Terhadap tonggak-tonggak masa silam itu, kita (ingin) menyatakan diri sebagai bagian darinya: sebagai generasi pemilik dan penerus. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyadari bahwa itu adalah hasil karya “mereka” dan tak ada hubungannya dengan “kita”. Lalu, muncullah pertanyaan eksistensial itu: “Jadi, sebenarnya, siapakah kita?”
Para tokoh pergerakan Indonesia paling awal, lahir dari Sekolah Dokter Jawa, STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Artsen).
“Simsalabim”
Dari sejarah Indonesia modern, kita belajar tentang sekelompok priayi di “Sekolah Dokter Jawa” (STOVIA) di Jakarta yang —pada 20 Mei 1908— mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Para pemuda itu tercerahkan dan menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah nasion besar yang harus memerdekakan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Kesadaran itu kemudian berlanjut dengan berdirinya partai-partai politik yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Tonggak penting berikutnya adalah ikrar Sumpah Pemuda yang dirumuskan dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebuah penegasan tentang semangat persatuan dalam keindonesiaan: bertumpah darah, berbangsa, dan menjunjung bahasa satu: Indonesia.
Kita tahu bahwa Sumpah Pemuda itu tak disertai semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi pengejawantahannya. Alhasil, ikrar itu seolah-olah menjadi sesuatu yang taken for granted, diterima begitu saja sebagai sebuah kebenaran faktual.
Sebuah masalah eksistensial mahabesar dan mendasar, yang menjangkau sekitar 13.500 pulau, 700 bahasa, dan 300 kelompok etnis/suku bangsa dari Sabang sampai Merauke, dalam dua hari, bagaikan disulap dengan mantra simsalabim, dinyatakan sudah langsung melebur menjadi satu: Indonesia! Padahal, kita tahu, itulah isu-isu yang jadi sumber pemicu konflik primordial-sektarian yang sangat sensitif hingga sekarang.
Para tokoh pemudalah yang menjadi 'bidan' bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Memang tak terbayangkan, bagaimana mungkin ketiga isu besar yang diikrarkan kala Sumpah Pemuda itu bisa menjadi, tanpa sebuah proses transformasi sosial-politik-budaya yang panjang dan sukar. Karena itu, menganggap masalah besar itu selesai begitu saja pada 28 Oktober 1928 adalah suatu sikap yang, selain absurd, juga tidak bertanggung jawab. Masalah ini harus segera disadari dan dijadikan sebagai agenda Revolusi Kebudayaan yang belum usai.
Menjadi “orang Indonesia” itu sungguh tidak mudah. Adalah tidak mudah menjawab pertanyaan orang asing: “Bagaimana Anda mengidentifikasi diri sebagai seorang Indonesia?” Karena, di balik kata “Indonesia” itu berderet sejumlah fakta yang harus ditaruh sebagai catatan kaki, atau bahkan masing-masing memerlukan penjelasan panjang sebagai sebuah buku tersendiri.
Bagi mayoritas bangsa Indonesia, langkah pertama untuk menjadi orang Indonesia adalah wajib mempelajari bahasa Indonesia sebagai “bahasa asing pertama”. Langkah kedua, menjadikan diri sebagai “orang asing pertama” di lingkungan budaya lokal. Langkah ketiga, membayangkan bersaudara dengan orang-orang yang hidup di daerah yang jauh, yang bahasanya sukar dipahami dan masakannya —selain asing— juga terasa “aneh” di lidah. Langkah keempat, harus menerima dan menghormati agama, norma, hukum, dan adat-istiadat yang beraneka rupa banyaknya sebagai bagian dari identitas diri, dan seterusnya.
Selain Sumpah Pemuda, ideologi negara Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kesepakatan-kesepakatan abstrak yang harus dikonkretkan melalui kerja besar seluruh bangsa di dalam arahan pemerintahan yang sadar, paham, penuh kesungguhan, dan konsisten sepanjang hayat untuk menjadi Indonesia.
Menurut M Yamin, Negara Indonesia Merdeka bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Syailendra, Sriwijaya ataupun Majapahit.
Republik hidroponik
Namun, sekali lagi, “menjadi Indonesia” itu bukan perkara mudah. Para bapak pendiri bangsa pun tak selesai merumuskannya.
Dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 29 Mei 1954, dengan agenda membentuk Dasar Negara Indonesia, Mohamad Yamin menegaskan: “Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu Negara Kebangsaan Indonesia… yang berketuhanan.” Itu bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Syailendra-Sriwijaya ataupun Kerajaan Majapahit. Karena, tradisi kenegaraan kedua kerajaan itu, “... dengan Negara Indonesia Merdeka tidak tersambung, melainkan sudah putus,” katanya. Itu karena, “aspirasi kita sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah berlainan, dunia pikiran sudah berbeda, dan susunan dunia sudah berubah.”
Tak jelas berapa kuat pemikiran Yamin itu mempengaruhi 65 anggota peserta sidang BPUPKI. Satu hal yang pasti, hingga disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi, tak ada lagi diskusi yang merujuk Sriwijaya dan Majapahit sebagai contoh negara yang berjaya berkat keunggulan armada lautnya (kemaritiman). Dengan kata lain, sejak awal berdirinya, Republik Indonesia tak memberi tempat lagi pada semangat bahari dan kemaritiman. Kita sudah melupakan “nenek moyang”-nya yang “orang pelaut”. Seperti dikatakan Yamin, karena hubungannya “sudah putus!” Artinya, kita pun menjadi warga negara “republik hidroponik” yang akarnya tidak pernah membumi.
Setelah runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit, sesungguhnya semangat kemaritiman masih kuat dikibarkan oleh Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan besar pun masih berperan penting bagi hubungan perdagangan domestik dan internasional, seperti Cirebon, Sunda Kelapa, dan terutama Banten. Namun, setelah Demak runtuh dan dilanjutkan Kerajaan Pajang pada tahun 1549, dan Kesultanan Banten runtuh pada tahun 1813, boleh dikatakan berakhirlah semangat bahari di Nusantara.
Pusat Kerajaan Pajang tak lagi di pesisir, tetapi di pedalaman Jawa Tengah. Sultan Ageng Tirtayasa pun menarik diri dari pantai dan masuk ke Serang, membuka sawah baru secara spektakuler. Menghentikan penanaman lada, komoditas yang jadi rebutan bangsa Eropa yang datang dengan kapal-kapal dagang dan kapal perang dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, yang merangsang ketamakan. Sejak itu, kita tidak lagi berorientasi ke laut yang terbuka, tetapi mengolah tanah yang terbatas di pedalaman!
Dalam pidatonya, Bung Karno berkali-kali menyatakan bahwa: "Revolusi belum selesai ...."
Revolusi belum selesai
Ketika Bung Karno berkali-kali menyatakan bahwa “revolusi belum selesai”, seharusnya itu dalam konteks transformasi segenap nilai yang hendak diraih oleh ikrar Sumpah Pemuda dan pengamalan filosofi Pancasila. “Revolusi belum selesai” yang dimaksudkannya seharusnya adalah Revolusi Kebudayaan! Yakni, gerakan perubahan fundamental yang cepat untuk mengubah paradigma primordial-sektarian ke lingkup nasional dan mondial. Mengubah paradigma maritim ke paradigma agraris. Dengan begitu, bangsa Indonesia yang baru dilahirkan memperoleh cukup waktu dan ilmu untuk menjadi warga dunia yang maju dan bermartabat.
Pemutusan hubungan dengan masa silam yang berbasis kemaritiman (Sriwijaya dan Majapahit) seperti yang dianjurkan Yamin pun tak diikuti langkah-langkah fundamental yang bertanggung jawab: apakah kita akan melakukan Revolusi Agraria atau Revolusi Industri. Akibatnya, kita melewati jembatan emas kemerdekaan dengan kebingungan, dan akhirnya baku-bunuh sendiri di depan pintu gerbang dunia baru, hingga sekarang!
Bahkan, kita kini berada di ambang jurang negara gagal. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang memberikan harapan baru. Dengan konsep hendak menjadikan Indonesia sebagai “poros maritim dunia,” Joko Widodo diharapkan bisa melaksanakan bukan hanya Revolusi Mental, melainkan sekaligus juga Revolusi Bahari! Dan itu adalah Revolusi Kebudayaan! Perubahan paradigma: dari kekacauan paradigma agraris-industri yang inkonsisten ke paradigma semesta kemaritiman yang terpadu. Menjadi “poros maritim” bukan hanya dalam pengertian bisnis-perdagangan, melainkan juga geopolitik dan budaya.
Tokoh revolusi sosial-komunisme China, Mao Zedong (Mao Tse Tung), dan tokoh legenda tradisi yang dimitoskan, Nyi Loro Kidul (Ratu Pantai Selatan).
Nyi Loro Kidul
Kegagalan Revolusi Kebudayaan ala Mao Zedong di Tiongkok adalah karena ia kaku, bengis, dan berdarah. Revolusi Kebudayaan Jokowi hanya akan berhasil jika digerakkan dengan pembaruan sistem pendidikan, dan harus dimulai sejak pendidikan anak usia dini. Misalnya dimulai dengan pelajaran berenang, lebih banyak mengkonsumsi ikan, dan tamasya yang menyenangkan ke tepi laut. Bersamaan dengan itu, industri pembuatan kapal digalakkan, seperti yang dilakukan Sriwijaya dan Majapahit, seperti yang dilakukan Kekaisaran Ottoman sejak tahun 1518 untuk menguasai Eropa, dan dilakukan Jepang di awal Reformasi Meiji pada tahun 1868.
Tentu, tidak seperti negara-negara penakluk itu, armada laut yang harus kita bangun adalah lebih sebagai upaya kita untuk memaknai substansi Sumpah Pemuda dan Pancasila: moral ketuhanan dan kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan kemakmuran bagi semua anak bangsa dari Sabang hingga Merauke. Sementara, secara mental, itu semua untuk menepis legenda Nyi Loro Kidul yang membuat anak-anak kita takut ke laut. Juga untuk menepis legenda Malin Kundang yang memberi contoh negatif bahwa anak yang merantau melalui laut, akan durhaka kepada ibunya, justru setelah sukses dan pulang kembali dari rantau.
Jalesveva Jayamahe, justru di laut kita jaya.
Itu artinya, pemerintah harus menggerakkan rakyat Indonesia untuk membangun dan menggali kembali semua potensi yang diwariskan para nenek-moyangnya. Sebab, Jalesveva Jayamahe artinya adalah ‘justru di laut kita jaya’. Bukan di sawah atau di kebun yang membuat kita jadi petani yang harus bersusah payah mencangkul, menanam, dan memanen hasilnya dalam waktu berbulan-bulan, dan bahkan berbilang tahun.
Ditambah lagi, lahan kita yang kian lama kian menyempit karena diwariskan kepada anak-cucu-cicit, dan akhirnya dijual, disulap jadi ojek sepeda motor! Dan kini sawah yang dulu kita jual pun, sudah berubah menjadi super market dan mal!
Yudhistira ANM Massardi,
Sastrawan
KOMPAS, 2 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar