Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya adalah inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Akibat dari Pemilu 2014 yang dianggap inkonstitusional, maka sangat mungkin pihak-pihak terkait, baik para pendukung status quo maupun pihak yang kalah, semuanya memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling meng-klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang. Maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa terjadi karena alamiah atau bisa pula karena rekayasa oleh pihak tertentu yang mau mengambil atau mau mendapat keuntungan oleh kondisi ini.
Para jenderal militer yang meramaikan bursa capres 2014: Pramono Edhie Wibowo, Wiranto, Endriartono Sutarto, dan Prabowo Subianto.
Dalam kondisi chaos inilah, apalagi kalau sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, maka posisi TNI menjadi sangat penting. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan, “Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Sudah sangat jelas positioning TNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada siapa saja yang mendukung pelaksanaan UUD 45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga ia harus menjaga keutuhan bangsa. Bila keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos, TNI wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi pemberontakan bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2 Undang-Undang No. 34/2004.
Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang bertugas di Timor-Timur dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran sehingga menyebabkan perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi saat ini sangat jelas perintah undang-undang kepada TNI agar menegakkan kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga keutuhan bangsa. Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan apabila tidak melaksanakan sumpahnya.
Dengan demikian, sangatlah jelas keputusan MK --yang telah membolehkan penggunaan undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Pemilu 2014-- akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun memang dengan sengaja direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaos terjadi, terbuka peluang bagi TNI melakukan “kudeta” konstitusional atau "kudeta" yang diperintah oleh undang-undang.
Nah, supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan pada Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda daripada tidak legitimated.
Soleman B Ponto,
Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013
TEMPO.CO, 28 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar