Cerita semacam itu tentu lazim belaka. Namun ia selalu muncul sebagai dalil, sebelum kami memungkasi obrolan dengan mengucap syukur sembari meletakkan keluarga kami sendiri sebagai prototipe keluarga paling beruntung di muka bumi. “Alhamdulillah, kita nggak pernah perlu keluar duit sebanyak itu tiap Lebaran ....”
Kami memang nggak pernah mudik. Buat apa mudik? Lha wong dari kecil sampai beranak satu kami tinggal di udik terus, kok. Rumah kami di Bantul. Kalau mau ke rumah orangtua cukup naik motor 10 menit, mau ke rumah mertua cukup 25 menit. Peknggo saja, kalau istilah Jawa-nya. Ngepek tonggo, alias menikahi anak tetangga. (Tentu saja bukan tetangga beneran. Toh kami dulu kenal di kampus, bukan di pekarangan rumah waktu dia sedang menjemuri sarung bapaknya.)
Dengan situasi geografis seperti itu, momen Lebaran selalu sangat simpel buat kami sekeluarga. Ringkas, dan yang paling penting di atas segalanya: ekonomis.
Padahal, hanya karena kami tak pernah repot mudik, apa lantas artinya tabungan kami tiba-tiba jadi menggelembung bertambah 15 juta? Duh, ternyata enggak hahaha ….
Saya jadi ingat peristiwa dua tahun silam, ketika seorang so-called intelektual melontarkan pandangan yang luar biasa cerdas tentang ibadah haji dan umroh. Dia mengatakan, “Biaya haji dan umroh yang 30 triliun per tahun itu bisa dipakai bikin 600 ribu rumah untuk orang miskin. Makanya mending nggak usah ke Mekah, tapi buat sosial saja.”
Gagasan itu jelas mulia, karena muatannya adalah keinginan untuk menolong fakir miskin. Di titik itu saya sendiri mendukungnya. Sayangnya, ada konstruksi logika yang terlalu matematis di situ. Akibatnya, sang intelektual malah jadi lupa bahwa yang sedang ia bicarakan bukan semata uang, melainkan juga manusia-manusia yang menggerakkan uang.
Pertanyaan saya, memangnya dari mana datangnya duit 40 juta itu? Apakah waktu bangun tidur tahu-tahu mereka nemu buntelan di bawah bantal, yang isinya duit semua? Atau karena sejenis mukjizat tertentu, 168.000 orang itu (sesuai kuota tahun 2015) mendadak mendapati rekening mereka masing-masing menggembung dengan tambahan 40 juta entah dari mana?
Nah, sisi itu yang dilupakan oleh penggagas ide. Ia lupa bahwa ritual, dalam keyakinan apa pun, bukan sekadar tindakan fisik, namun juga aktivitas batin. Ritual bukan cuma memeras tenaga dan menyerap anggaran, namun juga menyalakan motivasi. Ritual bukan hanya melibatkan nota-nota pembayaran dan barang-barang belanjaan, melainkan juga spirit dan emosi.
Maka tak perlu heran ketika mendapati banyak orang menjadikan haji sebagai cita-cita ultimate mereka dalam hidup. Baju boleh kumal, rumah boleh reyot, tapi kepuasan hidup mereka diraih saat berhasil sowan ke Tanah Suci.
Naif? Irasional? Dari kacamata sekolahan mungkin iya. Tapi andai orang-orang itu tidak punya orientasi hidup untuk berhaji, apa lantas duit 40 juta bisa mereka dapatkan dari hasil kerja? Wo ya belum tentu …. Sebab sangat mungkin pembakar semangat mereka untuk bekerja keras ya impian haji itu!
Malang sekali, ternyata saya sendiri pun tak beda. Otak saya hanya berisi untaian biji-biji sempoa saat memahami ribuan orang yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman mereka. Padahal, mudik tak bedanya dengan haji.
Tunggu, tunggu. Jangan marah dulu dengan kalimat saya barusan. Tentu saya nyeletuk “mudik tak bedanya dengan haji” bukan dalam kerangka menyetarakan keduanya pada dimensi ibadah. Ini semata karena melihat kesamaan karakter pada dua ritual tersebut.
Dalam mudik, citra yang kasat mata adalah orang-orang pulang ke kampung, bertemu ayah-bunda dan sanak saudara. Namun di balik tampilan visual, yang bergerak adalah gairah untuk kembali ke akar, kerinduan, air mata, dan cinta.
Dalam mudik, tersedia momentum. Kita semestinya ingat Tuhan setiap saat, tapi agama menyediakan momentum sembahyang pada waktu-waktu khusus. Kita seharusnya senantiasa mengontrol naluri hewani kita agar menegaskan diri sebagai manusia, tapi agama menyediakan momentum bulan puasa. Begitu pula, kita sepantasnya tak henti mengasihi keluarga dan orang-orang tercinta, tapi ritual mudik menyediakan momentum agung untuk merayakan kerinduan kita.
“Itu riya! Tradisi show off berpadu dengan konsumtivisme!”
Hoahmm, saya tidak sedang ingin pusing dengan hal-hal begituan. Memangnya kritik atas itu ngaruh seberapa jauh sih selama ini?
Biarlah soal-soal demikian diurus para ustaz dan pengamat sosial saja. Saya sendiri lebih suka melihat bahwa dalam pemborosan akibat mudik ada berkah bagi banyak orang. Ada anak-anak yang bahagia mendapat uang saku lebih, ada ibu-ibu yang dagangan kue nastar dan kastangelnya laris manis, ada sista-sista olshoper yang stok baju muslimnya ludes, dan entah ada berapa ribu orang lagi yang bahagia dengan perayaan pulang kampung nasional ini.
Akhir kata, selamat siap-siap mudik bagi yang merayakan. Sadari bahwa prosesi mudik Anda adalah rangkaian perjalanan suci. Maka, karena mudik ini sakral adanya, ada satu pesan penting dari saya: waktu syawalan di kampung, jangan merusak suasana dengan mengungkit keributan lama terkait perdebatan politik di grup-grup Whatsapp Anda. Itu.
Iqbal Aji Daryono,
Tinggal sementara di Perth, Australia,
Kadang-kadang mudik ke Bantul, Yogyakarta,
Sehari-hari bekerja sebagai sopir merangkap kurir
di sebuah perusahaan jasa pengiriman
DETIKNEWS, 20 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar