menggelikan, terutama jika kita mengkaji sejarah negeri ini.
Wajah Islam yang sedang menjadi buih ini rupanya bukan monopoli Indonesia, tapi merupakan fenomena global. Tak ada perhatian dunia terhadap pembantaian dan pengusiran minoritas Rohingya dari negerinya sendiri di Myanmar. Pemberontakan minoritas di Afrika Tengah, yang kebetulan beragama Islam, dijawab dengan kehadiran pasukan Prancis. Umat Islam yang tak ikut memberontak ikut menjadi tertuduh, dibantai, dan diusir dari negerinya sendiri. Kita juga bisa menyaksikan porak-porandanya umat di Irak, Libya, Suriah, dan Mesir. Dan rasanya tak ada artinya lagi menyebutkan soal Palestina.
Di lapangan politik, para politisi dan partai-partai umat seolah harus ikut arus dengan mensyaratkan modal (uang) untuk memenangkan pemilu. Akibatnya mereka terjebak dalam money politics, yang tentu saja kalah jaringan, kekuatan, dan keterampilan dalam permainan penggalangan dana. Sedangkan para pemimpin agama banyak yang tergoda untuk terjun langsung masuk ke lapangan politik praktis. Kader-kader terbaik dan muda sebagian lebih suka menjadi tim sukses politisi dan pemain politik besar yang tak berbasis umat. Lebih baik ikut menumpang daripada berjuang. Lebih baik kebagian daripada terkapar. Sungguh mengenaskan.
Ketidakpercayaan diri elite umat ini berdampak pada hilangnya keteladanan dan goncangnya pegangan. Yang semua itu menimbulkan gempa ketidakpercayaan diri yang massif. Kita berharap para pemimpin umat untuk menyadari kenyataan ini dan kembali ke tugas sucinya masing-masing. Hal ini penting bagi terbangunnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera lahir batin.
Riclefs sudah mengingatkan proses dialektis tiada henti untuk menjadi Islam Indonesia. Tak perlu ada yang dipertentangkan. Itu merupakan proses ber-Islam yang khas Indonesia. Namun yang penting dicatat adalah peringatan Ricklefs tentang hadirnya benih yang sejak awal memang tak menganggap Islam sebagai gagasan yang benar bagi negeri ini. Hal ini nyata dan tetap ada. Biarlah itu sebagai kewajaran. Itu menjadi semacam pengingat untuk selalu eling lan waspodo.
Nasihin Masha
REPUBLIKA, 28 Februari 2014