Kalimat di atas datang dari salah seorang prajurit terpenting abad ke-20, Dwight D Eisenhower.
Panglima tertinggi Sekutu yang mengalahkan Hitler di Eropa ini kelak terpilih sebagai Presiden AS ke-34 dan mewariskan sejumlah terobosan dan kebijakan yang dihormati hingga kini. Jenderal bintang lima dan pahlawan Perang Dunia II itu dikenang sebagai negarawan yang benci perang setelah bertungkus lumus dan jenuh melihat kekejaman dan kebodohannya.
Sejarah adalah sumber pelajaran terpenting tentang kesia-siaan perang dan segala bentuk kekerasan bersenjata. Perang bisa jadi memberikan sebentang wilayah rampasan, sebuah tata imperial yang di atasnya bisa berkembang sebentuk peradaban. Namun, peradaban yang dibangun dengan perang dan dipertahankan dengan kekerasan bersenjata akan cepat musnah dan hanya meninggalkan puing dan reruntuhan. Hanya hasil daya cipta akal budi manusia yang dikerjakan secara bebas dan riang yang bisa jadi warisan yang bertahan dari sebuah peradaban.
Pengertian bahwa perang atau lebih tepatnya serangan militer adalah pengorbanan sumber daya yang pantas diterima karena dapat diganti dengan sumber daya rampasan yang memberikan keuntungan lebih bahkan kemuliaan, memang telah kehilangan penopangnya. Semua invasi militer dengan jelas menghamburkan sumber daya aktual dan nyawa prajurit yang tak terganti, sementara sumber daya potensial yang hendak direbutnya bisa dengan cepat berubah menjadi sumber masalah besar yang merongrong dan memalukan.
Hanya perang sebagai bentuk pertahanan diri saja yang tetap tak tergoyahkan dasar-dasar pembenarannya. Sebab, hanya dengan pertahanan diri yang tangguh sebuah negara dapat membela dan memberikan harga tinggi atas keringat para pekerjanya, kecemerlangan para ilmuwannya, dan harapan anak-anaknya.
Mungkin ada yang beranggapan bahwa Asia abad ke-21 dapat menyerupai Eropa abad ke-20, sebuah benua dan abad yang dibagi dan diluluhlantakkan dua perang dunia. Pengertian ini mungkin datang dari imajinasi yang terlalu aktif dan penuh curiga. Namun, itu tak melunturkan nilai dari perlunya para negarawan Asia berupaya membangun kebijakan nir-yudha (zero-war policy). Pelajaran bisa datang dari mana saja, termasuk renungan bijak para tokoh militer seperti Eisenhower atau pengalaman empiris negara yang tumbuh dari puing-puing perang seperti Uni Eropa.
Terciptanya Komunitas Batubara dan Besi Baja Eropa 1951 yang menjadi cikal bakal Uni Eropa, bukan untuk memfokuskan diri pada komoditas itu semata, melainkan mengendalikan kedua sumber daya itu, yang tanpanya sebuah negara mustahil bisa berperang. Inilah yang jadi karakter pan-Eropa. Pengendalian bersama atas batubara dan besi baja menghapus habis kemungkinan pecahnya perang, khususnya antara Jerman dan Perancis.
ASEAN juga perlu men-sekuritas-kan, membagi risiko dan peluang ekonominya dalam bentuk kepemilikan usaha bersama di antara sesama negara ASEAN. Penyatuan ekonomi ini membuka peluang bisnis-bisnis baru dari elite-elite profesional yang cakupan kerja dan persepsi-dirinya berwatak sarwa-kawasan (pan-regional) sehingga negara-negara itu tak dapat menggunakan kekuatan ekonominya untuk meletupkan perang.
Cara lain untuk menciptakan iklim pemikiran yang menafikan perang adalah dengan menularkan pemahaman akan persamaan dasar manusia dengan segala perbedaan yang tampak di permukaan. Kesempatan beasiswa ASEAN yang meluas dan peluang kerja yang membesar membawa orang-orang di kawasan ini semakin kerap bertemu dan semakin dekat satu sama lain, sehingga mereka semakin saling mengenali persamaan dasar di antara mereka. Kedekatan itu dapat mendorong terciptanya suatu kesadaran-diri sesama warga ASEAN yang identitas regionalnya hadir berdampingan dengan identitas nasionalnya.
Indonesia adalah negara dengan wilayah, jumlah penduduk, dan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Sebagai negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia telah menunjukkan diri sebagai sebuah kekuatan demokrasi. Sesama negara demokrasi tentu tak akan saling berperang. Mereka punya kepentingan bersama mewujudkan perdamaian karena perdamaian yang mantap mendorong pembangunan ekonomi yang kokoh.
Karena itu, Indonesia sewajarnya berada di garda depan dalam mengukuhkan perdamaian di Asia Tenggara. Sejarah masa silam kawasan yang dinamis ini, dengan berbagai fakta geopolitik yang ada, tak dapat diabaikan. Perang-perang yang sudah berlangsung mungkin saja memang tak dapat dihindari, tetapi perang yang akan datang sungguh dapat dicegah. Dengan semangat untuk tumbuh bersama, Asia Tenggara perlu bekerja sama untuk memastikan perang tak perlu meletus di masa mendatang.
Pada perhitungan akhir, kebijakan nir-yudha adalah terjemahan militer dari kebijakan sipil mengangkat kesejahteraan dan menghapus kemiskinan (zero poverty). Ini bukan pekerjaan yang mudah. Semakin banyak bukti bahwa kemiskinan sesungguhnya bisa ditekan dan kesejahteraan bisa berkembang, asalkan masyarakat bekerja sepenuh hati. Masyarakat bisa bekerja dengan semangat menyala jika ada demokrasi dan kebebasan yang mantap. Angkatan bersenjata bertugas menjaga pertumbuhan demokrasi dan kebebasan itu dari berbagai ancaman, termasuk ancaman pihak yang memanfaatkan iklim demokrasi hanya untuk kemudian melumpuhkan demokrasi dan kebebasan itu sendiri.
Melindungi perdamaian dan hak dasar semua manusia agar sebuah bangsa, sebuah kawasan, dapat tumbuh dengan penuh martabat adalah medan kerja yang kaum militer sangat pantas tempuh dengan sekuat tenaga.
Moeldoko,
Panglima TNI
KOMPAS, 22 Maret 2014
Moeldoko
Jenderal TNI Dr. Moeldoko (lahir di Kediri, Jawa Timur, 8 Juli 1957; umur 56 tahun) adalah tokoh militer Indonesia. Ia menjabat sebagai Panglima TNI sejak 30 Agustus 2013. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat sejak 20 Mei 2013 hingga 30 Agustus 2013.
Sidang Paripurna DPR-RI pada tanggal 27 Agustus 2013 menyetujui jenderal asal Kediri tersebut sebagai Panglima TNI baru menggantikan Laksamana Agus Suhartono. Ia adalah KSAD terpendek dalam sejarah militer di Indonesia seiring pengangkatan dirinya sebagai panglima.
Kapolri Jenderal Sutarman, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Panglima TNI Jenderal Moeldoko.
Operasi militer yang pernah diikuti antara lain Operasi Seroja Timor-Timur tahun 1984 dan Konga Garuda XI/A tahun 1995. Ia juga pernah mendapat penugasan di Selandia Baru (1983 dan 1987), Singapura dan Jepang (1991), Irak-Kuwait (1992), Amerika Serikat, dan Kanada.
Pada 15 Januari, Moeldoko meraih gelar doktor Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, dengan desertasinya “Kebijakan dan Skenario Planing Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan)”. Ia lulus dan mendapatkan gelar tersebut dengan predikat sangat memuaskan.
Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Moeldoko