Dari tulisan-tulisannya yang berhasil saya kumpulkan sejak masih di bangku kuliah dulu, ia bukan hanya seorang ilmuwan, namun juga seorang begawan. Lulusan terbaik STOVIA tahun 1915 ini bisa menulis perihal kebudayaan dan filsafat sama baiknya dengan ketika ia menulis tentang penyakit-penyakit tropis.
Dulu, setiap kali membaca tulisan atau mendengarkan ceramah Profesor Teuku Jacob, mantan Rektor UGM (1981-1986) yang juga berasal dari Fakultas Kedokteran, saya selalu membayangkan pastilah Profesor Sardjito secemerlang ––atau bahkan lebih dari–– muridnya itu. Tapi, ke mana lagi orang bisa mencari jejak pemikiran manusia Sardjito pada hari ini ?!
Saya mendengar UGM saat ini sedang membuat film dokumenter mengenai Profesor Notonagoro, salah satu begawannya yang tercatat dalam lembaran sejarah sebagai orang pertama yang telah membawa Pancasila ke wilayah kajian ilmu pengetahuan. Dan kesulitan pertama pembuatan film dokumenter itu adalah UGM kini tak lagi memiliki arsip-arsip otentik karya-karya Notonagoro. Nah!
Sejauh yang bisa saya catat, komitmen untuk melakukan riset dan pengarsipan yang serius atas karya-karya para sarjana terkemuka di Bulaksumur memang lemah sekali. Pejabat universitas ataupun fakultas di UGM hampir semuanya lebih menyukai membangun gedung atau sarana fisik di kampus daripada membangun kultur akademik atau hal-hal lainnya yang lebih sublim tapi mendasar.
Sebab, untuk apa riset, dan apa yang mau diriset, jika kita tak mempelajari dan gampang sekali kehilangan jejak atas riset-riset yang telah dilakukan oleh para sarjana sebelum kita?!
Sayangnya, meski antusias dalam perbincangan, obrolan itu tak pernah ditindaklanjuti. Sewaktu buku saya mengenai pemikiran Mubyarto mendapat hibah dari LPPM-UGM dan kemudian diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, Pak Tikno bahkan mengaku tak punya waktu untuk sekadar menulis kata sambutan sebagai rektor di buku tersebut. Sayapun segera tahu, ia tak akan punya waktu untuk hal yang lebih dari itu.
Tak heran, pada akhirnya Sardjito, atau nama-nama besar lainnya, hanya akan tinggal nama belaka, tanpa bekas dan tanpa jejak imajinasi apapun bagi generasi terkini atau generasi yang lebih kemudian.
Sumber:
Tarli Nugroho
https://www.facebook.com/tarli.nugroho/posts/10155808153703606?ref=notif¬if_t=close_friend_activity¬if_id=1503410872790421
Biografi Prof Dr Sardjito
Sardjito lahir di Desa Purwodadi, Kec. Barat (dulu Kec. Karangmojo), Kab. Magetan, Jawa Timur, pada tanggal 13 Agustus 1889 dan meninggal di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 1970 pada umur 80 tahun. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta.
Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Sardjito memiliki ayah yang berprofesi sebagai guru. Sardjito mengawali jenjang pendidikan dasarnya pada usia 6 tahun di Sekolah Rakyat (SR), sekaligus mulai belajar mengaji di desanya tersebut. Namun pada tahun 1901, Sardjito menyelesaikan pendidikan dasarnya di Lumajang.
Tidak jelas benar setelah lulus SR, apakah Sardjito melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan kemudian AMS (Algemene Middelbare School), yang pasti sejak tahun 1907 Sardjito melanjutkan jejang pendidikannya ke pendidikan tinggi kedokteran STOVIA (School Toot Opleiding Voor Indische Artsen). Beliau lulus pada tahun 1915, serta meraih gelar dokter dengan predikat sebagai lulusan terbaik pada saat itu.
RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta.
Tanggal 20 Mei tahun 1908, Dr. Wahidin Sudirohusodo memotori lahirnya organisasi Boedi Oetomo. Sejak didirikannya organisasi itu, Sardjito masuk menjadi anggota karena minatnya di bidang pendidikan dan juga sambil belajar berpolitik dalam organisasi. Masuknya Sardjito sebagai anggota Boedi Oetomo menjadikannya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Namun demikian, walaupun telah menjadi anggota organisasi Boedi Oetomo, Sardjito tidak meninggalkan tekadnya untuk selalu berkecimpung di dunia kesehatan.
Setelah lulus dari STOVIA, Sardjito bekerja di rumah sakit di Jakarta sebagai dokter hingga sekitar tahun 1920. Tetapi menjadi dokter biasa saja tak cukup bagi Sardjito. Beliau tetap mengembangkan kemampuan ilmu kedokterannya dengan sebuah penelitian. Penelitian pertamanya adalah tentang penyakit influenza.
Pada tahun 1922, Sardjito memperdalam ilmunya di fakultas kedokteran Universitas Amsterdam, Belanda. Setahun kemudian, Sardjito belajar lebih intens lagi tentang penyaki-penyakit tropis, karena hal ini, Sardjito harus pindah ke Universitas Leiden yang letaknya tidak jauh dari Amsterdam. Di Universitas Leiden, Sardjito memperoleh gelar Doctor pada tahun 1923. Setelah memperoleh gelar Doctor di Belanda, Sardjito pergi ke Amerika Serikat untuk mengukuti kursus hygiene di Baltimore, Maryland. Di sinilah, Sardjito memperoleh gelar M.P.H. dari John Hopkins University.
Sepulang dari Amerika, Sardjito mendapat kepercayaan untuk menjadi dokter di Laboratorium Pusat Jakarta pada tahun 1924. Setahun kemudian, Sardjito dipercaya untuk menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Jakarta. Pada akhir masa jabatannya di Laboratorium Pusat Jakarta (1929), dia merangkap jabatan sebagai asisten kepala Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Dari Jakarta, Sardjito pindah ke Makassar untuk memegang jabatan kepala Laboratorium Makassar pada tahun 1930.
Antara tahun 1945-1946, Sardjito sempat memimpin perusahaan “Lembaga Pasteur” di Bandung, yang merupakan pemimpin Indonesia pertama. Pada saat kepemimpinan Sardjito inilah lokasi perusahaan sempat dipindahkan ke daerah Klaten.
Karier Sardjito terus menanjak, ketika pada tahun 1949 terpilih untuk menjadi rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang ketika itu disebut Presiden Universiteit Negeri Gadjah Mada. Pemegang penghargaan Bintang Mahaputera Tingkat III tahun 1960 ini, menjabat sebagai rektor UGM selama 12 tahun 9 bulan. Bahkan seusai menjabat sebagai rektor UGM, Sardjito terpilih sebagai rektor di UII (Universitas Islam Indonesia), Yogyakarta, menggantikan Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen pada tahun 1963.
Pada saat di pimpim oleh Sardjito, UII membuka cabangnya di daerah-daerah, diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Tarbiyah di Gorontalo, Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di Cirebon, Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah di Madiun, Fakultas Syariah di Bangil dan Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di Klaten.
1. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, UGM bersedia membimbing UII dalam hal-hal yang diperlukan.
2. Dalam bidang penelitian, UGM bersedia membimbing UII akan hal-hal yang diperlukannya dan biaya yang berhubungan dengan keperluan tersebut akan ditanggung oleh UII.
Pada masa kepimpinan Sardjito pula UII mendirikan Organisasi Pers Mahasiswa UII, tepatnya pada tanggal 11 Maret 1967. Profesor Sardjito mendukung penuh akan berdirinya Organisasi Pers mahasiswa UII. Hal ini ditandai dengan kata sambutan menjelang kehadiran majalah pertama Organisasi Pers Mahasiswa UII yaitu majalah Muhibbah.
Sardjito wafat ketika masih menjabat sebagai rektor UII pada tanggal 5 Mei 1970. Wafatnya beliau yang mendadak saat itu, sempat membuat pihak UII kesulitan untuk mencari seorang figur yang mampu menggantikan Sardjito sebagai rektor yang mumpuni.
Saat ini nama Prof. Dr. dr. RM Sardjito, M.D., M.P.H., diabadikan sebagai salah satu nama Gedung Kuliah Umum (GKU) yang berada di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia, Sleman, Yogyakarta, serta sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat yang berada di dekat kampus UGM, Yogyakarta.
Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia: https://id.wikipedia.org/wiki/Sardjito
http://www.catatansibay.web.id/2010/01/biografi-singkat-prof-dr-sardjito.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar