Kita dapat menyebut ketakarifan historis, ketakarifan filosofi, dan ketakarifan politik. “Empat pilar kebangsaan” sama sekali bukan “persoalan semantik”, melainkan persoalan kepandiran yang tak bisa dibiarkan. Semua itu sangat berpotensi bermuara justru pada sterilisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sehingga membuat semuanya tak berguna atau tak akan terwujud menurut fungsi dan tujuannya masing-masing. Itulah sebabnya indoktrinasi itu harus dihentikan dan ketetapan perundangannya harus dicabut.
Ketakarifan historisnya jelas. Pancasila adalah monumen politik eenmalig luar biasa dari bangsa kita. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) —yang diprakarsai dan didukung oleh pemerintahan pendudukan Jepang— dibentuk di sekitar awal 1945 dan sidang-sidangnya dilaksanakan sepenuhnya dengan moralitas dan otoritas politik. Di situ tampil pemimpin-pemimpin sejati bangsa kita dari semua kalangan dengan rekam jejak kepemimpinan yang terpuji dalam hitungan integritas dan kompetensi. Di dalam BPUPKI tak ada koruptor, politikus karbitan, apalagi pelawak dan preman.
Pada sidang-sidang BPUPKI juga berlaku deliberasi politik yang historically exemplary, baik dalam hitungan Aristotelian (demi universalisasi kebajikan), dalam hitungan Rawlsian (demi kesetaraan posisi awal dan posisi tanding), maupun dalam hitungan Habermasian (demi keterbukaan agenda dan “kartu-kartu” politik). Keseluruhan sidang BPUPKI sepenuhnya bersih dari politik uang, pesan sponsor, dan arriere pensee —motif-motif tak patut dan tersembunyi. Keabsahan prosedural dan esensialnya sungguh prima.
Perlu ditegaskan bahwa selain berbeda fungsi, Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun berbeda tingkatan serta genus dan atau spesies. Keempatnya hanya akan berguna jika dipertahankan pada fungsi dan esensinya masing-masing. Sebagai Weltanschauung, Pancasila adalah representasi atau jati diri nation, bukan representasi atau jati diri negara. Dalam hitungan itu, ia mustahil disandingkan dengan yang lain.
Di sinilah kita memasuki ketakarifan politik dari indoktrinasi atau ketetapan perundangan “empat pilar kebangsaan” itu. Pancasila adalah induk, rel, pedoman, dan pengontrol atau tolok ukur bagi aktualisasi ketiga yang lainnya. Laku memilar-milarkan keempatnya seperti suatu himpunan bisa berdampak menghilangkan fungsi Pancasila, terutama sebagai induk, rel, pedoman, serta pengontrol NKRI dan UUD 1945 itu sendiri. Itu juga bisa menghilangkan fungsi kontrol UUD 1945 terhadap NKRI.
Dalam hitungan politik, tak akan pernah ada korespondensi atau kesejalanan langsung, penuh, otomatis, apalagi permanen antara Pancasila dan negara kita. Nation, yang direpresentasikan dengan Weltanschauung Pancasila, adalah yang melahirkan negara. Bukan hanya ada asimetri mutlak di antara keduanya, negara bahkan lahir dari nation. Korespondensi antara Pancasila dan negara hanya bisa ada hingga tingkat tertentu jika pemerintah dan masyarakat bersama berjuang mewujudkannya secara kumulatif setahap demi setahap melalui kerja/bakti tegar serta konsisten dan jika semua hasil nyata yang sudah kita capai dalam perjuangan itu bisa terus kita pertahankan dan lipatgandakan.
Justru karena menyadari tiadanya korespondensi mutlak permanen itulah, kita perlu terus mengingatkan masyarakat bangsa kita, terutama para pelaksana negara agar tak pernah berhenti memperjuangkannya. Esensi Pancasila dan esensi negara kontras satu sama lain. Para Bapak Pendiri Bangsa kita merumuskan Pancasila sebagai lima patokan —panduan ideal murni dalam kerangka rasionalitas politik modern. Sebagai perangkat ideal murni, ia pada dirinya —an sich— mustahil dikorupsi ataupun dikompromikan.
Sebaliknya, hadir dan berkiprah di alam nyata, negara yang selamanya diwakili oleh sekelompok manusia selalu merupakan ajang pertandingan dari aneka kepentingan yang jumlahnya mustahil dihitung, yang sebagian besarnya tak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan satu sama lain. Maka, sudah menjadi kodrat negara untuk selalu terombang-ambing dan berubah-ubah arah menurut kehendak atau kepentingan para penguasanya dari waktu ke waktu betapapun bagus konstitusinya.
Negara mustahil memiliki pedoman ultimat pada atau dari dirinya sendiri. Pedoman ultimat bagi negara haruslah sesuatu yang berada pada alam ideal atau apa yang disebut Aristoteles “prinsip-prinsip rasional” dalam sinar kebajikan yang tidak berubah-ubah. Pancasila adalah prinsip-prinsip demikian. Maka, ia harus terus dipertahankan sebagai obor pemandu arah, penentu atau pendesak agenda ekonomi, politik, dan kebudayaan, serta tolok ukur ultimat bagi setiap perilaku negara. Di dunia tak ada “negara paripurna” karena berkias pada “Kota Sempurna” Sokrates, negara paripurna “hanya ada di langit”.
Jauh sebelum Lord Acton dan para teoris demokrasi modern, Machiavelli dalam Discourses sudah mengingatkan kita tentang keniscayaan untuk terus mewaspadai arah dan perilaku kalangan penguasa di dalam negara jika kita ingin tetap mempertahankan kemerdekaan. Kita juga mewarisi peringatan terkenal John Curran (1790), hakim dan tokoh politik Irlandia, bahwa “syarat Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia adalah kewaspadaan abadi”. Pancasila adalah medium nation —medium seluruh warga bangsa— untuk tetap mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kewaspadaan abadi atas negara dan konstitusi kita.
Di dalam Pancasila dan Demitologi (Prisma, Agustus, 1977), saya sudah mengutarakan empat peringatan setiap kali kita berwacana atau menetapkan sesuatu atas nama Pancasila. Tiga puluh enam tahun silam itu, keempat peringatan ini saya tujukan langsung ke jantung kekuasaan Orde Baru.
Pertama adalah keniscayaan untuk “memberikan pengertian yang relatif riil, jelas, dan benar dari setiap sebutan yang kita kenakan buat atau yang kita rangkaikan dengan Pancasila”. Kedua adalah keniscayaan kehati-hatian setiap kali kita hendak menggunakan “Pancasila sebagai alat”. Ketiga adalah keniscayaan “menukar penerapan doktriner yang cenderung tak mengenal batas, tertutup, dan monopolistis dari Pancasila dengan penerapan rasional, terbuka, dan demokratis”. Keempat adalah keniscayaan untuk “mengoreksi kecenderungan triumfalisme kita” setiap kali kita mengangkat Pancasila.
Indoktrinasi dan ketetapan perundangan bernama “empat pilar kebangsaan” itu secara telak melanggar atau menafikan keempat peringatan ini. Dan alangkah kental aroma Orde Baru padanya!
Mochtar Pabottingi,
Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 6 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar