Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Istilah LIPI adalah Papua Road Map atau Peta Perjalanan Papua. Buku yang diterbitkan LIPI dengan judul: Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future adalah penemuan-penemuan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini.
Buku ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu: (1) sejarah dan status politik Papua; (2) kekerasan Negara dan pelanggaran HAM; (3) marjinalisasi; (4) pembangunan yang diskriminatif. Rumusan ini telah memberikan ruang dan kesempatan kepada rakyat Papua dan pemerintah Indonesia duduk bersama-sama untuk negosiasi, mediasi dan komunikasi serta dialog dengan tujuan memberikan pilihan-pilihan jawaban yang elegan, bermartabat dan setara bagi semua.
Tetapi, menurut saya, keempat masalah yang ditemukan oleh Tim LIPI sesungguhnya bersumber dari satu akar masalah saja yaitu: sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses Pepera 1969. Pepera 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua Barat sesuai dengan sistem Indonesia, yaitu musyawarah. Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia bahwa Pepera 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme internasional, yaitu one man one vote. Tetapi itu benar-benar diabaikan bahkan dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui kekuatan militernya.
Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dan penting, sebelum maupun dalam proses pelaksanaan dan sesudah Pepera 1969. Berbagai dokumen militer telah menunjukkan hal ini. Salah satunya adalah Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih, Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.
Dikatakan di sana, “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.”
Surat Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar Nasional Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “Pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memanipulasi Pepera (Act of Free Choice) tentang status resmi Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti, wajar atau tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi orang-orang asli Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan Indonesia. Ini tampak dari yang disebut dengan ‘perintah rahasia’ dalam bulan Mei 1969 yang diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di Merauke, bupati daerah itu .…” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handdelsblad, March 4, 2000).
Rakyat mendengar pidato Bung Karno soal merebut Irian Barat.
Berbagai dokumen lain bisa disebutkan termasuk pernyataan saksi mata Christofelt L. Korua, Purnawirawan Polisi (Wawancara Penulis: Jayapura, 11 Desember 2002), Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200, seruan Carmel Budiardjo, Direktur TAPOL, the Indonesia Human Rigths Campaign, pada 26 Maret 2002 kepada Kofi Annan Sekjen PBB dan banyak lagi.
Laporan Hugh Lunn, wartawan Australia, menyatakan, “Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja sendiri-sendiri”. Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara dia mengambil foto demonstrasi orang Papua. (Dr. John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969 mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).
Kebanyakan anggota Pepera 1969 ialah orang-orang pendatang terbukti dengan 59 pernyataan pro-Indonesia yang ada dalam dokumen PBB. Duta Besar Amerika untuk Indonesia tahun 1969 menyatakan: “95% orang asli Papua berpikiran mau merdeka” dan Sudjarwo mengakui: “banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”
Pertanyaannya ialah bagaimana mungkin pada saat orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka 95% dan sekaligus membuat pernyataan yang bertolak belakang? Jawabnya ialah tidak diragukan bahwa 59 pernyataan itu hanya rekayasa militer bersama orang-orang pendatang.
Ortiz Sanz melaporkan: “… pandangan dan keinginan politik orang-orang Papua telah disampaikan melalui berbagai saluran media: pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa masalah menyatakan kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk peristiwa-perstiwa sepanjang perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua New Guinea yang diurus oleh Australia.” (Sumber resmi: UNGA, Annex I A/7723, 6 November 1969, paragraph 138, p. 45).
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih dari 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan untuk merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh anggota dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka adalah sepakat tinggal dengan Indonesia.” (Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph 250, hal. 70).
“Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Ahli-ahli PBB yang lebih dulu ada dan tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, dengan alasan mereka tidak mengenal keadaan secara baik, hingga mempersingkat tugas-tugas mereka.
Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963 hingga 23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas dan tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli.” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4)
“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.” (Sumber: Laporan Resmi Hasil Pepera 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya pada Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Yang jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil Pepera 1969 itu menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan Pepera yang dianggap penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil Pepera 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Hal itu terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat: “… 156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral.” (Sumber resmi: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta Pepera di Papua Barat. “yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke .…”
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya.”
J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya: “Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses itu jauh di bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu.” (hal.784). (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri).
Drooglever mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia.” (hal. 783).
Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil Pepera 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa “Pepera 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis.”
Dr. John Saltford, Akademisi Inggris yang menyelidiki hasil pelaksanaan Pepera 1969 menyatakan: “tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur.” {John Saltford: United Nations Involvement With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969}.
Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “Dari kacamata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali.” (2000: hal.8).
Robin Osborn mengungkapkan, “… bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat. Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum internasional.” (Juli 2000: hal. xxx).
Pada hari Sabtu, 16 Januari 2010 di studio Media Indonesia pada acara Kick Andy, dalam menyikapi pelarangan lima buku oleh Kejaksaan Agung, Ikrar Nusa Bhakti dalam menanggapi kementar saya (Socratez) tentang pelaksanaan Pepera 1969 di Papua Barat yang tidak demokratis dan lebih dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia, Ikrar berkomentar: “memang apa yang dikatakan Pak Socratez tentang pelaksanaan Pepera 1969 yang tidak demokratis itu ada benarnya.”
Pdt. Dr. Phil Karel Erari menyatakan: “Rakyat Papua merasa bahwa Pepera adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek Hukum Internasional dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan kebiasaan dan praktik yang berlaku dalam masyarakat internasional.” (hal. 23).
Erari menambahkan, “Sejarah Integrasi Papua ke dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan.” Karel Erari dengan tegas mengatakan, “secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah.” (2006: hal. 182).
Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).
Diakui oleh Pemerintah Inggris melalui Jurubicara House of Lord, Symon Baroness pada tanggal 13 Desember 2004. Symon Baroness mengatakan bahwa, “Papua dimasukkan dengan paksa ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa Pepera 1969 dan akibatnya bagaimana keadaan orang Papua dan kelangsungan hidup masa depan orang-orang Papua sekarang?”
Berbagai protes telah disurakan para anggota parlemen dari berbagai penjuru dunia. Di antaranya pada 17 Februari 2005, oleh Eni F.H. Faleomavaega yang berkirim surat kepada Pemerintah Amerika. Ia juga pada 14 Februari 2008, bersama Donald Payne, Anggota Kongres Amerika, melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, “… Referendum (Pepera 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah dilaksanakan. Faktanya, sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta PBB untuk meninjau kembali penerimaan pelaksanaan ‘Pepera 1969’ itu.”
Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri Papua. (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).
Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Yang menyebut ketidakjujuran pelaksanaan Pepera 1969.
Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: “kami yang bertandatangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa depan mereka dihancurkan melalui Pepera 1969 ….”
Pada 1 Desember 2009 di Gedung Parlemen Inggris, London, para Ahli Hukum Internasional Untuk Papua Barat, “International Lawyers for West Papua” (ILWP) pada saat peluncuran buku Prof. Pieter Drooglever, menyatakan bahwa Pepera 1969 adalah skandal aneksasi illegal.
Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang tampaknya penuh rekayasa dan kepalsuan seperti ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Dialog damai yang dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral seperti dialog Jakarta-Aceh. Maksud penulis dialog tanpa syarat ialah dalam dialog tidak berbicara Papua Merdeka dan juga tidak dalam bingkai NKRI. Artinya dialog jujur dan setara dan harus dalam kerangka baru yaitu di luar konstruksi Papua Merdeka dan NKRI.
Tanpa kerangka baru seperti ini, yakinlah bahwa paradoks ini tidak akan pernah menemukan jalan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat. Karena itu, diharapkan dalam dialog harus melihat masalah Papua dengan nurani yang suci dan pikiran jernih dalam rangka mencari penyelesaian untuk mewujudkan perdamaian permanen demi masa depan Indonesia dan juga masa depan masyarakat asli Papua.
Pdt Socratez Sofyan Yoman
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, tinggal di Jayapura.
Satuharapan.Com;
Anginselatan.Com;
Bennyw10.wordpress.Com