Azab neraka yang harus diterima Sisifus dari dewa adalah absurditas. Ia harus membawa batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu menggelinding turun. Begitu terus, tanpa kejelasan kapan siksaan itu akan berakhir.
Berdasarkan Al-Quran, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia dan seisinya bukan tanpa makna, banyak pemikir Muslim yang berupaya mematahkan pemikiran Eropa tentang absurditas, penalaran absurd dan manusia absurd itu. Meski demikian, bagi bangsa yang negerinya digempur teror dan konflik bersenjata tak berkesudahan, kesadaran akan absurditas selalu aktual. Juga bagi sebagian kita, manusia Indonesia.
Mayoritas bangsa kita bukan sekadar beragama, tetapi religius di segala aspek kehidupan. Setiap pengalaman dimaknai dalam kaitannya dengan kuasa Ilahi, direspons dengan doa dan harapan. Kalaupun kalah, diterima dengan pasrah dan mempertebal asa. Kriminal pun, saat terbongkar, mengatakan dengan khidmat bahwa dia sedang diberi cobaan oleh Tuhan, bukan sedang dihukum akibat dosanya. Koruptor yang tertangkap basah menerima suap bersumpah “demi Allah” di layar TV bahwa dia hanya korban fitnah lawan politik.
Mereka bertindak seakan di langit hanya ada kekosongan. Kebenaran direbut dari tangan Allah demi kepentingan kelompok. Merasa paling benar sendiri tanpa memberi ruang kepada yang lain, sama saja dengan menihilkan rahmat Ilahi.
Pernyataan Al Quran bahwa dunia dan isinya diciptakan bukan tanpa makna pun kehilangan arti pentingnya jika makna yang diisyaratkan itu dinafikan oleh tindakan manusia yang mengaku beriman. Kebenaran yang dimonopoli dan dijadikan dalih untuk mengusir orang atas nama agama dan membakar rumahnya bisa dipastikan kehilangan argumentasi.
Kekosongan langit di dunia kaum beriman merupakan contradictio in terminis. Tahun 2015 mencatat sejumlah peristiwa yang mengandung absurditas semacam ini. Kaum religius bertindak tidak rasional, yang justru mengingkari religiositas universal. Upaya para nabi melakukan emansipasi akal dan hati manusia diabaikan dengan kejumudan pra Abad Rasio.
Kita adalah bangsa kreatif, rajin, optimistis, dan siap terlibat dalam berbagai persoalan sosial dan politik, minimal melalui media sosial. Generasi masa kini tumbuh positif membangun paradigma segar tentang inovasi, toleransi, dan emansipasi. Itulah sebabnya ada sikap kritis mengevaluasi fenomena “golput” dalam pemilihan umum kendati pesimisme dan skeptisisme terhadap komitmen moral politik anggota parlemen tetap dominan.
Parlemen kita masih dinodai pengkhianatan oleh sebagian wakil rakyat yang memaknai hidup dengan status kebendaan belaka. Kesadaran politik rakyat tak berbalas imbalan yang sepadan. Tahun 2015 ditutup dengan skandal memalukan di DPR, yang mempertontonkan nihilnya etika, moralitas, dan nasionalisme, serta tiada keberpihakan pada konstituen yang seharusnya dijadikan prioritas dalam setiap tindakan seorang wakil rakyat.
Jika sebagian legislator kehilangan orientasi terhadap kebenaran dan menonjolkan koncoisme membabi buta, patut dipertanyakan apakah mereka melihat hidup ini bermakna atau sekadar mengisi waktu demi snobisme sonder peduli keberartian?
Politikus kita rata-rata tampil religius. Bahasa verbal mereka tak jarang memercikkan emosi agamis dan nasionalisme bercita rasa personal. Siapa sangka, golongan ini yang menjadikan kita Sisifus. Lima tahun sekali kita dibujuk agar datang ke tempat pemungutan suara. Mereka pidato di panggung kampanye dengan bahasa agamis, lalu bersumpah selaku pejabat atau wakil rakyat dengan nama Tuhan. Kemudian, apa yang terjadi? Kita boleh menegaskan bahwa ritus lima tahunan itu merupakan tragedi Sisifus. Berulang kali kita mendorong batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu menggelinding ke bawah kembali.
Yang jadi masalah, kita terbiasa pasrah dan kukuh dengan sikap yang kita nilai pantas selaku umat beragama. Padahal, sikap ini yang hampir selalu menjadikan kita pecundang di hadapan moncong sedan mewah politikus busuk. Kita hanya bersandar pada makna final bahwa kelak di akhirat politikus lancung akan menuai buah amal buruknya sehingga kita bersikap lembut (baca: lemah).
Di sisi lain, kita lupa adagium bahwa nasib suatu bangsa terletak di tangan bangsa itu sendiri. Manusia politik Indonesia secara umum di abad ini tak mendalami arti penting era informasi terbuka, boleh jadi karena mereka terlalu sibuk mengukir makna hidup mewah dan berkelimpahan tanpa komitmen moral.
“Saya menilai makna hidup adalah pertanyaan yang paling mendesak,” tulis Camus mengenai subyek pemikiran absurditas. Kita tidak berurusan dengan konstatasi itu, sebab kitalah Sisifus dalam esai Le Mythe de Sisyphe. Yang penting bagi kita, menyongsong 2016, yakinkah kita bisa keluar dari jebakan labirin dan tak mengulang-ulang perbuatan yang sia-sia?
Kurnia JR,
Sastrawan
KOMPAS, 14 Januari 2016