Memang menyedihkan, sebab data yang akurat adalah fondasi bagi penyusunan APBN, program pembangunan, dan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang. Dengan kata lain, pengabaian terhadap akurasi data, sama saja dengan mengelola negara sambil menutup mata. Kebijakan dan program pembangunan dibuat berdasarkan spekulasi atau insting belaka.
Bisa jadi, hal inilah yang menyebabkan berbagai proyek super mahal setelah rampung dihadapkan pada dua pilihan: disubsidi atau mati. Di antaranya adalah proyek kereta ringan LRT Palembang, kereta api Bandara Cengkareng, jalan tol Trans Jawa, dan Bandara Kertajati yang juga terbesar kedua di Indonesia. Keempatnya di bawah tekanan keuangan yang berat karena biaya operasional jauh lebih tinggi dari pendapatan.
LRT Palembang, melintas disamping jembatan Ampera.
Masalah ini tentu tak akan muncul bila para pemangku kepentingan dilibatkan dalam perencanaan dan proses pembangunan. Pemerintah tampaknya asyik dengan perhitungannya sendiri, yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan milik para pemangku kepentingan.
LRT Palembang yang pembangunannya menelan Rp10 triliun, kini membutuhkan subsidi sekitar Rp 9 miliar per bulan. Ini karena biaya operasionalnya sangat fantastis, yaitu Rp 10 miliar per bulan, sedangkan penghasilannya hanya Rp 1 miliar.
Tak jelas kapan LRT ini bisa beroperasi normal karena kota Palembang hanya berpenduduk 1,5 juta jiwa dan tak didera kemacetan.
Kereta api mewah Bandara Cengkareng, yang pembangunannya menelan lebih dari Rp 5 triliun, tak kalah parah. Hanya sekitar 5 sampai 10 penumpang dalam setiap perjalanan. Inilah mengapa presiden Jokowi telah meminta Gubernur DKI, Anies Baswedan, untuk memberi subsidi.
Kereta Mewah Bandara SOETTA, Cengkareng.
Anies belum memberi jawaban. Sedangkan Gubernur Sumatera Selatan telah menyatakan tak bersedia memberi subsidi karena LRT bukan milik Pemda.
Jalan tol Trans Jawa tak lebih baik karena ditinggalkan oleh para pengemudi truk dan bus. Mobil pribadi juga banyak yang lebih suka memakai jalan Pantura. Inilah mengapa, setelah Pejagan dari arah Jakarta, jalan super mahal ini selalu sepi. Alasan mereka para pengguna, termasuk kereta Bandara, sama: Tiketnya terlalu mahal.
Sementara itu Bandara Kertajati hanya melayani 16 penerbangan setiap hari. Padahal Bandara lain yang lebih kecil seperti Juanda dan Kualanamu melayani ratusan penerbangan per hari.
Bagaimanapun juga, dalam debat capres terakhir, penghamburan data yang sangat tidak akurat bisa saja sengaja dilakukan. Sebab debat ini menarik perhatian sangat besar dari rakyat di seluruh pelosok tanah air. Maka tepuk tangan lebih diutamakan ketimbang data yang akurat.
Bandara Internasional Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.
Strategi ini tampaknya didasari oleh perhitungan bahwa para penonton sudah sangat fanatik pada idola masing-masing. Sebagaimana umumnya orang fanatik, mereka hanya mau mendegar dan melihat apa yang ingin mereka lihat dan dengar. Seperti dikatakan oleh filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, “kadangkala (di Indonesia 'banyak') orang tak mau mendengar kebenaran karena tak mau ilusinya hancur.”
Maka tak mengherankan bila dalam debat capres terakhir, muncul data tak akurat, seperti tak terjadi kebakaran hutan dalam beberapa tahun belakangan, pembangunan 191 ribu kilometer jalan desa, produksi padi surplus 2,8 juta ton, impor jagung hanya 180 ribu ton, hampir tidak ada konflik lahan, dan Prabowo menguasai 340 ribu hektar tanah di Kalimantan Timur dan Aceh.
Ketidakakuratan data di atas bisa saja tak berpengaruh pada elektabilitas karena fanatisme sudah demikian hebat. Namun, hal itu memberi pengetahuan lebih jelas kepada masyarakat kenapa berbagai kebijakan pemerintah meleset dari sasaran. Mereka menjadi lebih paham kenapa rupiah loyo bekepanjangan, defisit neraca perdagangan kian menganga, bayi kerdil akibat kurang gizi meningkat, pangan impor terus membanjir dan sebagainya.
Namun di Indonesia, sebagaimana di negara lain, kebohongan masih dianggap sebagai senjata ampuh oleh para politisi. Maka LOL yang di dunia maya adalah “lough out loud” (tertawa ngakak), di dunia politik bisa diplesetkan menjadi “lie or lose” (berbohong atau kalah).
Sejarah pun diabaikan meski telah terbukti bahwa popularitas seorang politisi bisa rontok karena dianggap pembohong oleh rakyatnya. Salah satu contohnya adalah Presiden Perancis periode 2007-2012, Nicolas Sarkozy.
Presiden Perancis (2007-2012), Nicolas Sarkozy.
Di awal kepresidenannya Sarkozy adalah presiden paling populer setelah Charles de Gaulle. Rakyat Perancis menyambut hangat kemenangannya karena janjinya yang meyakinkan untuk memerangi pengangguran.
Popularitasnya meredup dengan cepat sehingga gagal menjadi presiden dua periode karena dianggap pembohong oleh rakyat Perancis. Biang keladinya adalah meningkatnya angka pengangguran, sementara orang kaya makin kaya akibat pemotongan pajak oleh pemerintah. Kenyataan ini mengingatkan pada kata filsuf Perancis Jean-Paul Sartre, “ketika orang kaya berperang, yang mati adalah kaum miskin.”
Hanya saja, seperti dituturkan seorang filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar dari sejarah.” Nah!
Gigin Praginanto
Wartawan Senior,
Pengamat Kebijakan Publik
19 February 2019
https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Berbohong-atau-Kalah