Untuk mengukur ruang gerak atau menakar modal politik Jokowi, paling tidak kita melihat tiga simpul politik penting. Pertama, kekuatan parpol yang mendukung. Kedua, peta politik di parlemen. Ketiga, dukungan rakyat.
Pertama, soal dukungan parpol pendukung, posisi Jokowi tidak terlalu kuat. Dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Jokowi bukan yang terbesar. Masih ada orang kuat di belakang layar, yakni Megawati sebagai ketua umum PDIP, partai utama atau tulang punggung KIH. Tingginya posisi Mega dapat terbaca ketika Mega akan bertemu dengan SBY, mengutus Jokowi sebagai pendahulu. Pertemuan gagal karena SBY ingin bertemu “queen” secara langsung, tidak mau melalui “Petugas Partai”.
Saat ini, Jokowi bukan ketua umum atau penguasa parpol yang berkuasa. Beda dengan Presiden Soekarno yang mengendalikan PNI; Soeharto yang menjadi ketua Dewan Pembina Golkar, yang kekuasaannya unlimited; Presiden Habibie juga ketua harian Dewan Pembina Golkar. Presiden Gus Dur, ketika itu merangkap ketua Dewan Syura PKB. Mega saat menjadi presiden juga menjabat Ketua Umum PDIP. Dan SBY saat berkuasa adalah “pemilik” Demokrat.
Beratnya langkah Jokowi menghadapi parpol pendukung sudah terlihat saat gagalnya rencana mewujudkan semangat membentuk kabinet tanpa pengaruh parpol. Realitasnya, Jokowi harus kompromi untuk memberi kavling kabinet kepada seluruh partai pendukung, berbeda jauh dengan keinginan orisinal mantan walikota Solo itu yang menyebut tanpa deal dengan parpol pendukung.
Kedua, soal peta politik parlemen. Sebenarnya itu tak perlu diulas panjang lebar. Sebab, kenyataannya, untuk sementara ini kubu Jokowi-JK sudah babak belur di parlemen. Tiga kali voting, yakni UU Pilkada, pemilihan paket pimpinan DPR, dan pemilihan paket pimpinan MPR, kubu Jokowi-KIH menderita kekalahan telak. Artinya, Jokowi dan JK akan menghadapi tantangan besar bila tak mampu merombak peta politik parlemen yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Prabowo Subianto.
Padahal, seperti kita ketahui, secara konstitusi pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen. Baik dalam menentukan anggaran maupun dalam persetujuan UU (legislasi). Parlemen juga mempunyai hak konstitusi yang melekat dalam pengawasan, misalnya hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Dalam Pilpres 2004, SBY yang saat itu berpasangan dengan JK meraih 60,62 persen suara. Sementara dalam Pilpres 2009, raihan suara SBY yang berpasangan dengan Boediono lebih besar lagi, yakni 60,8 persen. Hebatnya lagi, Pilpres 2009 diikuti tiga pasangan dan SBY-Boediono menyelesaikannya hanya dengan satu putaran. Bandingkan dengan perolehan suara Jokowi-JK yang ‘hanya’ sebesar 53,15 persen.
Artinya, kalau kita membaca raihan suara itu, kemenangan Jokowi tidak besar amat (selisih tidak besar). Kalau kubu Jokowi mengandalkan pengelolaan suara rakyat sebagai “benteng” politik yang riil, maka akan berpotensi besar menimbulkan konflik horizontal. Tanda itu sudah terbaca saat demo menjelang sidang MK atau perang polemik di media sosial. Intinya, dukungan publik untuk kursi presiden Jokowi tak setenang saat dia menjabat walikota Solo, yang mampu meraih suara 90,09 persen dalam pilwali.
Siapa yang akhirnya akan menjadi "The Real President?"
Selain tiga elemen penting itu (dukungan partai pendukung, peta parlemen, dan dukungan rakyat), sebenarnya ada dua lagi elemen yang perlu dicermati dalam melihat posisi politik Jokowi di kursi presiden. Yakni, posisi militer dan “manuver” Wapres JK.
Mengapa mencermati militer? Bukankah TNI sudah profesional dan tak berpolitik lagi? Bukankah presiden adalah panglima tertinggi TNI? Iya, memang benar, secara institusi loyalitas TNI sudah tak bisa diragukan. Tapi, bagaimanapun, militer tetap elemen penting yang sangat menentukan. Kalau tidak bisa mengelola dengan baik, Jokowi akan menemui kesulitan. SBY sukses, buktinya mendapat kado istimewa pada HUT TNI yang dirayakan 7 Oktober lalu. Di akhir jabatan SBY, TNI mengadakan perayaan yang sangat meriah di Surabaya, perayaan terbesar sepanjang sejarah.
Bagaimana faktor Wapres? Bukankah Wapres juga subordinasi presiden? Semua kekuasaan dan otoritas ada di tangan presiden. Wapres hanya bekerja berdasar perintah presiden. Iya memang. Tapi, JK yang menjadi pendamping Jokowi adalah tipikal tokoh yang bisa berlari kencang. Bukan tipikal Wapres yang sekedar “ban serep”. Itu sudah terbukti di era SBY-JK yang memunculkan pamor bahwa antara Presiden dan Wapres seimbang. Bahkan muncul rumor, JK sebagai Wapres seringkali ‘menyalip’ Presidennya. Apakah di era Jokowi-JK ini, nanti juga akan memunculkan matahari kembar?
Semua berpulang kepada Jokowi sendiri. Bergantung seberapa jauh dia mengelola simpul-simpul politik itu. Kalau mampu mengelola dengan baik untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, tentu dia akan menjadi presiden hebat yang disanjung publik. Bila tidak, mungkin hanya akan dikenang sebagai “petugas partai” yang biasa saja.
Taufik Lamade,
Wartawan Jawa Pos, Direktur Jawa Pos Radar Bromo
JAWA POS, 13 Oktober 2014