Tampaknya terjadi pergeseran sikap masyarakat terhadap batu akik. Dulu batu akik sering diasosiasikan dengan pandangan mistis. Batu akik mengandung kekuatan gaib, misalnya saja kesaktian atau pengasihan. Orang berburu batu akik yang bisa mendatangkan aura agar orang lain terpikat atau takluk pada pemakainya. Makanya batu akik dikategorikan sebagai jimat.
Sampai sekarang pun masih banyak orang memitoskan batu akik khususnya jenis batu yang dianggap memiliki khasiat mendatangkan keberuntungan. Meski begitu yang saat ini mengemuka dan heboh di masyarakat cenderung sekadar mode.
Artinya batu akik sebagai perhiasan dan koleksi. Harganya pun berkisar mulai puluhan ribu, ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Beberapa daerah asal yang batu akiknya diperebutkan misalnya saja dari Ambon, Garut, Aceh, Bengkulu, dan Kalimantan.
Kita tidak tahu sampai kapan batu akik naik daun dan meramaikan pasar. Semoga saja berlangsung terus. Kalau saja kalangan selebritas ikut mempromosikan dengan mengenakan cincin berbatu akik secara berganti-ganti, pasti rakyat akan ikut-ikutan.
Adanya batu akik yang bisa menyembuhkan penyakit, secara rasional, mudah dijelaskan. Mungkin sekali ada bebatuan yang mengandung zat kimia tertentu dan punya daya medis yang menyembuhkan bagi pemakainya. Kebetulan saja cocok dengan penyakit yang diderita. Jadi itu semata interaksi alami, tak ada faktor magisnya. Berbagai obat itu pun asalnya dari bumi. Bebatuan itu juga dari bumi. Sangat mungkin terdapat jenis bebatuan yang mengandung obat melalui sentuhan kulit manusia. Atau mengeluarkan energi penyembuh ketika memperoleh cahaya matahari.
Yang pasti sekarang bermunculan perajin dan pedagang batu akik karbitan sekalipun dalam batas skala ekonomi kecil. Meski begitu denyutnya telah meramaikan wacana dalam komunitas pencinta batu akik berkat dukungan media massa.
Orang bilang, kita kembali ke zaman batu, tapi tidak sembarang batu karena batu akik yang heboh sekarang ini telah mendapat sentuhan seni dan teknologi modern. Namun ada juga suara lain, mencuatnya batu akik ini merupakan sindiran alam bahwa hati kita telah membatu. Tak lagi memiliki getaran kepekaan terhadap berbagai penyimpangan dan kerusakan moral yang terjadi di sekeliling kita.
Komaruddin Hidayat,
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 29 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar