"Zaman edan" adalah deskripsi yang sangat bagus dan pas untuk memotret suasana kehidupan kita dewasa ini. Sulit menemukan kata-kata yang boleh menggantikannya yang mampu mencakup magnitudo, nuansa, dan kualitas zaman edan itu.
Kendatipun kedengaran ndesa dan katrok, tetapi kata-kata yang lebih modern belum tentu mampu menggantikannya, seperti krisis, extra-ordinary, ambruk, demoralisasi, Umwertung aller Werte. Semuanya terasa memiliki kekurangan untuk menangkap sekalian nuansa yang berkelebat di Indonesia dewasa ini. Sebaliknya, melalui kata "zaman edan", tidak ada nuansa yang tidak tergambarkan di situ.
Edan adalah tidak waras, tidak mampu menggunakan nalar yang sehat. Edan menabrak sekalian kaidah kehidupan, menjungkir-balikkannya, bahkan membahaya-kan diri orang yang sudah edan itu sendiri. Edan itu juga serius, karena tidak pura-pura, tidak sedang ngedan (pura-pura jadi edan). Dalam suasana edan itu kehidupan tidak lagi menjadi otentik. Sifat edan yang serius itu sungguh berbahaya, karena merusak dan merugikan kehidupan di sekeliling. Dunia sudah menjadi edan.
Orang sudah menjadi edan karena berani membeli semua yang ada di sekelilingnya. Dibelilah jabatan-jabatan, gubernur, wali kota, DPR, pengadilan, kejaksaan, dan sebutlah apa lagi, bahkan martabat dan hati nurani. Maka langit pun menjadi gelap, susah mencari secercah cahaya. Hubungan dan interaksi antara orang sudah menjadi sangat asimetris, kompas sosiogram sudah menjadi lebih daripada sekadar kacau saja; orang sudah saling bertabrakan (Jw. numbuk bentus).
Teori Cermin
Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Ini sungguh luar biasa bagus. Di tengah dunia yang sudah begitu edan, toh orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.
Para ahli hukum di negeri ini juga tidak dibantai habis sehingga tinggal beberapa gelintir, seperti di Kamboja.
Lalu ada teori yang dinamakan Teori Cermin atau Mirror Thesis. Teori ini agak fatalistik karena mengatakan bahwa hukum itu hanya mencerminkan kembali keadaan masyarakatnya. Sesungguhnya hukum itu tidak dapat berbuat banyak, kalau masyarakatnya memang sedang berantakan. Teori tersebut juga dapat disebut Teori Kosmetik apabila kita melihatnya dari sudut kesia-siaan hukum untuk menolong wajah yang memang sudah sangat rusak. Bagaimanapun tebal bedak ditumpahkan ke wajah, rupa buruk itu tidak akan tertolong.
Kalau diikuti teori tersebut, maka masyarakat yang sudah edan tentulah membutuhkan hukum yang memiliki energi luar biasa karena harus mampu mengatur dan mengendalikan orang-orang yang sudah menjadi edan itu.
Kita mengetahui bahwa kualitas penegakan hukum itu beda-beda, mulai dari yang sangat lembek, lembek, keras, sampai ke luar biasa keras. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi.
Di zaman edan ini penegakan hukum oleh polisi, jaksa, advokat, hakim, memerlukan kualitas yang progresif. Penegakan hukum yang "biasa-biasa" saja pasti tidak akan mempan menghadapi orang-orang yang sudah edan itu. Kita membutuhkan penegakan hukum serta penegak-penegak hukum yang berkualitas beyond the call of duty, yaitu yang bekerja di atas standar biasa, di atas yang rata-rata. Undang-undang itu bicara secara abstrak dan datar-datar saja, tetapi baru di tangan penegak hukum itulah kekuatan hukum itu bisa diuji sampai di mana kemampuannya. Maka, sikap progresif itu sangat diperlukan.
Manusia luar biasa
Kita adalah sebuah negara hukum, tetapi negara hukum itu memiliki kualitas yang berbeda-beda dalam penegakan hukumnya. Kita dapat menjalankan hukum secara biasa-biasa saja, tetapi juga dapat ibarat "mau berangkat perang".
Itulah sebabnya, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), yang dibubarkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2000 itu, mendesak kepada pemerintah agar menyatakan Indonesia dalam "keadaan darurat melawan korupsi".
Kita tidak usahlah berpikir menyediakan peti mati karena untuk menghadapi zaman dan manusia edan ini, masih banyak pilihan yang dapat kita buat. Kita lebih baik berpikir bagaimana mendapatkan jaksa, hakim, advokat, polisi yang juga "edan", artinya menjalankan tugasnya secara beyond the call of duty itu tadi.
Penegak hukum yang dalam pekerjaannya harus menghadapi zaman dan orang edan seyogianya berkualitas "manusia luar biasa" pula (extra-ordinary people). Namun, ini semua memang tidak tercantum dalam undang-undang dan hukum kita juga tidak mensyaratkan kualitas yang demikian itu.
Maka, kita mendapatkan pembelajaran, bahwa pada akhirnya apakah negara hukum ini dapat membahagiakan rakyatnya, tidak bertumpu pada bunyi pasal-pasal undang-undang, melainkan pada perilaku penegak hukum yang luar biasa itu.
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Dimuat KOMPAS, 27 Juni 2007
Kendatipun kedengaran ndesa dan katrok, tetapi kata-kata yang lebih modern belum tentu mampu menggantikannya, seperti krisis, extra-ordinary, ambruk, demoralisasi, Umwertung aller Werte. Semuanya terasa memiliki kekurangan untuk menangkap sekalian nuansa yang berkelebat di Indonesia dewasa ini. Sebaliknya, melalui kata "zaman edan", tidak ada nuansa yang tidak tergambarkan di situ.
Edan adalah tidak waras, tidak mampu menggunakan nalar yang sehat. Edan menabrak sekalian kaidah kehidupan, menjungkir-balikkannya, bahkan membahaya-kan diri orang yang sudah edan itu sendiri. Edan itu juga serius, karena tidak pura-pura, tidak sedang ngedan (pura-pura jadi edan). Dalam suasana edan itu kehidupan tidak lagi menjadi otentik. Sifat edan yang serius itu sungguh berbahaya, karena merusak dan merugikan kehidupan di sekeliling. Dunia sudah menjadi edan.
Orang sudah menjadi edan karena berani membeli semua yang ada di sekelilingnya. Dibelilah jabatan-jabatan, gubernur, wali kota, DPR, pengadilan, kejaksaan, dan sebutlah apa lagi, bahkan martabat dan hati nurani. Maka langit pun menjadi gelap, susah mencari secercah cahaya. Hubungan dan interaksi antara orang sudah menjadi sangat asimetris, kompas sosiogram sudah menjadi lebih daripada sekadar kacau saja; orang sudah saling bertabrakan (Jw. numbuk bentus).
Teori Cermin
Orang Indonesia toh masih percaya kepada hukum. Ini sungguh luar biasa bagus. Di tengah dunia yang sudah begitu edan, toh orang masih memberikan kesempatan kepada hukum untuk menata dan mengatur bangsa dan negara ini. Polisi, jaksa, hakim masih menjalankan tugasnya sehari-hari.
Para ahli hukum di negeri ini juga tidak dibantai habis sehingga tinggal beberapa gelintir, seperti di Kamboja.
Lalu ada teori yang dinamakan Teori Cermin atau Mirror Thesis. Teori ini agak fatalistik karena mengatakan bahwa hukum itu hanya mencerminkan kembali keadaan masyarakatnya. Sesungguhnya hukum itu tidak dapat berbuat banyak, kalau masyarakatnya memang sedang berantakan. Teori tersebut juga dapat disebut Teori Kosmetik apabila kita melihatnya dari sudut kesia-siaan hukum untuk menolong wajah yang memang sudah sangat rusak. Bagaimanapun tebal bedak ditumpahkan ke wajah, rupa buruk itu tidak akan tertolong.
Kalau diikuti teori tersebut, maka masyarakat yang sudah edan tentulah membutuhkan hukum yang memiliki energi luar biasa karena harus mampu mengatur dan mengendalikan orang-orang yang sudah menjadi edan itu.
Kita mengetahui bahwa kualitas penegakan hukum itu beda-beda, mulai dari yang sangat lembek, lembek, keras, sampai ke luar biasa keras. Konon seorang pemimpin China memesan 100 peti mati untuk para koruptor dan salah satunya adalah untuk dirinya, manakala ia melakukan korupsi.
Di zaman edan ini penegakan hukum oleh polisi, jaksa, advokat, hakim, memerlukan kualitas yang progresif. Penegakan hukum yang "biasa-biasa" saja pasti tidak akan mempan menghadapi orang-orang yang sudah edan itu. Kita membutuhkan penegakan hukum serta penegak-penegak hukum yang berkualitas beyond the call of duty, yaitu yang bekerja di atas standar biasa, di atas yang rata-rata. Undang-undang itu bicara secara abstrak dan datar-datar saja, tetapi baru di tangan penegak hukum itulah kekuatan hukum itu bisa diuji sampai di mana kemampuannya. Maka, sikap progresif itu sangat diperlukan.
Manusia luar biasa
Kita adalah sebuah negara hukum, tetapi negara hukum itu memiliki kualitas yang berbeda-beda dalam penegakan hukumnya. Kita dapat menjalankan hukum secara biasa-biasa saja, tetapi juga dapat ibarat "mau berangkat perang".
Itulah sebabnya, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), yang dibubarkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2000 itu, mendesak kepada pemerintah agar menyatakan Indonesia dalam "keadaan darurat melawan korupsi".
Kita tidak usahlah berpikir menyediakan peti mati karena untuk menghadapi zaman dan manusia edan ini, masih banyak pilihan yang dapat kita buat. Kita lebih baik berpikir bagaimana mendapatkan jaksa, hakim, advokat, polisi yang juga "edan", artinya menjalankan tugasnya secara beyond the call of duty itu tadi.
Penegak hukum yang dalam pekerjaannya harus menghadapi zaman dan orang edan seyogianya berkualitas "manusia luar biasa" pula (extra-ordinary people). Namun, ini semua memang tidak tercantum dalam undang-undang dan hukum kita juga tidak mensyaratkan kualitas yang demikian itu.
Maka, kita mendapatkan pembelajaran, bahwa pada akhirnya apakah negara hukum ini dapat membahagiakan rakyatnya, tidak bertumpu pada bunyi pasal-pasal undang-undang, melainkan pada perilaku penegak hukum yang luar biasa itu.
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Dimuat KOMPAS, 27 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar