Begitu fundamentalnya distingsi kawan dan lawan, setiap keputusan dan tindakan politik dapat dirunut darinya. Dia menjelaskan gerak penyatuan atau pemisahan, perubahan atau pembakuan dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan. Struktur dan kontestasi politik dapat berubah dinamis. Namun, yang tak berubah sebagai landasan tatanan politik adalah distingsi antara kawan dan lawan.
Tesis ini datang dari filsuf Jerman Carl Schmitt. Sebuah tesis yang telah membuat Schmitt dituduh sebagai penganjur sistem politik yang antidemokrasi bahkan totaliter. Namun, jika melihat politik secara empiris tanpa pretensi normatif, tampak bahwa distingsi kawan dan lawan itu adalah sesuatu yang nyata. Schmitt bagaikan seorang pelukis realis yang menggambarkan realitas penyelenggaraan kekuasaan secara jujur dan apa adanya.
Mari kita lihat Indonesia hari ini! Bukankah pemilihan umum juga telah membelah bangsa ini dalam segregasi kawan dan lawan? Bukankah yang semakin jamak digunakan dalam membincangkan capres-cawapres adalah bahasa “kami” melawan “mereka” dan bukan bahasa “kita” sebagai bangsa? Hari ini, perbedaan dan pertentangan dipertontonkan sedemikian sengit sehingga seakan-akan tidak ada lagi hal-hal yang menyatukan di antara kita.
Kegaduhan politik saban hari mewarnai ruang publik sehingga masyarakat juga terprovokasi untuk berbicara dalam konteks kawan dan lawan. Siapa yang tak berpihak kepada suatu kubu dengan mudah dihakimi sebagai lawan dari kubu tersebut. Siapa yang bersikap kritis terhadap suatu kubu dapat serta-merta dipetakan sebagai simpatisan dari kubu yang lain. Pada aras media sosial, hal ini terjadi begitu vulgar dan kasar.
Namun, distingsi kawan dan lawan yang telah didedahkan Schmitt sesungguhnya tidak selalu merujuk pada hubungan konfliktual pada tataran politik praktis. Dari sudut pandang yang berbeda, distingsi itu justru merupakan poros dari gerak pembentukan dan pembaruan tatanan. Bahwa prinsip pemisahan dan pembagian merupakan energi penggerak yang mendinamiskan kehidupan politik. Bahwa diferensiasi dan segregasi merupakan titik-tolak untuk mengatasi kemandekan atau kejumudan penyelenggaraan kekuasaan.
Dalam konteks ini, yang dilakukan Schmitt dengan tesis di atas sesungguhnya adalah mengembalikan politik pada fondasinya sehingga politik berjalan sebagaimana mestinya. Dalam kerangka ini, sudah menjadi kelaziman kekuatan oposisi untuk senantiasa mengkritik rezim penguasa. Mengharapkan kekuatan oposisi untuk memuji kinerja pemerintah bukan hanya kesia-siaan, melainkan juga tidak diperlukan. Demikian juga mengharapkan masyarakat sipil terus-menerus membenarkan tindakan pemerintah, maka justru dapat mengarahkan politik pada kemunduran.
Distingsi kawan dan lawan di sini bukan sesuatu yang mengancam demokrasi, melainkan justru sesuatu yang dibutuhkan untuk merawat demokrasi itu sendiri. Lupa terhadap distingsi kawan dan lawan, dalam kacamata schmittian, justru dapat menjerumuskan kita dalam pintu absolutisme kekuasaan, yakni suatu jenis kekuasaan yang menafikan rivalitas, kritisisme dan dialektika, bahkan menganggapnya sebagai residu yang mesti disirnakan.
Di sisi lain, Schmitt juga mengarahkan politik pada absolutisme yang lain ketika mendedahkan distingsi kawan dan lawan dalam kerangka keadaan-darurat. Mengapa demikian? Karena deklarasi keadaan-darurat adalah deklarasi penangguhan prinsip dan tatanan demokrasi. Dalam keadaan-darurat, hukum, norma, dan etika dianggap tidak memadai lagi sebagai sandaran untuk menjalankan kehidupan bersama. Maka, semua pihak kemudian terdorong dan didorong untuk bertindak dengan pengandaian keadaan vakum: tanpa aturan, batasan, dan panduan yang membatasi kebebasan untuk berbuat semena-mena kepada orang lain.
