Paul C Burns, Betty D Roe, dan Elinor P Ross dalam Teaching Reading in Today’s Elementary Schools menulis bahwa, “Membaca memang sebuah proses yang -tidak hanya proses membaca itu yang kompleks- tapi setiap aspek yang ada selama proses membaca itu pun bekerja dengan sangat kompleks.”
Ada beberapa aspek yang bekerja saat kita membaca, kata Burns dan kawan-kawan, yaitu sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Sewaktu anak kecil membaca misalnya, sesungguhnya itu tidak hanya mengasah ketajaman berpikirnya, pada saat bersamaan kepekaan perasaannya juga terasah. Secara umum anak itu akan mengembangkan kemampuan intelektualnya sekaligus meningkatkan kecakapan dan kecerdasan mental.
Melalui membaca pula, kita dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas pribadi, khususnya bila dimulai sejak usia dini. Membudayakan membaca merupakan hal yang bermanfaat bagi masa depan, dan berlaku bagi siapa pun. Lebih baik lagi bila para orang tua menanamkan kebiasaan membaca sejak dini kepada anak-anaknya.
Di negara kita, selain perpustakaan umum, masyarakat juga mengenal perpustakaan desa (perpudes), rumah pintar, pondok baca, dan taman bacaan masyarakat (TBM) lainnya.
Adapun taman bacaan sejatinya merupakan bagian dari perpustakaan, dan kini ada beberapa TBM yang dikelola masyarakat. Fasilitas itu dibangun karena rasio yang tidak ideal andai membangun perpustakaan (karena kecilnya jumlah penduduk di sebuah daerah). Sehingga bersama taman bacaan, anak-anak sejak usia dini bisa dibiasakan untuk gemar membaca, minimal diawali dengan melihat gambar atau foto di dalam buku atau majalah yang ada. Bila ia merasa bahwa tempat itu membuatnya nyaman, maka setelah dewasa kelak ia akan terbiasa dan gemar membaca.
Kini sudah mulai tumbuh pengertian bahwa membaca bukan lagi sekedar mengisi waktu luang atau bahkan perintang waktu, melainkan sudah menjadi semacam kebutuhan. Pengelola taman bacaan merasa berhasil menjalankan tugas bila tempat itu selalu dipenuhi pengunjung. Namun di berbagai kota, masih dijumpai kondisi taman bacaan yang sepi dari pengunjung karena kurangnya informasi dan sosialisasi (dan pastinya menjadi kurang menarik), karena disebabkan keterbatasan dana dan SDM pengelolanya.
Sebenarnya, walau relatif sebentar, tiap saat kita bisa membaca, kapan pun dan di mana pun. Misal di rumah sebelum berangkat kerja/kuliah, menunggu bus di halte, menunggu kereta di stasiun, dan sebagainya. Yang jelas kita bisa memanfaatkan sedikit waktu untuk menambah informasi sekaligus memperoleh pengetahuan yang sangat bermanfaat.
Cerdas bersama TBM merupakan satu cara agar masyarakat lebih menaruh perhatian dalam rangka menambah pengetahuan dan meningkatkan kecerdasan. Terlebih visi misi taman bacaan masyarakat tidak berbeda jauh dari perpustakaan pemerintah/perpustakaan sekolah/perguruan tinggi.
Karena itu, pemerintah semestinya menjaga supaya harga buku tetap terjangkau. Hal itu supaya pengelola taman bacaan bisa membelinya. Dengan koleksi lengkap dan fasilitas memadai maka TBM tersebut menjadi lebih menarik bagi calon pengunjung. Pengelola yang cerdas seharusnya juga tak segan untuk “berburu” buku, majalah dan bahan bacaan menarik lainnya guna melengkapi koleksinya.
Ia bisa meminta bantuan dari manapun ataupun menerima sumbangan buku dari pribadi, tokoh-tokoh masyarakat, komunitas, kedutaan besar, instansi pemerintah/BUMN, atau swasta. Penulis optimis minat baca warga Jateng dan masyarakat luas pada umumnya akan meningkat bila lebih banyak lagi didirikan taman bacaan masyarakat.
Pemerintah (kelurahan/kecamatan/kota/kabupaten, bahkan provinsi) dapat memanfaatkan taman bacaan untuk menyampaikan program atau capaian keberhasilan pembangunan lewat buku yang disumbangkan. Upaya itu sejalan dengan program mencerdaskan kehidupan bangsa sembari mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat.
Ambijo,
Ketua Forum Penulis Kebumen (FPK)
SUARA MERDEKA, 3 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar