Betapa tidak. Demokrasi representatif yang diusung oleh kaum reformis justru mengesankan semakin tidak demokratis. Ini tecermin pada sikap publik yang semakin banyak bergairah menjadi golput berhadapan dengan euforia Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang berkembang di kalangan politikus berpartai. Ketidakpuasan terhadap kedemokrasian yang kini berlaku dinyatakan pula oleh gerakan yang semakin gencar menuntut pemekaran daerah dengan dalih perwujudan otonomi.
Prinsip politik tetap dinyatakan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Sebagai realisasinya, rakyat dipersilakan untuk “berpesta demokrasi”, memilih wakilnya, yang notabene ditetapkan oleh parpol, lima tahun sekali. Sesudah itu rakyat tidak perlu lagi aktif berpolitik. Para wakil yang dipilihnya mengambil alih wewenang dan hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik. Mereka berbuat begitu “atas nama” rakyat.
Maka kelihatan sekali betapa politikus berlomba-lomba menjadi “wakil rakyat yang terhormat”, berambisi berbicara “atas nama ...”. Kecenderungan ini, apa pun dalihnya, tentu tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa sanksi. Dan rakyat memang sudah semakin muak, lebih senang dan puas menjadi golput saja daripada diatasnamakan terus-menerus.
Para warga negara (citizens) yang menyebut dirinya “wakil rakyat” seharusnya tidak mengklaim membuat sendiri undang-undang. Mereka seharusnya tidak punya kehendak partikular untuk dipaksakan. Jika mereka tetap mendiktekan kehendak, memaksakan kemauan politik, Indonesia tidak lagi merupakan negara representatif. Dan hilanglah peluang Indonesia menjadi negara demokratis. Karena rakyat tidak bisa bicara, tidak dapat bertindak, kecuali melalui wakil-wakilnya.
Namun, demokrasi dewasa ini tidak mungkin dibuat langsung seperti keadaan aslinya dulu di zaman Yunani Kuno, di mana setiap warga berbicara sendiri di Agora mengenai kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Jadi, persoalannya sekarang adalah bagaimana dalam sistem dan suasana demokrasi-tak-langsung, atau demokrasi representatif ini, warga negara masih mungkin dan dibenarkan aktif berpartisipasi langsung dalam pembuatan undang-undang dan pengambilan keputusan.
Anggapan bahwa pembahasan undang-undang akan lebih terjamin apabila dilaksanakan oleh orang-orang terpilih saja, adalah pendapat yang menyepelekan kemampuan rakyat. Apalagi rakyat saat ini, yang adalah juga warga negara yang punya kuasa, banyak yang menyatakan kemampuannya untuk melakukan sendiri pengambilan keputusan. Jadi, kebajikan hakiki demokrasi sudah saatnya ditransformasi dari “hak rakyat untuk memilih dan dipilih” menjadi “kebebasan rakyat berpartisipasi aktif setiap waktu dalam pengambilan keputusan”.
Dengan kata lain, yang menjadi masalah krusial dalam berdemokrasi adalah bagaimana membuat “demokrasi representatif” bisa berfungsi efektif sebagai suatu “demokrasi kontinu”. Artinya, rakyat bisa terlibat dalam pengambilan keputusan tidak hanya satu kali dalam lima tahun, tetapi terus-menerus sepanjang tahun.
Praktik demokrasi kontinu ingin memperhitungkan, selain “kebajikan hakiki” demokrasi, juga sebagai penggerak konfigurasi politik kontemporer, di mana setiap unsur mungkin dapat dianalisis sebagai suatu modernisasi dari sistem representatif yang sudah ada. Atau merupakan awal dari akibat kemerosotannya usaha kolektif yang terlepas dari masalah representasi sehingga dapat langsung terkait dengan upaya pengukuhan pembentukan bangsa kita yang, per definisi, masih serba rawan ini.
Partisipasi langsung dari warga negara dalam pengambilan keputusan politik dapat merupakan instrumen yang memperkuat pendelegasian kekuasaan. Satu di antara instrumen itu adalah model pembangunan nasional dalam term “ruang sosial”, yang bertujuan menciptakan kebahagiaan bersama (a common happiness). Bukan hanya model pembangunan ekonomi dalam term produk nasional bruto (GNP), yang bertujuan meningkatkan kemakmuran bersama (a commonwealth), seperti yang dilakukan rezim Orde Baru dan kini dilanjutkan oleh rezim Reformasi.
Model pembangunan nasional itu sudah beberapa kali saya paparkan di harian ini dalam konteks yang berbeda. Kali ini saya hanya ingin mengingatkan betapa relevan model tersebut dengan kebajikan dari demokrasi kontinu begitu rupa hingga bahkan bisa menjadi mekanisme pengukuhan pembentukan negara-bangsa kita.
Kebahagiaan bersama adalah milik rakyat yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Namun, rakyat ini bukanlah sembarang kumpulan makhluk manusia yang mengelompok dengan jalan apa saja. Rakyat adalah suatu konsentrasi sejumlah besar orang, yang berasosiasi dalam suatu persetujuan tentang keadilan dan kemitraan bagi kebaikan bersama. Asosiasi seperti ini bukanlah sekedar berkat dorongan dari kelemahan individual, tetapi karena dorongan spirit sosial tertentu yang sudah disuratkan Tuhan dalam diri manusia agar selaras dengan alam.
Asosiasi yang alami tersebut diharapkan terjadi di suatu ruang sosial. Ruang ini adalah ruang hidup rakyat yang konkret, diciptakan dalam konteks pembangunan suatu komunitas tertentu. Hubungan antara referen dan pembangunan diformulasikan sebagai suatu “gerakan komunitas”. Dan selama proses berlangsung, komunitas yang bersangkutan terasa menjadi lebih adil serta lebih akseptabel karena lebih manusiawi. Di sini setiap warga diajak merundingkan rasionalitas setiap proyek pembangunan, baik yang berasal dari pusat maupun atas inisiatif pemerintahan lokal.
Jadi, dalam model pembangunan dengan term “ruang sosial” ini, musyawarah –yang merupakan sila keempat Pancasila– antar-orang yang berkepentingan akan menjadi satu keniscayaan. Hal ini terlepas dari kedudukan formal, sosial, dan tingkat keterpelajaran individual masing-masing. Artinya, semua warga akan merasa “diuwongke”, dianggap bermartabat dan setara satu sama lain.
Dengan begitu, dalam politik akan tercipta participatory democracy, bukan spectator democracy dan pembangunan menjadi participatory development, bukan spectator development. Dan jika interaksi kewargaan dijalankan terus-menerus secara konsisten niscaya akan lahir budaya-budaya lain (hukum, ekonomi, artistik, pengetahuan) yang menjurus kepada pembentukan masyarakat pembelajar, yang merupakan dasar ideal bagi pembentukan masyarakat madani.
Ruang sosial yang dengan sadar dibina oleh konsep pembangunan nasional ini diharapkan menjadi atmosfer yang menghasilkan pengalaman eksternal. Pengalaman konstruktif ini bisa disimpulkan sebagai faktor sentripetal dari pikiran manusia dan karena itu menjadi state of mind, bahkan merupakan jalan pikiran (mindset). Dengan demikian, kerawanan dalam dasar-dasar pembentukan bangsa akan terkikis dan hingga akhirnya bisa pupus sama sekali.
Bangsa adalah the will to live together (Renan). Jadi “bangsa” bukan suatu entitas yang sudah jadi. Ia selalu in potentia, tidak pernah in actu, terus-menerus dalam status nascendi. Jadi, istilah “bangsa” bukan menarasikan kemapanan keadaan, tetapi suatu tekad, suatu usaha kolektif yang terarah, terpadu dan berkesinambungan. Yang secara pragmatis berupa pembangunan nasional dengan atmosfer demokrasi kontinu.
Di samping sebagai statecraft, demokrasi kontinu merupakan suatu filosofi politik mengenai the polity, yang jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga pemerintahan. Ia meliputi semua lembaga, disposisi, kebiasaan, dan lain-lain faktor tempat pemerintah bergantung dan, karena itu, sudah seharusnya pemerintah berusaha membentuk pengaruh dan membangun opininya sebijak mungkin (politeness).
Dengan demikian, Indonesia bukan hanya sekadar “suatu lokalitas fisik” semacam hotel. Hotel adalah suatu lokalitas fisik (George F Will) yang berpenghuni. Penduduk Indonesia bukanlah sekedar penghuni, tetapi warga negara (citizens) yang selain berkontribusi melalui pajak juga masing-masing memiliki saham.
Maka, Pemerintah Indonesia yang demokratis seharusnya berperan sebagai “tutor” sekaligus “pelayan” bagi para warga negaranya. Sebab, “kewarganegaraan” (citizenship) merupakan suatu jalan pikiran (mindset). Mengingat setiap tindakan manusia berawal dari pemikiran, maka dalam benak pikiran manusia itu perlu dibangun mindset yang serba human dan konstruktif.
Daoed Joesoef;
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 1 Juli 2013