Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa? Sejarawan HG Wells menyimpulkan, "Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya." Tekad sebagai sikap mental (state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.
Soekarno menandaskan hal ini dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959. “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj —kenaikan ke atas— agar kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka Bumi (sirna ilang kertaning Bumi).”
Membesarkan jiwa
Maka, Bung Karno berkali-kali menekankan perlunya membesarkan jiwa. "Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar daripada Roosevelet adalah jiwa Roosevelt,... lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu ada dalam dada tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya."
Dalam hal ini, Mohammad Hatta gundah tentang masa depan kemerdekaan Indonesia yang mungkin dilumpuhkan oleh kekerdilan jiwa bangsa sendiri. Dengan mengutip puisi Schiller, ia bernubuat, "Sebuah abad besar telah lahir/tetapi ia menemukan generasi yang kerdil."
Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidak eksis dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan keyakinan dan sikap batin yang perlu terus dibina dan dipupuk. Terlebih kebangsaan Indonesia, sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam unit kebangsaan baru, "Untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Peran kepemimpinan amat penting sebagai jangkar solidaritas kebangsaan. Para pemimpin mengemban amanat penderitaan rakyat, yang tanpa pertanggungjawabannya kemajemukan kebangsaan Indonesia sulit menemukan kehendak bersama. “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapatkan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya dari kita sendiri.” (Pidato Radio, 8 November 1944).
Kesempatan merenung
Harapan dan peringatan kedua bapak bangsa itu perlu direnungkan di sela peringatan kemerdekaan Indonesia. Perlu refleksi diri, mengapa karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya, kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.
Berdiri di awal milenium baru, menyaksikan perubahan yang luas cakupannya, instan kecepatannya, dan dalam penetrasinya, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Adakah kelebihan yang bisa dibanggakan selain karunia yang terberikan? Adakah sebutan yang bisa diukir di gelanggang internasional selain gelar-gelar buruk?
Manusia, sang pengubah
Dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan kian membuktikan kebenaran dirinya. Dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya.
Kita perlu "senjata" baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah baru. Ilmu dan teknologi, semangat inovasi dan daya etos dan etis yang mewujud ke dalam kualitas manusia unggul adalah senjata, bahasa, dan karisma baru kita untuk memenangi masa depan.
Seharusnya kita bisa. Kita mewarisi kebesaran jiwa para pendiri bangsa, yang menorehkan nama Indonesia sebagai pelopor gerakan kemerdekaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebesaran jiwa dan pengikatan kekuatan nasional, kita masih cukup memiliki sumber daya untuk bangkit dari keterpurukan.
Untuk itu, bangsa kita harus keluar dari kekerdilan mentalitas budak —yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut— dengan memberi isi dan arah hidup kebangsaan. Seperti kata Bung Karno dalam Amanat Proklamasi 1956, "Bangsa Indonesia harus mempunyai isi hidup dan arah hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi hidup dan arah hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali. Ia adalah bangsa penggemar emas sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat, tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong melompong di bagian dalamnya."
Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan. KOMPAS, 16 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar