Teman-teman HTI berusaha keras meyakinkan saya dan istri saya tentang peran penting khilafah. Saya dan istri saya sudah sejak lama percaya khilafah, tapi dengan pemahaman yang berbeda dari versi HTI. Bagi saya, khilafah baru yang disebut Imam Mahdi hanya bisa hadir di atas reruntuhan Kerajaan Arab Saudi. Sebagian pemahaman saya itu telah saya tulis dalam sebuah artikel di Jawa Pos serta dalam beberapa portal berita.
Bagi saya, dunia saat ini berada di bawah khilafah yang zalim, yang sewenang-wenang atas kebanyakan umat manusia. Pancasila tidak mungkin hidup subur dalam ekosistem tata dunia semacam itu. Itulah yang menjelaskan mengapa Pancasila telah dipaksakan secara semu saat Orde Baru dan hampir saja dibuang ketika reformasi. Seperti peringatan Bung Karno, saat ini praktis kita sudah mengalami penjajahan baru. Penjajahan remote controlled melalui sistem ekonomi dan keuangan global ribawi. Oleh Bung Karno, itu disebut nekolim.
Sebagai dosen PNS saya sudah lama tidak memosisikan diri sebagai pegawai, tapi sebagai profesional. Sebagai profesor saya juga diberi tunjangan kehormatan. Saya tidak tahu persis alasan mengapa profesor berhak atas tunjangan kehormatan itu. Saya juga pernah menjadi ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya. Saat ini saya duduk sebagai anggota Majelis Kehormatan Etik PII pusat. Setahu saya, para profesional bukan bekerja bagi siapa yang membayarnya. Dia melayani publik untuk kebajikan publik. Tadi malam oleh manajemen puncak ITS saya telah diposisikan sebagai pegawai.
Prof Daniel M Rosyid (memakai syal), bersama para koleganya.
Saya sudah lama berkeyakinan bahwa universitas adalah lembaga yang istimewa karena berhak memberikan gelar sarjana, bahkan doktor. Lembaga lain tidak punya hak semacam itu. Gelar itu disebutkan dalam ijazah. Ijazah ini kosakata Arab yang memiliki akar kata yang sama dengan kata mukjizat.*(Lihat koreksi saya di bawah tulisan ini) Setiap sarjana yang kami didik di ITS diharapkan dapat membuat banyak mukjizat bagi masyarakatnya. Mukjizat itu perkara istimewa bagi yang tidak berilmu, tetapi perkara biasa bagi sarjana.
Tadi malam, saat sebagai profesional diminta mencabut komentar yang viral itu, saya menolak karena saya tidak mampu untuk tidak konsisten dengan hati nurani yang telah saya tuliskan dalam beberapa media. Saya segera ingat, suatu ketika (1983), sebagai ketua Mushala ITS, saya diminta menarik buletin Mushala ITS oleh pimpinan ITS saat itu. Saya menolak permintaan tersebut karena buletin itu sudah telanjur beredar bagi pengunjung pada saat pameran buku dan busana muslim di sekitar Perpustakaan ITS. Dalam buletin tersebut ada foto “Masjid ITS” yang telantar pembangunannya. Juga foto seorang mahasiswi berjilbab serta wawancara wartawan buletin mushala dengan seorang mantan ketua Dewan Mahasiswa ITS.
Di ruang tamu rumah kami di Semarang terpampang sebuah lukisan cat minyak Abraham Lincoln. Ayah saya itu –seorang Masyumian– adalah pengagum berat Abraham Lincoln, seorang Yahudi. Keduanya (Bung Karno dan Lincoln) adalah sarjana hukum. Anehnya, ayah saya berpesan, “Kelak jadilah dokter atau tentara. Jangan kuliah di fakultas hukum bengkok.”
Prof. Ir. Daniel M. Rosyid Ph.D, M.RINA
Guru Besar Teknologi Kelautan ITS
Jawa Pos, 9 Mei 2018
*(Koreksi dari saya, pemilik Blog ini)
Ijazah dan mukjizat memang berasal dari kosakata bahasa Arab, tapi dua kata itu tidak memiliki akar kata yang sama.
Kata mu’jizat (معجزة), berasal dari akar kata ‘a-j-z (عجز), yang memiliki makna: tidak mampu, tidak dapat, tidak kuasa; lemah; dan menjadi tua. Jadi, kata mu’jizat (معجزة) merupakan bentuk turunan dari a’jaza (أعجز) yang berarti ‘melemahkan’.
Sedangkan kata ijazah (إجازة), berasal dari akar kata j-w-z (جوز), yang memiliki makna: melalui, melewati; lulus (ujian); telah terlaksana, telah berlangsung; boleh, diperkenankan. Dan kata ijāzah (إجازة) merupakan bentuk turunan dari ajāza (أجاز) yang berarti surat izin, surat keterangan atau syahadah.
Wallahu a'lamu ....