Setelah keluarnya artikel saya yang berjudul: "
Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas," saya menerima beberapa pertanyaan yang intinya kira-kira seperti ini: memperhatikan ragam diskusi tentang surah Al-Maidah: 51, apakah kasus pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (atau lebih sering disebut Ahok) di Kepulauan Seribu dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam yang merupakan suatu tindak pidana berdasarkan hukum Indonesia? Artikel ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Ketentuan terkait pidana penistaan agama diatur dalam Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan /Atau Penodaan Agama ("PNPS 1965") yang menambahkan ketentuan baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 156a yang berbunyi sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa.”
Penjelasan resmi dari Pasal 156a di atas menyatakan: “huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini.”
Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Saya tidak akan membahas lebih jauh apakah penetapan presiden Soekarno di atas sebenarnya bisa dianggap sebagai undang-undang atau tidak, mengingat dari tata peraturan perundang-undangan yang normal, tidak mungkin keputusan presiden bisa mengalahkan atau mengganti ketentuan undang-undang (termasuk menambahkan ketentuan baru dalam KUHP).
Jadi saya asumsikan dulu untuk kepentingan pembahasan kita kali ini, bahwa ketentuan di atas mengikat sebagai suatu undang-undang yang sah.
Adapun kutipan pernyataan Ahok yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah kurang lebih sebagai berikut: “
.... bapak ibu nggak bisa milih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu, ya, jadi kalau bapak ibu merasa nggak bisa milih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, nggak papa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu ....”
Pertanyaan utamanya, apakah potongan kalimat kurang lebih 20 detik dari total temu wicara sekitar 45 menit itu memenuhi unsur tindak pidana penodaan agama? Video lengkapnya bisa dilihat di sini.
(https://youtu.be/N50zheD7Amg)
Sebagaimana telah beberapa kali saya sampaikan mengenai pemidanaan atas kasus-kasus terkait penghinaan dan penodaan agama, saya selalu menyarankan agar sifat tindak pidananya dihilangkan atau paling tidak dibatasi karena standar yang digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghinaan atau penodaan sering kali tak jelas dan oleh karenanya pasal-pasal tersebut menjadi rentan disalahgunakan.
Khusus untuk penghinaan yang terkait isu agama, saya juga pernah membahas panjang lebar tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap melalui artikel saya di sini:
(http://www.pramoctavy.com/2015/01/bolehkah-membunuh-penghina-nabi.html)
Namun mengingat peraturannya sendiri masih belum dicabut dan nampaknya ada cukup banyak elemen masyarakat yang sedang emosi akibat pernyataan di atas, kita perlu mendalami lebih jauh unsur penodaan agama dalam kasus ini.
Merujuk kepada PNPS 1965, sebenarnya tidak banyak membantu, karena baik pasal maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan menodai agama, hanya dikatakan bahwa tindak pidana ini adalah yang semata-mata ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.
Berarti setidaknya ada dua unsur yang harus dianalisis, unsur niat dan unsur memusuhi atau menghina (mengingat unsur mengeluarkan perasaan di muka umum sudah jelas terbukti dari adanya video dan juga acara temu wicara di Pulau Seribu itu).
Terkait pembuktian niat, saya akan serahkan kepada ahli lainnya, termasuk mungkin ahli psikologi dan bahasa tubuh karena acaranya sendiri berlangsung cukup lama dan nampaknya sulit memisahkan potongan kalimat di atas dari konteks acara secara keseluruhan untuk memahami apakah ada niat menghina / menodai.
Saya lebih tertarik kepada konsep penghinaannya sendiri. Dari berbagai analisis yang beredar, penghinaan atau penistaan agama dianggap muncul karena adanya kalimat “
dibohongi pakai surah Al-Maidah 51.”
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa: (i) surah Al-Maidah: 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, dan ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin, (ii) ulama wajib menyampaikan isi surah Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib, (iii) setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah Al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin, dan (iv) menyatakan bahwa kandungan surah Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan di atas sebagai sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.
Walaupun definisi penodaan sendiri tidak pernah dijelaskan dalam PNPS 1965, dari sudut pandang logika hukum, paling tidak harus bisa dibuktikan terlebih dahulu bahwa pernyataan Ahok soal dibohongi dengan Al-Maidah 51 adalah suatu kesalahan, khususnya dari segi hukum Islam.
Bagaimana caranya kita bisa dianggap menodai sesuatu apabila yang kita sampaikan ternyata benar? Menurut KBBI, menodai bisa berarti mencemarkan, menjelekkan nama baik atau merusak kesucian, keluhuran, dan sebagainya. Sementara bohong didefinisikan sebagai tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Logika ini juga yang nampaknya dipakai dalam Fatwa MUI dimana Fatwa MUI itu menyimpulkan bahwa pernyataan Ahok tersebut salah dari sudut pandang hukum Islam karena menurut MUI, kaum Muslim wajib memilih pemimpin Muslim dan dengan demikian, mereka tidak dibohongi dengan keberadaan Al-Maidah: 51.
Sebagaimana sudah dibahas di artikel saya sebelumnya, memang banyak tafsir dari ulama klasik yang melarang kaum Muslim menjadikan kaum non-Muslim sebagai pemimpin, walaupun ada juga tentunya pendapat lain yang lebih kontemporer yang menganggap bahwa larangan ini hanya berlaku untuk pemimpin kafir yang zalim atau khusus dalam situasi perang / permusuhan.
Isu utamanya adalah konsep dan definisi pemimpin tak bisa dipisahkan dari bentuk negara yang menaungi keberadaan si “pemimpin” tersebut. Dan karena belum ada pendapat tunggal mengenai bentuk negara dalam hukum Islam, dengan sendirinya, konsep dan definisi “pemimpin” juga menjadi ambigu.
Belum lagi ditambah fakta bahwa istilah awlia dalam Al-Quran (sebagaimana juga dimuat dalam Al-Maidah: 51) tidak terbatas hanya ditafsirkan sebagai pemimpin, namun juga teman setia yang cakupannya sebenarnya jauh lebih luas dibanding pemimpin.
Fatwa MUI tersebut sayangnya tidak menjelaskan lebih jauh soal apa yang dimaksud dengan pemimpin, padahal kuncinya ada di situ. Uniknya, fatwa MUI kali ini juga tidak memberikan satupun kutipan dari Quran, Hadits dan kitab-kitab fikih (yang biasanya dikutip oleh MUI) untuk mendukung ide bahwa pemimpin non-Muslim adalah haram dan bahwa semua umat Islam wajib meyakini kebenaran hal tersebut.
Kerancuan ini yang kemudian menimbulkan multitafsir dan juga memunculkan tuduhan dari sebagian orang bahwa fatwa ini bersifat politis, bukan lagi murni akademis. Kenapa saya sebut akademis? Karena fatwa ulama tidak memiliki kekuatan hukum mengikat baik dari sudut pandang hukum Indonesia maupun hukum Islam (yang menyebabkan munculnya ide forum
shopping atau
talfiq).
Orang bisa bebas mengikuti atau menolak suatu fatwa sehingga umumnya fatwa ditulis dengan dasar-dasar yang dianggap ilmiah sehingga isinya bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Apalagi dalam kasus kita, konsekuensi dari kesimpulan yang dimuat dalam fatwa MUI di atas sangat besar karena fatwa tersebut secara implisit mempertanyakan akidah orang-orang Muslim yang tidak menganggap bahwa larangan memilih pemimpin non-Muslim merupakan kebenaran yang bersifat absolut.
Soal akidah tentunya tak bisa sembarangan. Saya pernah menulis juga tentang mengapa isu hukum yang seringkali memiliki perbedaan pendapat seharusnya tidak dibawa ke ranah akidah.
Maka kita harus bertanya, ketika MUI atau pun organisasi atau ulama lainnya sedang membahas konsep pemimpin di Indonesia, sejauh mana mereka akan mendefinisikan istilah itu dan sampai sejauh mana larangan memilih pemimpin kafir itu berlaku?
Apakah hanya akan berhenti di jabatan gubernur pada saat Pilkada? Atau mau dibawa ke ranah jabatan lain? Jelas bahwa kalau kita bicara pemimpin, seharusnya tidak hanya terbatas pada gubernur. Malah saya yakin kalau hanya dikhususkan pada gubernur, kita justru akan dianggap berbohong.
Ambil contoh kitab
Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah yang sempat saya bahas di artikel sebelumnya. Ketika Al-Mawardi membolehkan adanya jabatan Menteri Pelaksana yang boleh diisi oleh orang non-Muslim, Al-Mawardi berargumen bahwa hal itu dikarenakan si Menteri memiliki kewenangan terbatas (hanya melaksanakan hal-hal yang diinstruksikan oleh Khalifah) serta tak memiliki kewenangan anggaran maupun kemampuan mengangkat pegawai.
Kalau kita mengaplikasikan konsep ini di Indonesia (wewenang terbatas dan tidak meliputi kuasa anggaran dan pegawai), definisi pemimpin bisa meliputi banyak sekali jabatan, mulai dari level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, hakim agung, hakim konstitusi, kepala departemen dan badan-badan negara (seperti OJK, BI, dan BKPM), menteri sampai Presiden.
Besar kemungkinan jabatan wakil (wakil gubernur, wakil presiden, dan sebagainya) juga masuk dalam konsep ini. Kita bahkan belum bicara di level teman setia yang seharusnya bisa meliputi sahabat, partner bisnis, rekan kerja atau bos di perusahaan.
Inikah yang dimaksud dengan pemimpin oleh MUI dan para pihak yang mendukungnya? Kenapa tidak dipertegas seperti itu sekalian? Karena kalau demikian penafsiran yang dipilih dan diamini oleh MUI dan para pendukungnya, klaim bahwa pernyataan Ahok di Pulau Seribu adalah suatu kesalahan tentunya menjadi logis dan masuk akal, keberadaan pemimpin non-Muslim 100% haram dalam segala bentuk dan jabatan.
Namun apabila kita konsekuen memilih penafsiran ini, keharaman memilih pemimpin non-Muslim seharusnya bukan saja terbatas pada kasus ketika rakyat sedang atau akan memilih pemimpin mereka di level Pilkada atau Pilpres, tetapi berlaku juga pada semua pejabat Muslim yang hendak memilih dan mengangkat pejabat non-Muslim.
Dalam penafsiran ini, Presiden Jokowi, selaku orang Muslim, sudah tak lagi beriman ketika mengangkat Ignasius Jonan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral karena Jonan orang Katolik (dan jelas jabatan Menteri ESDM memiliki wewenang yang luas, apalagi jabatannya sangat strategis dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak).
Lagipula, apa alasannya kalau kata “memilih” hanya dibatasi pada memilih dalam Pemilu? Toh bagi sebagian ulama, Pemilu dan demokrasi juga tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Memilih tidak harus selalu dalam konteks demokrasi. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah “menjadikan.”
Konsekuensi lebih lanjutnya, sistem yang memungkinkan terpilihnya pemimpin non-Muslim juga seharusnya haram. Dalam kaidah hukum Islam yang sangat terkenal, ketika suatu tindakan diharamkan, semua tindakan yang membantu terciptanya tindakan itu juga haram (contoh: kalau minum alkohol itu haram, maka menjual dan memproduksi alkohol juga haram walaupun tidak diminum).
Dengan sendirinya, bentuk negara kesatuan Republik Indonesia pun harus diharamkan karena negara Indonesia memperbolehkan majunya calon non-Muslim dalam setiap pemilihan pemimpin dan juga membolehkan orang non-Muslim untuk memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan.
Bagaimana mungkin kita membiarkan sistem yang memfasilitasi orang non-Muslim tetap berjalan sementara kita juga meyakini bahwa kaum Muslim tak boleh dipimpin oleh secuil pun kaum non-Muslim?
Mungkin bentuk negara yang benar adalah ketika ada segregasi yang jelas antara kaum Muslim dan non-Muslim, sistem pajak saat ini dihapuskan dan orang-orang non-Muslim diwajibkan membayar
jizyah.
Tak hanya konsep negara kesatuan yang haram. Para
founding fathers Muslim di masa lalu juga sebenarnya telah melakukan perbuatan haram dengan menjadikan founding fathers non-Muslim sebagai kawan setia dalam berjuang melawan penjajahan.
Seharusnya mereka semua meyakini sebagai kebenaran mutlak bahwa kaum non-Muslim tak bisa dipercaya dan selalu menginginkan hal-hal yang buruk bagi kaum Muslim (lihat sumber tafsirnya dalam artikel saya tentang Al-Maidah: 51). Jadi, apakah ini tafsir yang akan kita ambil?
Kalau benar pandangan tersebut kita ambil, saya cukup yakin bahwa kita baru saja melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia karena menolak bentuk negara kesatuan. Sesuatu yang anehnya didiamkan saja selama ini walaupun sebenarnya merupakan tindak pidana serius berdasarkan KUHP.
Sampai di sini mungkin ada yang berpendapat bahwa tafsiran di atas terlalu berlebihan atau mungkin maksudnya cuma satir. Tidak, saya tidak sedang menyusun tulisan satir atau sarkasme. Saya sedang serius menyampaikan konsekuensi logis suatu pemikiran, konsekuensi yang seringkali dilewati atau dianggap angin lalu.
Omong kosong kalau kita mengklaim memiliki integritas pemikiran, bebas kepentingan dan murni ghirah, tetapi tak mau berpikir mendalam soal konsekuensi dari pemikiran itu sendiri.
Lagi pula, memangnya apa alternatif lainnya yang bisa membuat suatu tafsiran konsisten dan tak mengandung kebohongan? Apakah definisi pemimpin hanya terbatas pada gubernur? Hal itu lebih tak jelas lagi dalilnya. Apakah konsep pemilihan maksudnya hanya dalam batasan Pemilu? Wong konsep pemimpin yang dipilih rakyatnya saja belum disepakati kesesuaiannya dengan hukum Islam?!
Dan katakanlah kita aplikasikan ini hanya dalam konteks Pemilu, apa dasarnya untuk menyatakan bahwa pejabat Muslim bebas dari kewajiban untuk memilih (baca menunjuk / menjadikan) pejabat lain yang juga beragama Islam? Atau pemimpin yang wajib Muslim itu terbatas pada pemimpin dengan jumlah rakyat, pegawai, luas wilayah dan anggaran minimum tertentu? Batasannya seperti apa?
Hal tersebut juga tak ada dalil eksplisitnya dalam Quran maupun Hadits, alias kita bisa menyusun teori kita sendiri. Perlu diingat, teori terkenal mengenai bentuk negara yang dikembangkan oleh Al-Mawardi sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak mengutip Quran dan Hadits karena memang tidak ada pembahasan yang eksplisit dan detail mengenai konsep negara dan pemerintahan, apalagi bentuk teknis soal wewenang dan persyaratan masing-masing pejabat.
Buku Al-Mawardi ditulis sekitar 500 tahun setelah Islam berdiri dan Al-Mawardi mempelajari praktik yang terjadi di lapangan dalam kurun periode itu, yang tak lain adalah eksperimen Islam dalam menyusun sistem politik.
Atau mungkin kita bisa berdalil bahwa karena Indonesia bukan negara Islam, jadi wajar-wajar saja kalau sistemnya memungkinkan orang non-Muslim diangkat menjadi pemimpin. Yang penting yang Muslim tidak memilih yang non-Muslim.
Namun ini hanya berlaku dalam sistem Pemilu, bagaimana kita menjelaskan hal tersebut dalam kasus pemilihan pemimpin yang tidak melibatkan Pemilu, misalnya melalui komite atau pejabat tertentu?
Apakah ini berarti mereka yang berada di pemerintahan harus mengeluarkan syarat baru bahwa semua orang non-Muslim tidak boleh lagi mengikuti lelang jabatan atau pemilihan dalam bentuk apapun demi mengikuti fatwa MUI?
Bagaimana dengan keimanan orang-orang ini yang telah membiarkan orang non-Muslim ikut serta dalam proses seleksi kepemimpinan padahal mereka memiliki kewenangan untuk mengubah persyaratan tersebut?
Lalu mengapa cuma pemimpin? Mengapa tidak berangkat lebih jauh sampai ke level teman setia yang sebenarnya merupakan tafsiran awal dari Al-Maidah: 51? Batasannya seperti apa? Ternyata memang tidak jelas !!!
Contoh: perdagangan dengan orang kafir sah-sah saja katanya, tetapi kapan perdagangan sehari-hari berubah jadi pertemanan setia? Apakah mereka yang kafir tidak boleh jadi pelanggan tetap yang Muslim?
Apakah setiap hari kita pergi dan berinteraksi selalu disertai dengan niat bahwa kita tidak mengakui kebenaran agama Nasrani sedikit pun dan bahwa semua interaksi ini hanya sikap luar saja untuk sekedar membina hubungan manusia yang minimal?
Lelah sekali hidup seperti itu. Tetapi kalau memang mengaku kaffah, kenapa tidak sekalian saja bagi mereka yang memiliki keyakinan, bahwa menjadikan orang non-Muslim sebagai pemimpin dan teman setia itu salah?
Maka wajar bila orang akan mempertanyakan kualitas sikap yang hanya setengah-setengah atau yang mau enaknya saja. Wajar juga kalau ada yang mempermasalahkan semua keributan ini sebagai isu politis ketimbang isu
ghirah umat. Bagaimana bisa mengaku punya
ghirah, bila mereka bahkan tak paham terhadap apa isu yang sedang dibela?
Perlu dicatat, saya tidak sedang menyarankan agar umat Islam di Indonesia memilih jalur ketika kita putus hubungan dengan orang non-Muslim atau jalur ketika kita menyingkirkan semua kandidat non-Muslim dari kancah perpolitikan dan bisnis.
Bukan saja hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kebhinekaan di Indonesia dan tentunya bertentangan pula dengan Konstitusi kita dan Pancasila, hal tersebut juga justru memperkeruh suasana dan menjelekkan nama Islam, seakan-akan orang Islam selalu berada dalam keadaan paranoid, takut diserang, takut ditipu, takut dimanfaatkan oleh orang non-Muslim.
Ini kan aneh. Mayoritas tapi mentalnya lemah. Yang sedang saya pertanyakan adalah bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa pernyataan Ahok salah dan oleh karenanya menodai Islam namun tanpa membuat seluruh sistem negara kesatuan Republik Indonesia bubar?! Ini yang perlu direnungkan.
Mungkin, apabila tafsiran isu larangan pemimpin non-Muslim ini dipahami terbatas pada masa perang dan konfrontasi niscaya akan lebih tepat untuk digunakan. Tafsiran ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang pragmatis sebagaimana sering saya ulas dalam artikel-artikel saya dan tidak perlu membuat kepala kita pusing mencari justifikasi soal mana tipe pemimpin yang haram dan mana yang tidak sebagaimana saya uraikan di atas.
Dalam situasi klasik ketika konsep negara belum ada, dan wilayah-wilayah masih diperjuangkan satu demi satu, lalu dikepung pula oleh wilayah-wilayah lain yang dikuasai kaum kafir, maka anjuran untuk menolak pemimpin non-Muslim ini menjadi amat sangat wajar.
Ya iya lah, kalau wilayah dan kesatuan kaum saja belum beres, bagaimana caranya mengambil pimpinan dari orang yang sama sekali tidak berbagi nilai yang sama dengan kita? Sementara itu di konsep negara modern yang basisnya lebih banyak ke wilayah dan nasionalisme, memaksakan konsep seperti ini tentu saja sulit.
Realitasnya memang sudah berubah, menggunakan konsep yang konfrontatif dengan sesama warga negara sendiri jelas kontraproduktif dan menciptakan suasana yang saling tak mempercayai.
Apalagi Indonesia saat ini sudah dianggap final sebagai bentuk negara kesatuan yang ber-bhinneka (kecuali kalau anda mungkin memang sudah siap untuk melakukan pidana makar).
Dan apabila kita memilih tafsiran demikian, mau tidak mau konsep larangan pemimpin non-Muslim yang bersifat umum dan absolut tidak lagi menjadi benar dan dapat dipertahankan. Tidak mungkin kita menyatakan dua ide yang 100% bertentangan sebagai sama-sama benar.
Secara logika, hanya salah satu konsep yang bisa kita pilih dengan segala konsekuensinya. Lalu kenapa kemudian ide larangan pemimpin non-Muslim yang umum itu kini disebarluaskan dan dianggap sebagai kebenaran absolut sampai-sampai akidah sesama Muslim bisa dipertanyakan? Silakan direnungkan kembali.
Lebih penting lagi, apa urgensinya untuk menciptakan konfrontasi dengan ide demikian di era masa kini?
Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa terlepas apakah pernyataan Ahok itu benar atau salah secara obyektif, paling tidak secara subyektif, pernyataan tersebut telah menimbulkan keresahan dan kemarahan terhadap sebagian umat Islam karena dianggap menyakiti hati mereka.
Dengan demikian, kasus ini bisa tetap dianggap sebagai penodaan agama. Ada beberapa permasalahan dengan klaim tersebut.
Pertama, apabila penodaan atas suatu agama dinilai hanya dari adanya pemeluk agama tersebut yang merasa dinodai, apa dasarnya sebagian umat Islam bisa mewakili sebagian yang lain untuk menyatakan bahwa seseorang telah menodai agama Islam?
Apakah jumlahnya harus mayoritas? Atau semua orang Islam harus sepakat terlebih dahulu? Masa pidana dijatuhkan hanya berlandaskan pada banyak-banyakan suara?
Penduduk Muslim di Indonesia ada lebih dari 200 juta manusia, kalau yang ribut mencapai 200 ribu orang pun sebenarnya tak sampai 0,1% dari total semua penduduk tersebut. Apakah bisa dianggap mewakili suara kaum Muslim Indonesia?
Saya juga belum pernah mendengar adanya doktrin hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang bisa dipidana karena ada banyak orang lain yang beranggapan orang tersebut harus dipidana. Memangnya pengadilan punya nenek moyang Anda?
Lebih penting lagi, seperti juga pernah saya bahas dalam berbagai artikel saya termasuk tentang Al-Maidah: 51, bila mendasarkan pendapat akademik hanya pada suara mayoritas tanpa menelisik lebih jauh isi argumentasinya maka sangat riskan. Contoh yang sering saya gunakan adalah hukum perbudakan.
Kehalalannya, termasuk kehalalan menyetubuhi budak tanpa persetujuan si budak (alias memperkosa) adalah pendapat mayoritas ulama klasik dengan dalil dari Quran dan Hadits.
Apakah apabila kita tak lagi setuju dengan kehalalan itu dan mengutuk tindakan ISIS yang memperbudak kaum Yazidi, kita sudah dianggap menodai Islam karena menghina pendapat dari para ulama yang agung di masa lalu?
Kedua, standar rasa sakit hati yang bisa menyebabkan pidana itu seperti apa? Sekedar sakit hati tanpa alasan apapun atau harus jelas penyebabnya? Bagaimana kalau yang sakit hati tak paham apa yang menyebabkan ia sakit hati?
Apakah kemarahan buta tanpa alasan menjadi dasar untuk pemidanaan? Saya pikir semua ahli hukum tahu jawabannya. Jelas tidak. Kalau begini caranya, setiap kali ada satu atau beberapa orang tersinggung karena ucapan orang lain, terlepas apapun ucapannya, orang lain tersebut bisa dipidana.
Sistem hukum yang membiarkan hal tersebut terjadi adalah sistem hukum yang berantakan, bayangkan penyalahgunaannya.
Saya teringat kasus tragis di Afghanistan ketika seorang wanita Muslim, Farkhundah Malikzada, dihajar ramai-ramai dan dibakar hidup-hidup oleh massa di sekitar sebuah masjid. Alasannya? Ia dituduh membakar Quran.
Ironisnya, penuduhnya sebenarnya seorang penjual jimat yang sedang ditegur oleh wanita itu karena berjualan di depan masjid. Hanya karena teriakan si penjual bahwa Farkhundah telah membakar Quran, tanpa pikir panjang, segerombolan orang langsung menyerbu dan membunuh Farkhundah.
Yang lebih tak masuk akal lagi, ada imam Masjid di Afghanistan yang sempat membenarkan peristiwa ini karena menurutnya ketika Quran dihina, wajar orang murka dan tidak berpikir panjang. Tentu saja ini menimbulkan protes dari ribuan wanita Afghan.
Tidak ada hukum yang memperkenankan orang marah untuk membunuh orang lain begitu saja, atau hukum yang membenarkan pembunuhan hanya karena emosi dengan alasan emosinya berbasis
ghirah.
Membenarkan hal tersebut sama saja menyatakan kepada khalayak ramai bahwa umat Islam tak mampu berpikir panjang, tak mampu mengontrol emosi, dan cenderung barbar. Contoh kasus seperti ini yang membuat nama Islam sebenarnya dinodai dan kita semua tahu ini bukan cuma satu kasus.
Ketiga, apabila murni kita hanya memakai standar perasaan subyektif, akan timbul banyak perdebatan yang tak kunjung usai soal kapan penghinaan atau penodaan dianggap terjadi. Ambil contoh istilah kafir.
Mungkin sebagian orang santai saja menggunakan istilah ini kepada orang yang beragama lain, tetapi kalau orang lain tersebut tak terima, secara teknis, bisa saja diargumentasikan bahwa pernyataan kafir tersebut adalah bentuk penodaan karena konotasi kata "kafir" yang sangat negatif.
Contoh lain, orang Nasrani percaya bahwa Yesus adalah putra Tuhan atau bagian dari Trinitas sementara orang Muslim percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa dan nabi. Hal tersebut merupakan keyakinan fundamental dari masing-masing agama.
Apakah dengan demikian otomatis keduanya saling menodai agama lain karena saling tidak mengakui hal fundamental tersebut dan diajarkan pula secara umum melalui kegiatan dakwah masing-masing?
Berapa banyak ucapan khotib Jumat yang pernah saya dengar yang bisa dianggap menodai agama lain terlepas apakah dari sudut pandang kaum Muslim hal itu dianggap biasa-biasa saja. Contoh gampang soal orang kafir yang diklaim tak bisa dipercaya dan berniat menimbulkan keburukan untuk kaum Muslim yang sempat saya singgung di atas.
Saya masih ingat persis di sebuah masjid perkantoran ketika khatib shalat Jumat dengan enteng menyatakan bahwa kita tak bisa berteman dengan orang Nasrani karena kebencian mereka terhadap kaum Muslim.
Apa yang mungkin diyakini oleh sebagian orang itu jelas bisa dianggap penghinaan bagi orang Nasrani karena sama saja mengklaim bahwa semua orang Nasrani pada dasarnya buruk. Diucapkan di depan ratusan jamaah pula dan dengan suara berapi-api.
Dengan alasan subyektif, ajaib rasanya kalau sampai hal tersebut tidak dianggap melanggar ketentuan PNPS 1965 yang berlaku secara umum untuk semua agama. Atau kita akan berargumen bahwa pernyataan khotib itu sah-sah saja karena kaum Muslim di Indonesia mayoritas?
Lah, masa kita yang sekarang jadi penindas baru setelah jadi mayoritas? Apa bedanya dengan kaum jahiliyah dulu ketika mereka mayoritas dan kaum Muslim hanya minoritas? Lagi-lagi ini perlu direnungkan secara mendalam.
Boko Haram dan para perempuan yang disandera.
Saya berharap bahwa tulisan ini bisa menjadi dasar untuk melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai posisi yang kita ambil, khususnya dalam memahami kasus penodaan agama.
Dan ini hanya bisa terjadi ketika kita mau berpikir secara sistematis dan menyeluruh. Pernah dalam suatu diskusi terkait hal di atas dalam sebuah grup WA, ketika saya meminta orang berpikir lebih jauh tentang isu perbudakan dan riba untuk memahami fleksibilitas hukum Islam, ujung-ujungnya mereka mengirimkan video tentang bahaya menggunakan akal dalam Islam dan kemudian menuliskan doa mohon petunjuk dari Allah SWT serta perlindungan dari kesesatan (intinya meminta diskusi diakhiri saja secara implisit).
Ini lucu sekaligus menyedihkan, ke mana
ghirah-nya ketika disuruh berpikir? Semua semangat itu hanya bisa timbul ketika kita tak lagi berpikir dan murni terbakar emosi?
Kalau demikian, apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjadinya
mob mentality macam yang terjadi di Afghanistan di atas? Semoga hal demikian tak terjadi di Indonesia.
Demo Aksi Damai Bela Islam II, 4 November 2016.
Sebagai penutup, bagi mereka yang akan berdemonstrasi hari ini terkait isu penodaan agama, saya gembira bahwa akhirnya orang-orang ini merasa dan mengakui bahwa hak berdemonstrasi adalah bagian dari sistem demokrasi di Indonesia (aneh kalau sudah menganggap punya hak, tetapi tak mengakui kesesuaian hak itu dengan hukum Islam).
Kapan lagi saya melihat ada orang-orang yang kemarin misalnya menganggap bahwa konsep Islam Nusantara tak masuk akal kemudian membalas fatwa haramnya berdemonstrasi dengan ide
'Urf alias adat istiadat untuk menunjukkan bahwa larangan itu seharusnya terikat dengan budaya Saudi Arabia sementara adat Indonesia berbeda.
Saya berharap ini tak berhenti di sekedar comot mencomot fatwa yang disukai saja, tetapi juga dipertimbangkan masak-masak mengapa kita memilih mengambil satu posisi tertentu karena demokrasi tanpa partisipasi aktif dan rasional dari masyarakatnya tentu tak akan berjalan dengan baik. Saatnya kita jadikan perbedaan sebagai rahmat, bukan kutukan.
Pramudya A. Oktavinanda
Advokat dan Kandidat PhD di University of Chicago Law School
Selasar.com, 5 November 2016
http://www.pramoctavy.com/2016/11/memahami-penodaan-agama-seutuhnya.html