Menurut kalender, dalam seminggu yang disebut hari kerja (workdays) ada lima hari, lalu hari libur (holidays) dua hari. Mengapa jumlah hari kerja lebih banyak ketimbang hari libur?
Karena bekerja itu sehat, melegakan dan membahagiakan, sedangkan diam menganggur itu melelahkan dan bahkan menyiksa. Tidak percaya? Coba saja sendiri selama setahun jadi pengangguran, pasti tersiksa. Di dalam bekerja seseorang menemukan keasyikan, sebuah aktualisasi diri sebagai pribadi yang produktif dan berharga bagi sesamanya. Pohon pisang saja tidak mau mati sebelum mempersembahkan buah dan keturunan dari kehadirannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sekarang pun anomali dan deviasi sosial sudah terjadi, yaitu orang terjerat pada gaya hidup yang supersibuk. Sibuk seakan menjadi identitas dan gaya hidup kalangan eksekutif. Padahal ide besar yang menjanjikan sukses besar justru muncul saat orang dalam suasana santai, rileks, meditatif. Makanya banyak inspirasi dan peristiwa besar yang terjadi di malam hari seperti yang dialami para nabi. Mereka mendapatkan pencerahan hati dan pikiran di malam hari, di tempat yang sunyi, seperti yang dialami Nabi Muhammad di Gua Hira.
Peristiwa Isra’-Mi’raj pun juga di malam hari. Dengan bantuan teknologi modern, seseorang dapat melakukan multi-tasking dalam jam dan tempat yang sama. Artinya, bisa saja seseorang semakin sibuk dibuatnya ataupun sebaliknya, bisa lebih rileks karena rapat jarak jauh pun dapat dilakukan. Jadi, godaan dan peluang untuk menjadi sibuk dan supersibuk pun semakin terbuka. Namun perlu disadari bahwa sukses tidak selalu identik dengan sibuk. Para inovator bidang ilmu selalu memerlukan suasana rileks untuk mencari ilham.
Ketika panggung politik terasa pengap, kondisi lalu lintas macet dan membuat stres, sementara kejahatan dan konflik sosial bermunculan tak berkesudahan, pasti semua itu berpengaruh secara negatif pada suasana hati warga bangsa ini. Situasi demikian mesti diimbangi dengan pencerahan hati dan pikiran agar kita tidak menjadi orang yang reaktif, melainkan menjadi pribadi yang kreatif. Menjadi pribadi yang sabar sekaligus penyebar damai dengan pikiran-pikiran alternatif yang mendatangkan aura optimistis-konstruktif.
Ketika yang terjadi adalah akumulasi stres, marah, pesimistis, dan sikap egoistis, sesungguhnya kita telah mempersempit dan membuat gelap dunia kita sendiri. Ketika kita memandang dunia, tanpa disadari yang muncul dan terlihat sebenarnya adalah proyeksi dari keyakinan, ideologi, dan endapan emosi serta pikiran tentang hidup yang kita inginkan. Kita akan selalu mengejar hal-hal yang kita bayangkan menyenangkan dan selalu berusaha menghindari hal-hal yang kita bayangkan menyakitkan.
Tragedi serupa banyak terjadi pada kehidupan kita semua. Bukankah perjalanan hidup ini tak ubahnya pesawat yang melaju kencang ke depan? Apa yang terjadi kalau kehilangan peta yang menjadi petunjuk jalan? Oleh karena itu fenomena munculnya busy generation mesti diwaspadai karena akan mendorong seseorang hidup bagaikan mesin berputar. Selalu sibuk bahkan super sibuk tapi kehilangan sense of meaning of life. Kesibukan tanpa pemahaman dan penghayatan yang mendalam, untuk apa dan siapa hidup ini dijalani. Kesibukan yang tanpa makna apa-apa dan sia-sia belaka.
Sibuk seakan menjadi mantra baru. Ketika bertemu teman, dulu orang masih sempat ngobrol tentang kehidupan keluarga dan cerita hobi masing-masing. Sekarang hal itu telah berubah, pertanyaan yang muncul biasanya adalah: “Sekarang lagi sibuk apa?”
Busy, busy, busy, busy, busy, busy. Busy … dead !
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 14 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar