Di awal kiprahnya, partai ini menunjukkan komitmen antikorupsi yang mengundang decak kagum. Komitmen antikorupsi tercermin, misalnya, dari penyelamatan uang negara sebesar Rp 739,6 miliar oleh anggotanya yang duduk dalam badan legislatif, baik pada level nasional maupun lokal selama kurun waktu empat tahun (1999–2003). Pengembalian uang kadeudeuh di Jawa Barat yang hingga ratusan juta itu termasuk di dalamnya.
Dalam buku “Mereka Melawan Korupsi”, terlihat bagaimana kader-kader partai ini piawai melawan godaan dan jebakan korupsi. Tak tanggung-tanggung, kader-kader mereka di DPRD kerap menjadi musuh bersama karena menolak untuk menaikkan tunjangan anggota dewan atau berbagai bentuk uang siluman. Dalam beberapa kasus, mereka dan keluarga diteror karena enggan untuk terbeli, setelah tentu saja uang dengan jumlah besar dan rayuan lainnya coba disodorkan.
Ibarat film, mereka hanya figuran yang berlalu lalang sekelebatan saja. Saya tentu saja tidak mengatakan dengan naifnya partai ini bersih, sebagaimana slogan yang pernah diusung oleh partai ini “bersih dan peduli”. Namun, partai ini jelas bukanlah partai yang membuat kita berkata “ah itu mah biasa”, setidaknya dalam hati, manakala mendengar kabar korupsi yang dilakukan oleh seorang anggota partai.
Dengan demikian, amat pantas jika kemudian partai ini, yang saya tebak anda pasti tahu, kemudian berbangga diri menyatakan sebagai partai yang relatif bersih dari soal korupsi. Tidak itu saja, selain loyalitas kader dan kegiatan kaderisasi yang jauh di atas rata-rata, begitu pula kepeduliannya yang cukup baik, kebersihan para anggotanya dari praktik korupsi menjadi modal utama partai untuk memenangkan hati para pemilih.
Namun demikian, seiring perjalanan waktu, modal dasar ini nampak mulai terguncang. Hal ini sebenarnya lebih karena efek dari situasi internal ketimbang hal-hal lain. Terutama pascapemilu kedua (2004), partai ini secara internal tampak mengalami “perkembangan”, menuju “kenormalan”. Mulai saat itulah, perilaku yang menunjukkan “karakter umum partai-partai” mulai hadir dan menggejala di partai yang tadinya terkenal dengan kontrol internal yang cukup ketat ini.
Pascapemilu 2004, partai ini tidak saja kelimpungan dalam mengontrol kader-kader kritis yang mulai lantang bersuara dan bersikap, dipicu terutama oleh ketidakpuasan perilaku kurang pas para elite, namun pula dalam mengontrol perilaku elitenya. Seiring dengan pengawasan partai yang semakin hambar dan tidak efektif, sebagian elite partai pun menjadi lebih leluasa untuk melakukan beberapa aktivitas atau manuver yang sebelumnya dianggap “amat tidak patut”.
Efeknya mulai terlihat kemudian ketika satu demi satu sebagian elite terbukti menunjukkan perilaku yang berlawanan terhadap jati diri dan sikap partainya. Puncaknya terjadi di akhir bulan Januari lalu. Tidak tanggung-tanggung, presiden partai ini pun terjerat dalam kasus penyuapan. Dilihat dari kronologi internal, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang saya maksud, seharusnya dapat bersikap lebih arif dan objektif.
Akan merupakan kesia-siaan bagi KPK untuk berurusan dengan orang yang memang sama sekali tidak membawa bara di tangannya. Dengan kasus ini, PKS sungguh diminta untuk introspeksi diri dan meluaskan kewaspadaannya terhadap perilaku korupsi di level kader dan internal partainya sendiri, bahkan pada kader-kader terbaiknya.
Dengan terus mengelak, tidak saja PKS akan membingungkan kader dan masyarakat, serta pada gilirannya turut menyulitkan proses pemberantasan korupsi di masa-masa selanjutnya, namun juga akan berpotensi memunculkan sikap penghormatan yang tidak pada tempatnya, yang kerap disertai pembelaan mati-matian yang tidak perlu terhadap elite yang tidak pantas mendapatkannya.
Langkah terbaik yang dapat dilakukan oleh partai saat ini memang telah dilakukan. Inilah sesungguhnya momentum untuk mengembalikan partai pada jati dirinya. Juga momentum untuk melakukan bersih-bersih partai kepada siapa saja yang berpotensi sebagai benalu bagi partai. Sungguh inilah peluang besar untuk melakukan internal revolution yang selama ini sulit dilakukan karena belum ada bukti gamblang untuk mengeksekusinya.
Sikap PKS yang melakukan pergantian posisi presidennya secara cepat, hanya dua hari saja, menunjukkan keseriusan partai ini dalam merespons kasus korupsi yang menjerat presidennya secara elegan. Langkah elegan inilah yang sekali lagi membedakan partai ini dengan partai lainnya. Mantan anggota DPR dari PKB, AS Hikam, misalnya, berkomentar jika saja kasus serupa mengenai partai lain, terutama yang masih mengidap penyakit kultus individu, ceritanya pasti akan lain.
Namun, PKS adalah partai yang kader-kadernya dituntut untuk setia pada tradisi dan sistem secara bersamaan, bukan kepada perorangan. Bekerjanya sistem, dan bukan kepentingan individu, itu dipertontonkan kepada publik saat Anis Matta dengan mudahnya menggantikan LHI. Memang langkah elegan ini bagi sebagian kalangan dianggap sia-sia. Bagi sebagian kalangan, pengangkatan Anis adalah sebuah blunder.
Terlepas dari siapa yang patut memimpin partai ini, PKS telah menunjukkan pada khalayak bahwa jabatan bukan segalanya dalam partai ini; dan semuanya bekerja untuk partai, bukan sebaliknya. Dengan kedua hal ini, tidak mengherankan jika akhirnya seorang presiden partai sekalipun —jika dirasa merugikan partai— bisa dengan mudah ditendang. Bisa jadi, di sinilah penguatan modal yang telah terguncang dahsyat itu berawal.
Firman Noor
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI
JAWA POS, 4 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar