Posisi wakil menteri dipertahankan di pos Kementerian Luar Negeri, lainnya dihilangkan. Tampak tidak ada perbedaan signifikan antara kabinet Jokowi-JK dan kabinet SBY-Boediono yang juga terdiri atas 34 menteri. Perbedaan kecil hanya soal alokasi kursi menteri di kabinet SBY-Boediono yakni 14 dari profesional dan 20 dari parpol. Perbedaan kecil lain adalah pos wakil menteri yang mencapai 17 orang di antaranya untuk Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian.
Dengan tidak adanya perbedaan signifikan dalam postur kabinet ini merupakan cacat dini Jokowi-JK. Soal ini tidak boleh diremehkan karena jauh sebelum dan selama kampanye pilpres, isu perampingan kabinet menjadi daya tarik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Jokowi-JK. Jadi, Jokowi-JK harus mampu memberikan penjelasan yang jujur, rasional, dan argumentatif soal dipertahankannya postur kabinet gemuk ala SBY-Boediono tersebut agar tidak dituding telah melakukan pembohongan publik.
Hal positif yang dilakukan Jokowi-JK sebelum menjalankan pemerintahannya adalah membentuk Tim Transisi. Secara teoritik, Tim Transisi berperan untuk melakukan berbagai kajian tentang gagasan/konsep, kelembagaan dan kualifikasi personalia yang memadai sebagai syarat untuk mewujudkan kabinet profesional yang mampu bekerja cepat, akurat, berkualitas, dan murah. Tim ini juga diperlukan untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK. Sayangnya, tanggung jawab mahaberat dan mulia ini tidak ditunjang dengan keanggotaan Tim Transisi yang dapat diandalkan.
Keterpilihan Rini Soemarno (dulu Rini Soewandi) sebagai ketua Tim Transisi merefleksikan kuatnya dominasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Selagi menjabat menteri perdagangan era Megawati Soekarnoputri, kinerja Rini sebenarnya tidak meyakinkan. Begitu pula kehadiran intelektual (Andi Widjajanto, Anies Baswedan) dan aktivis (Hasto Kristianto, Akbar Faisal) tidak mampu meyakinkan publik bahwa tim ini bisa bekerja optimal. Minimnya pengalaman anggota Tim Transisi dalam pemerintahan membuat tim ini gagal menghasilkan agenda-agenda yang meyakinkan sehingga bisa mengikat Jokowi-JK. Soal postur kabinet misalnya awalnya tim ini yakin, kabinet bisa dirampingkan hingga 20 kementerian saja.
Jokowi juga kerap menyatakan bahwa kabinetnya akan ramping dan profesional. Tapi, gagasan ini dengan mudah dipatahkan oleh JK. Dengan dalil bahwa dirinya sudah lama di pemerintahan dan lebih berpengalaman, JK menegaskan bahwa postur kabinet tetap 34 kementerian sehingga Tim Transisi tidak boleh gegabah mengurangi itu. Mempertahankan 34 kementerian merupakan efek dari kuatnya dominasi JK.
Perlahan tapi pasti, publik sadar bahwa semua itu tidak lebih dari intellectual exercise, yang ramai dan asyik diperdebatkan, tapi sulit diadopsi menjadi keputusan politik yang mengikat dan operasional. Andi Widjajanto mengatakan bahwa Tim Transisi telah menyelesaikan tugasnya menyusun postur kabinet dan kualifikasi menteri, tapi soal keputusan akhir, tetap menjadi urusan Jokowi-JK.
Jika demikian, apa bedanya kajian akademis di berbagai perguruan tinggi dengan kerja Tim Transisi?
Kedua, sejak awal JK sudah tidak sepakat dengan gagasan perampingan kabinet yang digagas Jokowi. JK memang menjadi bagian dari perancang postur kabinet dengan 34 kementerian saat berpasangan dengan SBY periode 2004-2009 lalu. Namun, selama kampanye JK sengaja membiarkan gagasan ini berkembang sekadar untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas demi memenangkan Pilpres 2014. Sulit dibantah bahwa di sinilah Jokowi-JK sudah cacat secara etik karena menjanjikan sesuatu yang akhirnya tidak akan mereka laksanakan.
Demi membangun pemerintahan yang kuat dan optimal bekerja untuk rakyat, Jokowi-JK menjanjikan bahwa kabinetnya akan didominasi oleh profesional murni. Kualifikasi menteri dipatok tinggi yakni memiliki kompetensi, berintegritas, serta memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Jokowi-JK juga membuka kemungkinan kader partai menjadi menteri, tapi kader bersangkutan harus meletakkan jabatannya di partai. Di samping itu, merujuk pada koalisi gemuk kabinet SBY-Boediono yang didominasi kader partai, Jokowi-JK bertekad merampingkan itu.
Jokowi-JK juga mendeklarasikan koalisi partai tanpa syarat. Partai Golkar yang ingin merapat dengan konsesi beberapa kursi menteri ditolak karena tidak sesuai proposal koalisi Jokowi-JK. Terkesan bahwa koalisi ini bisa secara mandiri berjalan tanpa didukung partai lain di luar PDIP, PKB, Hanura, NasDem, dan PKPI. Tapi, belum lagi berkuasa, Jokowi-JK sudah menerapkan politik wajah ganda. Pertama, jatah kursi ternyata dibagi hampir merata antara profesional dan partai. Jokowi memang menyebutnya profesional partai. Tapi, Jokowi lupa bahwa profesional bekerja semata-mata untuk kepentingan rakyat, sementara kader partai tidak.
Kedua, meski mengaku tidak merasa terancam dengan manuver politik oposisi yang digalang Koalisi Merah Putih (KMP), diam-diam Jokowi-JK melobi berbagai kekuatan politik untuk memperkuat koalisinya. JK bahkan menyatakan telah menyiapkan jatah kursi menteri bagi partai yang mau bergabung dengan pemerintah. Jika kelak anggota koalisi Jokowi-JK bertambah, tekad untuk membentuk kabinet yang profesional dan total bekerja untuk rakyat menjadi sulit diwujudkan. Karena di mana pun koalisi multipartai yang gemuk cenderung lemah, lamban, dan boros. Lemah karena mudah pecah setiap ada perbedaan kepentingan, lamban karena pengambilan keputusan yang bertele-tele, dan boros karena menghabiskan banyak anggaran untuk menjaga soliditas koalisi.
Romanus Ndau Lendong,
Dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta
KORAN SINDO, 18 September 2014