Namun keyakinan itu segera jadi kekagetan. Sebab, menurut penelitian Krisanjaya, M. Hum, ahli linguistik Universitas Negeri Jakarta, orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia secara benar cuma 16,77 persen. Selebihnya berbahasa daerah, seperti yang dilakukan oleh masyarakat jelata berpendidikan rendah. Atau berbahasa Indonesia pasar, bagai yang digunakan oleh masyarakat kelas menengah berpendidikan cukup.
Yang ganjil, dalam keterbatasan berbahasa Indonesia itu kontaminasi bahasa Inggris tampak begitu riuh, dalam tutur maupun dalam karya tulis. Bahkan dalam pidato resmi di depan publik Indonesia, bagai yang kerap dilakukan sejumlah tokoh masyarakat, pejabat tinggi, bahkan Presiden, pada tahun-tahun terakhir. Realitas ini menjadi unik dan aneh ketika disandingkan dengan kenyataan lain yang menyebutkan: penguasaan bahasa Inggris orang Indonesia justru terbilang sangat rendah! Setidaknya menurut lembaga English First.
Lembaga ini sejak 2007 melakukan penelitian lewat tes secara online atas 2 juta orang dewasa di 44 negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Hasilnya, Indonesia menduduki nomor 34 dengan meraih nilai cuma 44,78. Sementara Norwegia yang meraih nilai 69,09 masuk kategori "very high proficiency", Indonesia "very low proficiency".
Sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana pernah berkata bahwa, apabila sebuah bangsa "kurang berkehendak" menguasai bahasa asing, bangsa itu harus menguasai sebaik-baiknya dan sebangga-bangganya bahasanya sendiri. Kampiun bahasa Indonesia (yang pemuja Barat) ini menunjuk Spanyol, Portugal, Tiongkok, dan Jepang sebagai contohnya. Dan bangsa Indonesia diindikasikan sebagai bagian dari yang "kurang berkehendak".
Meski "kurang berkehendak", gegar budaya bahasa Inggris ternyata sudah kuat berjangkit di benak bangsa Indonesia sejak (sangat) lama. Bahasa buku Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang terbit dan populer puluhan tahun lalu, adalah buktinya. Mari kita baca satu alinea tulisannya yang tampak antusias dan beringgris-inggris itu.
Gaya bahasa Indonesia model begini pernah dikritik kencang oleh budayawan Remy Sylado dalam Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta, medio Oktober 2003. Dan jauh hari sebelumnya, kecenderungan seperti itu dikecam oleh Presiden Sukarno lewat pidato "Manipol Usdek" pada 17 Agustus 1959. Sukarno menyebutkan bahwa bahasa semacam itu adalah presentasi anak bangsa yang tidak berkepribadian, mengambang, dan kurang berharkat.
Pada tahun-tahun terakhir, kecenderungan menggulirkan bahasa Inggris juga dilakukan di RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) di Indonesia. Celakanya, usaha penerapan itu cenderung dipaksakan, lantaran dilakukan oleh guru-guru yang kurang menguasai bahasa Inggris.
Penyakit Inggris ini pada sepuluh tahun terakhir semakin merasuki segala sisi. Sektor pariwisata tak hentinya mencetak brosur berbahasa Inggris, bahkan ditambah juga Jepang dan Mandarin, dengan tak sedikit pun menyentuh bahasa Indonesia. Padahal wisatawan domestik yang membutuhkan brosur berkali-kali lipat banyaknya dibanding wisatawan asing.
Bahasa Inggris juga menggelitik dunia kebudayaan Indonesia, dengan presentasi yang kentara pada kesenian, seperti seni rupa dan seni lainnya. Padahal seni adalah sebuah wilayah profesi yang sejak dulu dikenal membumi. Dari sekitar 850 pameran seni rupa yang relatif penting sejak 2001, tak kurang dari 450 judul yang menggunakan bahasa Inggris. Padahal judul pameran yang dipampang-pampang di ruang publik Indonesia itu adalah bendera yang mengibarkan roh pameran seni Indonesia. Simak secuplik contoh judul ini, "Watching Information through Pressure & Pleasure", pameran bersama (Jakarta, 2005); "Return to Innocence, Return to Yourself", pameran foto Ve Dhanito (Jakarta 2011). Bahkan tak sedikit katalogus pameran yang hanya mencantumkan bahasa Inggris, meski yang menonton seratus persen orang Buleleng, Rogojampi, sampai Tasikmalaya.
Hasrat mereduksi kedaulatan bahasa Indonesia seperti di atas menimbulkan tafsir berbagai-bagai. Ada yang mengatakan itu adalah hal wajar dan niscaya di tengah pergaulan global. Ada yang mengira itu cuma tren sofistikasi, intelektualisasi, untuk menggapai elitisme. Ada yang menyebut itu bagian dari strategi pemasaran dan internasionalisasi, agar "orang Inggris" tertarik. Padahal alangkah cantik apabila para pelaku budaya membuat judul dalam bahasa Indonesia (yang tak kalah gagah apabila diolah) untuk forum Indonesia. Dan versi Inggrisnya didampingkan atau baru dimunculkan ketika memasuki ajang internasional.
Orang Indonesia tentu sah untuk memakai bahasa bangsa lain dengan bangga, apalagi bahasa internasional seperti bahasa Inggris. Tapi tidak elok apabila tindakan itu menyebabkan bahasa Indonesia kesepian, bagai ibu yang tidak diakui anak-anaknya yang menjelma menjadi Malin Kundang. Sejauh ini kita tetap beranggapan, ikrar Sumpah Pemuda bukan cuma ornamentasi sejarah kebangsaan.
Agus Dermawan T
Kritikus, Penulis Buku-Buku Berbasis Sosial, Seni, dan Budaya
KORAN TEMPO, 25 Oktober 2012