Semua pihak kemudian kembali pada naluri purbawi masing-masing ketika berhadapan dengan mereka yang berbeda posisi atau keyakinan. Perbedaan pendapat dihadapi dengan sikap bermusuhan, kritik dilontarkan dengan maksud untuk menjatuhkan. Kebohongan dan sikap sewenang-wenang juga tak lagi dijauhi sebagai aib yang memalukan, bahkan sering kali justru tanpa ragu diperagakan sebagai cara mempertahankan diri.
Giorgio Agamben dalam buku State of Exception (2005) mengingatkan bahaya logika keadaan-darurat bagi negara demokrasi. Logika keadaan-darurat dapat menggiring pihak-pihak untuk menangguhkan penghormatan terhadap nilai-nilai yang telah disepakati bersama. “Abaikan dan lupakan hukum, norma dan etika, tiba saatnya untuk kembali pada kebebasan eksistensial masing-masing.” Lebih kurang demikian cara berpikir mereka yang terasuki logika keadaan-darurat.
Logika keadaan-darurat itu rupanya juga sedang merasuki bangsa ini menjelang Pemilu 2019. Elite politik begitu mudah mengumbar prasangka dan kebencian. Kebohongan dihadapi dengan kebohongan. Apriori dibalas dengan apriori yang lebih buruk. Juru kampanye seperti tidak berpikir tentang dampak dari sikap tak jujur, acuh-tak-acuh, hipokrit, atau rasis yang mereka pertontonkan di ruang media setiap hari. Mereka tidak peduli bahwa yang sedang mereka sebarkan ke masyarakat adalah sikap permusuhan terhadap bangsa sendiri.
Ini semua terjadi karena mereka sedang membayangkan keadaan-darurat. Entah darurat sekularisme atau darurat radikalisme, entah darurat identitas primordial atau darurat identitas nasional, semuanya dijadikan pembenar atas sikap-sikap yang menyimpang dari normalitas hukum dan etika. Kepada masyarakat dipropagandakan bahwa keadaan memang sedang benar-benar terancam.
Tak cukup jelas apakah kedaruratan memang sedang terjadi atau tidak. Seperti dikatakan Agamben, kedaruratan dalam sejarahnya sering kali hanya dibuat kedok. Kedok untuk merebut kekuasaan atau untuk mempertahankannya. Kedok memperjuangkan kepentingan “umat” atau untuk memperjuangkan kepentingan sendiri dengan memanipulasi kepentingan “umat”.
Yang selalu terlambat diantisipasi adalah dampak terhadap kehidupan bersama. Masyarakat jadi begitu mudah saling menyalahkan, mencemooh, dan menelanjangi tanpa respek satu sama lain. Tak segan-segan para cerdik-pandai mempertontonkan sikap tidak bertanggung jawab dan bahkan kekanak-kanakan. Hal ini terus-menerus terjadi di ruang publik sehingga lama-kelamaan masyarakat kehilangan referensi untuk membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak, mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak, mana yang layak dan mana yang tidak, mana yang dibenarkan secara hukum dan mana yang dilarang.
Apa artinya demokrasi jika kebebasan diwujudkan dengan pamer kebohongan, kesewenang-wenangan, dan sikap acuh tak acuh di ruang publik? Apa artinya demokrasi jika hukum tidak mampu menjamin ruang publik yang membuat nyaman bagi semua pihak untuk bertukar pendapat secara beradab? Apa artinya berdemokrasi jika pemerintah sering menghadapi realitas perbedaan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kritik publik dengan tindakan-tindakan ekstra yudisial dengan alasan keadaan darurat?
Benar apa yang pernah diutarakan Agamben, demokrasi pada gilirannya adalah seni untuk menetralisasi tendensi menyatakan keadaan-darurat. Baik sang penguasa maupun sang penantang, baik yang kiri maupun yang kanan, semuanya sama-sama punya kecenderungan untuk bermain-main dengan logika keadaan-darurat. Karena dalam keadaan itulah, mereka dapat membenarkan (lebih tepatnya melakukan pembenaran) atas ketidakmampuan diri untuk bertindak dalam koridor hukum, norma, dan etika bersama. Karena dalam keadaan itulah, mereka dapat mendorong masyarakat untuk menenggang, bahkan mencontoh perilaku-perilaku yang menyimpang.
Agus Sudibyo,
Head of New Media Research Center ATVI Jakarta
KOMPAS, 26 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar