Berlanjutnya “pertengkaran” di antara para menteri ––mulai dari masalah proyek pembangkit listrik 35.000 MW, impor beras, pesawat Garuda Indonesia, perpanjangan kontrak Freeport, kereta cepat, hingga kilang Blok Masela–– menunjukkan tingginya intensitas kegaduhan ini.
Berlanjutnya kegaduhan itu menunjukkan tak bekerjanya hierarki kekuasaan dalam rezim, sehingga garis komando kekuasaan saling bertabrakan, tumpang-tindih, dan bersilangan satu dan lainnya. Akibatnya, iklim ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan dalam relasi kekuasaan rezim, sebagai penanda degradasi otoritas kekuasaan. Degradasi ditunjukkan, misalnya, oleh menteri yang berani “melawan” presiden dan wakil presiden.
Kegaduhan ini akibat kegagalan Jokowi menggunakan “otoritas kekuasaan”, kekuasaan yang sah dan diakui dalam memerintahkan, melarang, menertibkan, dan mendisiplinkan untuk membangun iklim kepatuhan dalam rezim. Dengan kata lain, Jokowi tak mampu membangun “kharisma” melalui tindakan nyata, yang melaluinya “kekuasaan simbolik” dikonversikan dan dimanifestasikan dalam “kekuasaan nyata”. “Anomali kekuasaan” ini membahayakan keberlanjutan rezim karena tak pastinya garis komando kekuasaan, dan tak jelasnya arah tujuan “kapal” negara-bangsa, lantaran ketakmampuan nakhoda menavigasi kapal.
Rezim kekuasaan yang dikendalikan banyak pemegang kekuasaan tak saja menimbulkan aneka gesekan politik, tetapi juga menguras energi bangsa untuk pertengkaran tak konstruktif bagi kemajuan bangsa.
Ketakmampuan Jokowi menunjukkan taring kekuasaannya menjadikan kekuasaan layaknya bola liar, yang dapat dipegang siapa pun. Di sini, kekuasaan ––sebagai kemampuan mengubah “potensi” jadi kenyataan melalui jalan perubahan–– memerlukan pribadi yang memiliki kekuatan, kharisma, dan ketegasan. Tanpa kekuatan itu mustahil Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negara dapat memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan atau membasmi mafia kejahatan.
Dalam praktik demokrasi modern, relasi “kekuasaan riil” cenderung bersifat hierarkis, dengan garis komando dari atas (top down), meskipun secara prinsip formal kekuasaan bersifat dari bawah ke atas, yaitu prinsip “kekuasaan di tangan rakyat” (demos). Hierarki kekuasaan macam ini menjamin berlangsungnya garis komando yang jelas, berjenjang, dan sistemik, yaitu siapa memerintah siapa (Boulding, 1989).
Akan tetapi, dalam sistem “demokrasi postmodern”, relasi kekuasaan bersifat nonhierarkis, heterogen, dan tak terpusat, yang memungkinkan pertarungan terbuka mendapatkan hegemoni kekuasaan. Kondisi ini dimungkinkan karena “kekuasaan ada di mana-mana” dan rezim kekuasaan dibangun oleh “multiplisitas relasi kekuasaan”, yang di dalamnya tak ada satu pun pusat kekuasaan yang stabil dan permanen (Foucault, 1984).
Akan tetapi, sistem kekuasaan postmodern memerlukan kecanggihan pengetahuan, kemampuan retorika, kelihaian berdebat, dan kekuatan kharisma dalam pertarungan mendapatkan hegemoni, berhadapan dengan “lawan yang legitimated” (adversary), yang eksistensinya diakui, tetapi pandangannya dilawan (Mouffe, 1993). Sayangnya, yang saling bertarung di dalam rezim adalah para pembantunya, Jokowi sendiri tak memiliki kapasitas untuk terlibat dalam “pertarungan hegemoni” ini.
Di sini, sifat-sifat sederhana, jujur, santun, dan merakyat yang ditunjukkan Jokowi dalam setiap penampilan dan tindakannya menjadi anti tesis dari sistem yang ia bangun (atau tak sengaja dibangun). Sistem kekuasaan yang dibiarkan (atau didesain?) nonhierarkis, tak terpusat, heterogen, dan nonproporsional jadi bumerang bagi otoritas kekuasaan Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang dapat mendegradasi atau meruntuhkan legitimasinya.
Kegaduhan dalam rezim kekuasaan dapat terjadi akibat kesenjangan antara kekuasaan yang legitimated dan kapasitas dalam menggunakan otoritas itu. Di sini, orang yang memiliki otoritas kekuasaan memerlukan kepatuhan, tetapi tak selalu orang yang memiliki kekuasaan yang sah dan diakui dapat menjalankan otoritas itu (Schmitt, 1985). Inilah yang dialami Jokowi, yaitu memiliki kekuasaan yang sah dan diakui namun tanpa diikuti kepatuhan.
Ada beberapa faktor penyebab mandulnya otoritas kekuasaan Jokowi. Pertama, penunjukan para menteri atas dasar kesepakatan politik telah menyandera otoritas kekuasaannya. Kedua, di dalam rezim pemerintah ada berbagai pusat kekuasaan tak tampak, yang menghalangi otoritasnya. Ketiga, orang-orang yang dipilih Jokowi sebagai “bumper” dirinya justru menunjukkan gestur lebih berkuasa darinya. Keempat, sistem kekuasaan yang dibiarkan nonhierarkis, merupakan anti tesis dari kepribadian Jokowi sendiri.
Keempat faktor itu menjadikan upaya memulihkan otoritas kekuasaan Jokowi menghadapi semacam dilema. Di satu pihak, dalam menegakkan otoritasnya, Jokowi tak dapat menunjukkan kecanggihan pengetahuan, kelihaian berdebat, kemampuan retorika, dan kekuatan kharisma yang memadai. Di pihak lain, mengubah kembali sistem kekuasaan nonhierarkis menjadi hierarkis akan menegasi gaya politiknya sendiri: “egalitarianisme”.
Akan tetapi, bagaimanapun, kegaduhan di lingkaran kekuasaan ini harus dihentikan dan dicarikan jalan keluarnya, bila rezim ini ingin tetap berlanjut.
Kedua, Jokowi dapat memperkuat otoritas kekuasaannya dengan memperkuat lingkaran kekuasaan yang dimiliki orang-orang di sekitarnya, yang memiliki kharisma dan terpercaya. Namun, lingkaran kekuatan itu tak boleh partisan dan tak boleh menggelembungkan kekuasaannya sendiri, yang malah dapat menggemboskan kekuasaan Jokowi sendiri, yang gejalanya sudah tampak akhir-akhir ini.
Ketiga, Jokowi harus memperkuat “ikatan batin” dengan rakyat, dengan mengintensifkan komunikasi dan tindakan-tindakan nyata, yang menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, sebagai cara meningkatkan kepercayaan mereka. Namun, wujud komunikasi dan tindakan ini bukan berupa politik populis, yaitu permainan citra untuk membangkitkan sentimen (palsu) publik, tetapi kebijakan dan tindakan nyata yang berdampak langsung kepada “batin” rakyat.
Melalui cara itu, kapasitas, relasi, dan distribusi kekuasaan dapat dibangun lebih konstruktif dan produktif, di mana Jokowi sebagai pemimpin tertinggi didengar, dipatuhi, dan diikuti oleh para pembantunya. Bila tidak, rezim ini akan sulit bekerja karena kegaduhan memang akan meningkatkan produktivitas wacana, tetapi menurunkan produktivitas kerja. Padahal, kabinet yang dibangun di dalam rezim ini adalah “kabinet kerja”, bukan “kabinet wacana”.
Yasraf Amir Piliang,
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS, 16 Maret 2016