Pada siklus pemilu kali ini, bagi sebagian kalangan, Rocky Gerung adalah salah satu cerita kembangan tersebut. Dia bukan kandidat, bukan tim sukses, serta bukan pula politisi partai tertentu.
Tetapi tampaknya panggung bagi Rocky makin melebar, menjadi daya tarik tersendiri, khususnya bagi kaum terdidik di kota-kota besar. Posting-nya di YouTube kini tidak sedikit yang sudah dilihat oleh ratusan ribu, bahkan lebih sejuta orang.
Rocky selalu tampil membawa flagship akal sehat dan menempatkan dirinya sebagai orang kampus. Tidak jarang, walaupun ia sebenarnya berbicara tentang politik dalam pengertian yang sangat praktis, dengan fasih Rocky selalu berkata bahwa kritik dan penjelasannya adalah kritik akademis. Dibolak-balik, posisi seperti itulah yang menjadi ciri khas dia: akal sehat dan pretensi akademis.
Dalam sebuah kesempatan, misalnya, sebagaimana yang saya lihat di YouTube minggu lalu, Rocky tampil dalam sebuah acara kampanye pro-Prabowo. Walaupun hal ini sebenarnya sah saja, dan tidak harus berarti bahwa dia kehilangan pijakannya sebagai orang kampus, apa yang dia katakan sudah berbeda.
“Saya akan mengkritik Prabowo 12 menit setelah dia dilantik menjadi presiden (kalau dia menang),” demikian seru Rocky dalam forum yang bersemangat itu.
Seruan ini dia utarakan untuk memberi justifikasi bahwa, dalam forum kampanye tersebut, dia tidak akan mengkritik Prabowo, serta tidak pula menyentuh sedikit pun kelemahan atau kekurangan ide-ide Prabowo sebagai kandidat capres.
Buat saya, cara dan ucapan semacam itu memperlihatkan bahwa makin dekat ke pemilu pada April nanti, Rocky makin menjauh dari Rocky yang semula. Bahkan barangkali dia mulai menjadi paradoks bagi dirinya sendiri.
Kenapa saya berpendapat demikian? Kita kembali pada konsep dasar, yaitu akal sehat (common sense).
Dalam pengertian praktis, konsep ini mengandaikan pertimbangan yang saksama dengan mengandalkan akal-budi (reason), serta penghargaan pada fakta-fakta dalam mencari kebenaran.
Konsep ini tidak ada urusannya dengan posisi politik —penguasa atau oposisi, petahana atau penantang. Kebenaran adalah kebenaran. Penguasa bisa benar bisa salah, demikian pula kaum oposisi dan the challengers of power.
Rocky Gerung dan Rizal Mallarangeng.
Karena itulah seseorang yang menjadikan akal sehat sebagai konsep perjuangannya akan menimbang-nimbang fakta dan argumen, serta mengarahkan pedangnya kepada semua pihak di ruang publik, tanpa kecuali.
Dengan demikian, bagi saya, kalau setia pada konsep perjuangannya, Rocky seharusnya tidak membedakan Prabowo dan Jokowi, atau berlindung di balik argumen bahwa seorang akademisi harus selalu mengkritik kekuasaan —hal terakhir ini bukanlah sebuah posisi epistemologis, tetapi sebenarnya lebih berhubungan dengan sebuah gejala psikologis yang sering melanda mantan aktivis mahasiswa, yaitu arrested development syndrome.
Sebagai seorang sahabat (full disclosure, saya berkawan dengan Rocky sejak pertengahan 1980-an), saya tentu berharap bahwa Rocky segera kembali ke jalannya semula. Dia memiliki bakat yang baik sebagai seorang pengkritik di luar sistem.
Terus terang, agar berimbang dan tidak melulu mengulas soal Jokowi, saya sangat ingin mendengar bagaimana Rocky menjelaskan atau mengkritik apa yang ingin saya sebut sebagai Bowoisme.
Pada intinya, seperti yang selalu diulang-ulang Prabowo, paham ini beranggapan bahwa ekonomi negeri kita didominasi asing, kita dipaksa untuk tergantung pada mereka, kekayaan alam kita “dicuri”, dan karena itu kita tidak kunjung maju, tidak kunjung bisa berswasembada pangan, dan sebagainya.
Di Indonesia, dan di banyak negara berkembang lainnya, paham seperti ini mulai ditinggalkan pada era deregulasi di tahun 1980-an, bahkan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo sendiri, begawan ekonomi, ayahanda Prabowo.
Pandangan seperti itu dianggap terlalu sempit dalam melihat kenyataan ekonomi modern, serta keliru dalam mencari solusi bagi kemajuan Indonesia. Berbagai negeri yang menganut paham tersebut, secara ekstrem, juga terbukti tumbang dan menjadi negara gagal, seperti Kuba, Korea Utara, dan Myanmar.
Saya tidak tahu apakah Prabowo melakukannya karena dia pada dasarnya tidak tahu (dan tidak pernah mau belajar) pemikiran ekonomi yang terus berkembang. Mungkin juga dia sebenarnya hanya mencari tema kampanye, dan dia berpikir bahwa paham itulah yang paling mudah dijual dalam gelora kampanye yang bersemangat?
Kembali ke Rocky Gerung: bagaimana dia menjelaskan semua itu dengan menggunakan akal sehat? Bagaimana ia menimbang fakta-fakta yang ada?
Salah satu fakta ini, misalnya, adalah gross capital formation: angkanya di Indonesia adalah sekitar 5% yang berasal dari modal atau perusahaan asing, jauh di bawah berbagai negeri lainnya seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa dikatakan. Tetapi, kira-kira, penjelasan seperti itulah yang kita tunggu dari Rocky agar ia tetap bisa berkata, and justifiably so, bahwa dia adalah pendekar dengan pedang akal sehat yang bertugas untuk menjaga kejernihan berpikir kita di tengah kampanye pemilu yang hiruk pikuk ini.
Dan kalau Rocky bisa melakukan hal itu, dia akan menjadi kembang yang mempercantik serta memperkaya demokrasi kita. Kalau tidak, barangkali ungkapan dari Texas ini yang harus kita dengar: it’s all hat, but no beef. *)
Setuju?
Rizal Mallarangeng
Ketua DPD Golkar DKI
dan Pendiri Freedom Institute
QURETA.com, 11 Februari 2019
MERDEKA.com, 12 Februari 2019
Catatan:
Bentuk yang lebih lazim dari ungkapan “it’s all hat, but no beef” adalah “all hat, no cattle”. Dengan pengertian: Description of a person that is all talk and no substance; full of big talk but lacking action; a person who canot back up his/her words; a fake; a pretender. (urbandictionary.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar