Para pelawak adalah pantulan kita di alam nyata. Mereka selalu mengingatkan bahwa tertawa adalah momen penting dalam hidup yang disediakan humor. Ada pepatah dalam bahasa Sunda, suku yang melahirkan bodor macam Kabayan, “hirup mah ngan ukur heuheuy jeung deudeuh”. Hidup itu cuma tawa dan duka, tergantung cara kita melihatnya.
Karena itu, betapa mulia menjadi pelawak. Mereka hadir meminta ditertawakan, sesuatu yang dihindari banyak orang. Kita tak ingin dianggap lucu karena itu merendahkan. Ada ungkapan bahwa “tak lucu” untuk apa saja yang dianggap tak sesuai dengan norma umum. “Tak lucu kalau ulama korupsi.” Padahal, dalam dunia banyol, ulama korupsi justru lucu karena begitu keterlaluan menyalahi kaidah normal.
Tampangnya bloon. Di Grup Jayakarta, ia selalu menjadi obyek cemooh teman-temannya yang lain: Cahyono yang sok wibawa, Uuk preman yang tengil, atau Esther yang gemulai. Ia memakai dasi kupu-kupu, aksesori resmi dalam jamuan makan malam, dipadukan dengan kaus atau kemeja motif cerah plus overall untuk menahan celana ngatung yang kedodoran. Fasad itu kian absurd karena Jojon yang memelas dan nyengir mengibakan itu memakai kumis ala Hitler, –diktator Jerman yang konon sadisnya melebihi setan.
Dari situlah kita becermin bahwa nilai dan logika, juga mungkin kebenaran, selalu punya perspektif dan kebenaran lain jika ditinjau dari cara pandang berbeda. Kumis Hitler bisa kehilangan keangkerannya ketika menempel di mimik Jojon yang memelas.
Di kalangan tertentu para pelawak ditempatkan lebih tinggi dibanding para pemikir. Karena sebelum mereka menjungkirkan logika kita, para pelawak mesti memahami logika umum terlebih dulu, lalu mencari celah untuk memandangnya dari titik yang berbeda. Dari situlah humor hadir karena meruntuhkan tatanan logika yang ajeg dan pakem dalam ingatan kolektif kita.
Karena itu humor adalah cermin, yang memantulkan hidup dan kenyataan lewat banyolan.
Bagja Hidayat,
Wartawan Tempo
TEMPO.CO, 8 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar