“Tidak mengintervensi dan menghormati proses hukum adalah pilihan tepat,” demikian salah satu kicauan Anas melalui akun twitternya, @anasurbaningrum, pada hari Kamis (12/2/2015). Kicauan ini sudah dikonfirmasi sebagai milik terpidana korupsi dan pencucian uang terkait dengan proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya. Kolega Anas, Gede Pasek Suardika menjelaskan, cuitan itu benar dari tulisan Anas yang kemudian diketik tim administrasinya.
Anas kini meringkuk dalam penjara sejak Januari 2014. Dan pada September 2014, hakim Tipikor memvonis Anas hukuman 8 tahun penjara plus denda 300 juta. Hukuman ini kemudian dikorting setahun.
Berikut ini kultwit lengkap Anas Urbaningrum perihal konflik KPK-Polri, yang disalin oleh Admin dari tulisan tangan Anas Urbaningrum yang dititipkan melalui lawyer.
Dan demi kenyamanan para pembaca sekalian, angka-angka, tagar dan kata-kata lain yang dirasa mengganggu (misalnya kata *abah) sudah diedit seperlunya.
Ada yang mendesak agar Pak Jokowi menyelamatkan KPK. Misalnya dengan perintahkan Polri kasih SP3 untuk BW.
Ada yang mendesak agar Pimpinan KPK diberi hak imunitas lewat Perppu.
Ada yang mendesak agar proses hukum terhadap para Pimpinan KPK dihentikan, karena itu dinilai pelemahan KPK.
Ada yang mendesak agar BG segera dinyatakan tidak dilantik, lalu ditarik dan digantikan calon Kapolri baru.
Intinya desakan itu adalah agar Pak Jokowi intervensi kepada Polri agar Pimpinan KPK diselamatkan.
Menyelamatkan Pimpinan KPK dianggap sebagai menyelamatkan KPK.
Membiarkan proses hukum terhadap Pimpinan KPK dianggap sebagai membiarkan KPK ambruk.
Bahkan Presiden diancam dengan desakan pengembalian mandat, karena dianggap tidak peduli.
Tidak melakukan intervensi dan menghormati proses hukum adalah pilihan yang tepat.
Intervensi kekuasaan adalah kanker ganas bagi proses penegakan hukum.
Apakah proses hukum terhadap Pimpinan KPK akan membuat KPK ambruk? Tentu saja tidak!
Proses hukum berlaku bagi siapa saja, bagi setiap warga negara. Tidak ada kecualinya.
Kalau ada Pimpinan KPK diproses hukum secara terbuka, adil dan transparan, itu justru baik bagi KPK.
Proses hukum yang demikian akan menolong KPK menjadi lembaga yang lurus, bersih dan kredibel.
Jika benar ada bagian yang tidak bersih, justru proses hukum akan membantu KPK terjaga kebersihannya.
Jika benar ada bagian yang tidak patut, justru proses hukum akan menolong KPK agar terjaga kredibilitasnya.
Andaikan ada Pimpinan KPK yang terbukti bersalah secara hukum, itu akan menjadi bagian dari proses seleksi alam.
Seleksi alam adalah proses yang baik untuk menjaga kredibilitas dan marwah institusi KPK.
Andaikan ada Pimpinan KPK divonis bersalah, tidak bisa diartikan KPK jadi lemah dan ambruk.
Justru KPK akan mendapatkan tenaga baru yang dihasilkan oleh proses seleksi, semoga lebih bisa diandalkan.
Menyamakan person dengan institusi KPK adalah sesat pikir. Lembaga KPK tidak boleh dipersonalisasi.
Membuat personalisasi KPK akan menciptakan mitos. Sementara mitologi adalah musuh dari obyektifitas.
Mitos-mitos hanya relevan di dalam logika dunia para dewa. Itu cerita masa lalu. Berabad-abad silam.
Yang kita dukung adalah KPK historis. Lembaga KPK yang hidup dan bekerja di dunia nyata dengan segala tantangannya.
Yang kita harapkan adalah KPK yang mandiri, profesional dan imparsial. Bekerja berdasarkan SOP (Standar Operasi dan Prosedur) yang akuntabel.
Yang kita mimpikan adalah KPK yang tidak diperkuda oleh kepentingan “lain” dari pengurusnya dan dari pihak luar.
Yang kita butuhkan adalah KPK yang sanggup bekerja dalam khittahnya. KPK yang lurus dan tidak pongah.
Jadi, Pak Jokowi sampeyan tenang saja. Tidak perlu grusa-grusu karena didesak-desak berbagai kepentingan.
Menyelamatkan KPK dan Polri adalah dengan menghormati proses hukum dan tidak tergoda melakukan intervensi.
Memang bisa diserang (karena dianggap) membiarkan atau tidak peduli. Tapi itu hanya kesan dan citra yang sengaja diciptakan.
Biarkan semua jadi proses belajar dan bagian dari seleksi alam.
Mungkin akan meminta waktu dan sedikit kesabaran. Tidak apa-apa. Itu adalah bagian dari ongkosnya.
Dengan proses seleksi alam itu, bangsa ini akan belajar memilih secara benar, dalam kesejatian.
Jika yang akan dipilih “setengah dewa” ya yang benar-benar “setengah dewa”.
Bukan anak-cucu Batara Kala, Sengkuni, Dorna, Rahwana atau Cakil yang diberi jubah ksatria.
Karena itu, Pak Jokowi “ojo gelem disusu-susu!” Jangan mau didesak-desak. Biarkan semua bekerja pada relnya, yakni Undang-Undang.
Jangan sampai jadi “kesusu kesaru,” karena buru-buru malah jadi tersandung.
Lebih baik “alon-alon waton kelakon.” Pelan-pelan tetapi tercapai maksud dan tujuan.
Lebih baik “gremat-gremet waton slamet.” Pelan-pelan tetapi selamat. Cermat dan tepat adalah penting.
Kalau “grusa-grusu” karena desakan dan “kebat kliwat” karena tidak cermat, malah bisa jadi bencana.
Sumber:
Akun twitter Anas Urbaningrum, @anasurbaningrum
Kamis, 12 Februari 2015
http://linkis.com/harianterbit.com/nat/pyEOW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar