Bahkan, dia melanjutkan “... ada hadits yang mengatakan bahwa kita dilarang memasang gambar, foto, atau patung manusia di rumah kita, karena malaikat tidak mau masuk ke rumah-rumah yang ada gambar atau foto seperti itu.” Waduuh ..., kalau dia benar, maka selama ini nggak ada malaikat yang mampir ke rumah saya dong. Karena rumah saya itu penuh dengan foto keluarga, anak-cucu, bahkan ada foto-foto kakek-eyang dan nenek-moyang yang sudah almarhum. Belum lagi foto-foto narsis di berbagai objek turis yang pernah saya dan istri saya kunjungi.
Barangkali memang tidak ada malaikat yang masuk ke rumah saya, tetapi tamu-tamu yang pernah masuk rumah saya, selalu tertarik kepada foto-foto itu dan kami yang tuan rumah pun selalu siap jadi tour guide, menceritakan kisah setiap foto, dan sering kali nyambung ke si tamu ... eeehhh... nggak tahunya masih saudara, atau .... dulu sekolahnya sama, ya... atau kamu kenal si itu, nggak? Dunia memang kecil, ya? Dan lain-lain.
Pokoknya tali silaturahmi tersambung. Dan setahu saya, silaturahmi juga sangat dianjurkan dalam Islam.
Foto masa lalu adalah dokumen sejarah yang amat penting.
Tetapi memang benar. Nabi Ibrahim pernah menghancurkan berhala-berhala yang disembah Raja Namrud dan rakyatnya. Ketika itu, beliau bertujuan untuk mendidik raja dan pengikutnya bahwa tidak ada gunanya menyembah patung yang tidak bisa bicara itu, karena penguasa alam semesta ini adalah Allah SWT.
Terbukti, ketika Namrud menyuruh membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup, atas perkenan Allah SWT, api itu tidak mampu membakarnya, bahkan Nabi Ibrahim keenakan, karena merasa sejuk seperti di ruang ber-AC dengan temperatur 230 C (bagian yang terakhir ini karangan saya sendiri, jangan dianggap serius). Begitu juga dalam 10 perintah Tuhan yang dibawa oleh Nabi Musa, salah satu perintah-Nya adalah dilarang menduakan Tuhan, termasuk dilarang untuk menyembah berhala.
Karena itulah ketika pasukan ISIS menduduki Kota Mosul di Irak beberapa waktu yang lalu, mereka langsung menghancurkan patung-patung bersejarah yang sudah berusia 2.500 tahun dengan maksud agar patung itu tidak dijadikan sesembahan manusia. Karena itu pula mahasiswa saya tidak mau difoto, walaupun sudah saya ingatkan bahwa kelak anak-cucumu tidak bisa melihat bagaimana wajahmu ketika masih muda dan mungkin sampai tua juga, kalau seumur hidup tetap nggak mau difoto. Dan karena itu pula, beberapa tahun yang lalu sekelompok penganut radikal pernah menghancurkan patung-patung wayang di Kota Purwakarta ––yang sekarang sudah dibangun kembali oleh Bupati Dedi Mulyadi.
Saya pernah ke Nepal. Jauuh... sebelum gempa. Bersama serombongan peneliti Indonesia yang terdiri atas ilmuwan dari berbagai disiplin. Di dalam rombongan, ada seorang dokter asal Bali, namanya Dokter Muninjaya. Ketika kami berkeliling Kota Kathmandu dan menemukan sebuah kuil di tepi sebuah sungai ––di setiap dan sepanjang hari orang bersuci di sungai itu–– Dokter Muninjaya ingin masuk dan berdoa di dalam kuil. Kami yang lain pun siap mengikuti, tetapi ditolak oleh penjaga kuil. Dokter Muninjaya lolos karena di KTP-nya ada tertulis, agama: Hindu ––jadi sama dengan kota-kota haram dalam Islam, yaitu Mekkah dan Madinah, di mana setiap orang yang nonmuslim haram atau dilarang untuk masuk.
Tetapi dia hanya sebentar saja di dalam kuil, tak lama kemudian dia sudah keluar lagi. Lantas kami tanya, mengapa kok cepat amat? Jawabnya, “Dewa-dewanya tak ada yang saya kenal”. Tentu saja kami semua tertawa, tetapi dari situ saya belajar bahwa manusia tidak bisa begitu saja menjadikan sesuatu sebagai sembahannya. Semua objek yang akan disembah harus punya ikatan batin dengan si penyembah. Dokter Muninjaya pun demikian, dia tidak bisa bersembahyang di depan dewa-dewi yang nampak asing buat dia. Padahal di Bali, nama dewa-dewinya juga sama, tetapi wajah dan penampilannya sudah sangat dia kenal sejak kecil. Jadi tidak asing.
Itulah pula yang menyebabkan patung Buddha versi Muangthai yang berwajah oval berbeda dari patung Buddha versi Borobudur yang berwajah bulat. Masing-masing Buddha mencerminkan raut wajah umat setempat. Namun, ada pula aliran Buddha Nichiren, yang di dalam kuilnya sama sekali tidak menampilkan patung Buddha. Tempat yang biasanya terdapat patung Buddha Gautama, hanya ada tulisan tentang beberapa ajarannya.
Di sisi lain, orang Jawa sampai hari ini masih banyak yang menyembah pohon, batu, air terjun, atau gunung. Kata sebagian ilmuwan, itu cara-cara yang paling primitif dari manusia dalam ekspresi beragama. Tetapi tunggu dulu. Seandainya tulisan Allah dan kaligrafi ayat suci Al-Quran di dinding masjid hilang dicuri orang, bagaimana kira-kira reaksi umat yang biasa shalat di situ? Pasti marahlah!
Maka bila kemudian dicari siapa pelakunya dan kebetulan ketemu. Ternyata seorang yang gila, dan dia sedang santai duduk nongkrong di situ. Dan pigura bertuliskan Allah yang hilang itu dijadikannya alas duduk. Bagaimana reaksi orang? Pasti ngamuklah! Bisa jadi orang gila itu babak belur bahkan bisa tewas dikeroyok massa yang marah.
Padahal kalau benar bahwa kita tak hendak menduakan Allah, kenapa kita harus marah kepada orang ––yang gila pula–– yang hanya duduk di atas kertas yang bertuliskan huruf Arab? Dengan marah itu, bukankah kita telah menduakan Tuhan, namanya?
Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 31 Mei 2015