Candi Borobudur yang menyembul di hamparan lembah pada suatu pagi berselimut kabut.
Mohon maaf tulisan ini sangat panjang, meskipun aslinya atau seharusnya jauh lebih panjang lagi. Saya coba telusuri interval atau jarak dan hubungan nilai di antara Borobudur – Pusaka – Kebudayaan – Pariwisata – Bangsa – Manusia – Negara.
Saya gembira menuliskannya oleh tiga sebab. Pertama, karena kebanggaan kepada Pusaka Borobudur hasil karya Bangsa Nusantara yang mustahil ditandingi oleh bangsa-bangsa lainnya di muka bumi, bahkan yang dilakukan oleh bangsa yang sekarang atas Borobudur adalah di seputar memanfaatkannya untuk tambahan devisa dan mencari nafkah penghidupan.
Kedua, apresiasi dan empati saya kepada para pengelolanya. Saya terkejut oleh keterbukaan mereka, oleh kesungguhan kreatif mereka dalam mengelola Borobudur, juga oleh kerendah-hatian yang dewasa untuk terus menerus belajar, tidak sebagaimana umumnya rekan-rekannya sebangsa pada posisi yang semacamnya.
Dan ketiga, ini mungkin peluang terakhir bagi saya untuk mungkin sedikit bisa berguna. Karena sesudah hari ini, 22 Agustus 2014, besar kemungkinan tidak ada lagi yang saya bisa persembahkan kepada beliau-beliau. Kabarnya di Jakarta ada matahari baru yang terbit. Matahari yang bukan matahari biasanya, namun yang lama diidam-idamkan oleh bangsa yang sudah terlalu lama hidup dalam kegelapan, sehingga diturunkan oleh Tuhan langsung dari langit, bagaikan cahaya Nabi di jaman dahulu. Maka segala sesuatu bagi bangsa ini akan tersedia jauh lebih baik dan melimpah terbitnya matahari itu. Saya sangat lega dan mulai sore nanti saya memasuki hari-hari merdeka yang sangat luang untuk keluarga dan masyarakat saya sendiri.
Meskipun demikian saya pastikan tidak ada yang istimewa dari yang coba saya tuliskan ini, tetapi mudah-mudahan ada yang bisa menjadi ‘file’ manfaat bagi yang bersangkutan dan siapa saja yang membacanya.
Namun apabila ada uraian dalam tulisan ‘Pusaka Satria’ (di Seminar “200 Tahun Ditemukannya Borobudur”) ini terdapat hal-hal yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan siapapun yang membacanya atau mendengarnya, saya nyatakan bahwa semua itu saya ungkapkan tanpa menyalahkan siapapun saja kecuali diri saya sendiri.
Mohon juga mafhum andaikan ternyata saya tidak diberi Tuhan kemampuan untuk mampu menjelaskan apa yang sesungguhnya saya maksudkan. Tulisan ini tetap saya bikin, karena pasti di forum ini saya berhadapan dengan sekumpulan pakar dan penggiat yang cerdas, yang lantip dan waskito, sehingga mampu memegang sesuatu dalam pikiran saya yang tulisan ini sendiri tidak mampu mengemukakannya.
Gerbang di kompleks Candi Boko, Prambanan.
2. Ora Usum
“Menciptakan Dan Meningkatkan Peran Budaya & Seni Dalam Kemajuan Industri Pariwisata”, demikian judul dan lingkup tema yang diamanatkan kepada saya untuk menguraikannya.
Tema ini aslinya sangat menyedihkan saya. Tetapi, sekali lagi, saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Itu kesedihan saya sendiri. Bersumber mungkin dari ‘anomali’ berpikir saya sendiri di tengah arus-utama berpikir Pemerintah bangsa ini dan mungkin kebanyakan rakyat juga. Bisa juga karena saya ‘over-sensitif’ terhadap huruf, kata, kalimat, rangkaian pemikiran, apalagi terhadap landasan filosofi berpikir, Akar Ilmu, Ibu Pengetahuan, cara pandang, sudut pandang, sisi pandang, jarak pandang, serta dinamika pandang.
Struktur otak saya, cara kerja akal saya, juga keseluruhan hidup saya ini tergolong “ora usum”. Sedangkan bagi semua manusia di muka bumi ini “hidup adalah musim”.
Maka yang paling utama saya kemukakan di sini bukan agar Anda memahami atau apalagi menerima pikiran saya, melainkan saya berterima kasih telah diberi peluang untuk mengemukakan pikiran saya. Tetapi untuk itu saya memohon maaf kepada semuanya karena Anda terpaksa mendengarkan pikiran-pikiran yang “ora usum”, tidak populer, tidak marketable, tidak menawarkan keuntungan apa-apa bagi siapapun, serta tidak berguna bagi Negara, Bangsa, dan Agama.
Candi Prambanan pada suatu senja yang temaram.
3. Gudel ngroso Kebo
“Menciptakan Dan Meningkatkan Peran Budaya & Seni Dalam Kemajuan Industri Pariwisata” ini pada view saya tergambar sebagai “gudel nyusu kebo, nanging gudele ngroso kebo, lan nganggep kebone kuwi gudel”.
Kebo kebudayaan dan kesenian, disuruh meningkatkan perannya oleh gudel industri pariwisata. Industri Pariwisata berani menyuruh karena dia merasa dirinya adalah kebo, dan kebudayaan juga manut saja dianggap dan diperlakukan sebagai gudel —sampai akhirnya dalam regulasi policy kepemerintahan bangsa ini, kebudayaan benar-benar percaya bahwa ia adalah gudel.
Gudel menjadi gemedhe karena merasa dirinya kebo, dan kebo semakin terancam untuk menjadi benar-benar kerdil karena tidak pernah waspada dan menolak diperlakukan sebagai gudel.
Andaikan ada yang ‘iseng’ memakai metafora ini sebagai landasan berpikir, atau menjadi salah satu rujukan untuk memahami sangkan-paran pengelolaan pariwisata dalam kaitannya dengan kebudayan, siapa tahu mungkin akan terlihat sejumlah gejala atau mungkin fakta tentang dismanajemen yang berlangsung, karena sejak awal mungkin terjadi disidentifikasi, dislokasi dan disorientasi terhadap landasan dari setiap perangkat kebudayaan dan pariwisata.
Kerancuan kebo-gudel ini berlangsung tidak hanya di dunia pariwisata, tapi hampir menyeluruh.
Maaf seribu maaf setiap Pemerintah yang diupah untuk mengurusi bangsa ini belum pernah ada yang punya kesadaran bahwa mereka hanya gudel yang merupakan anaknya kebo rakyat. Setiap Presiden bangsa ini tidak menyadari patrap-nya sebagai gudel, meskipun tidak selalu berarti ia besar kepala sebagai ‘kebo’. Setiap tokoh sangat ingin menjadi Presiden bangsa ini dan kehilangan malu untuk memamer-mamerkan kebaikannya, karena mereka pikir Presiden adalah ndas-ndasane kebo. Padahal Presiden itu tenaga-kerja yang dibayar rakyat untuk mengepalai kumpulan tenaga-tenaga kerja lainnya yang digaji oleh kebo dan bekerja demi kesejahteraan kebo.
Belum pernah ada Presiden, Menteri atau pejabat pengurus kehidupan bangsa ini yang perilakunya menunjukkan bahwa ia buruh, bukan majikan. Dulu Raja-raja adalah majikan, karena merekalah yang memiliki tanah dan seluruh asset wilayah kekuasaanya. Tapi sejak dipakai konsep Republik dan Demokrasi, para pejabat di atas sungguh-sungguh adalah PRT rakyat. Sebab seluruh tanah dan air dan segala isinya ini milik rakyat.
Sawah, lembah, sekawanan kerbau dan anak-anak petani.
Kerancuan berpikir tentang kebo-gudel ini tercermin pada semua sisi ketata-negaraan, birokrasi, pasal-pasal hukum dan aturan-aturan. Belum pernah ada Presiden atau Menteri yang perilakunya mencerminkan bahwa ia mengerti beda antara Negara dengan Pemerintah, sehingga seluruh aplikasi governance-nya juga jungkir-walik dan pating gedabyah. Kepala Negara disamakan dengan Kepala Pemerintahan, Ketua Lembaga Negara dilantik oleh Kepala Pemerintahan. Uang Keluarga langsung masuk ke Kas Rumah-tangga, karena tidak mengerti beda antara Keluarga dengan Rumah-tangga. Maka dari Istana Negara sampai Kelurahan hingga gubuk-gubuk rakyat juga tidak ada organisasi dan organisme yang tidak pethal-pethal, mur-nya tidak kompak dengan baut, setir mengarah ke kanan, roda kiri ke depan terus, roda kanan belakang mandeg, sementara businya masuk penjara dan bensinnya pindah ke kendaraan lain tanpa juntrungan yang jelas.
Aslinya sudah tidak ada denotasi atau padatan parameter pada setiap kata yang populer sehari-hari: Nasionalisme, Negara Kesatuan, Keutuhan Bangsa dan Negara, Pileg, Pemilukada, Pilpres, Parpol, Ormas, pembangunan, standar ekonomi, persatuan dan kesatuan, atau apapun saja, karena sudah berposisi ‘najis mugholladhoh’ secara akal.
Pasti Seminar ini bukan forum yang tepat dan cukup untuk membicarakan dan memperdebatkan itu. Tetapi saya memakainya sebagai rujukan makro, karena saya menemukan nuansa dan spirit bahwa para penggiat industri pariwisata, minimal di Borobudur Nusantara ini, memiliki iktikad maksimal untuk melakukan reproporsionalisasi kebo-gudel-nya, serta menemukan akurasi kinerja dan ketepatan pasarnya.
Para penggiat pariwisata tidak bisa menunggu “revolusi nasional” untuk lebih bangkit kinerjanya, life must go on. Sekarang juga beliau-beliau harus mengkreatifi, mencerdasi, mengarifi kinerjanya dalam prinsip otonomi-relatif, teguh namun tetap dengan keluwesan di tengah ‘syubhat’ sistem dan tatanan bernegara.
Dan terus terang, puji Tuhan, Alhamdulillah, khususnya pada pengelolaan Borobudur ini, saya bersyukur menemukan bahwa para penggiatnya sesungguhnya sudah secara naluriah menyadari “kekhilafan nasional kebo-gudel” itu dan sudah berlaku sebagai gudel yang dinamis, sangat membuka diri, serta punya kerendahan hati untuk belajar.
Sepasang boneka pengantin "Loro-Blonyo", simbol keharmonisan hidup orang Jawa.
4. Buntut Sapi dan Hidung Mancung
Di seantero permukaan bumi ini tidak ada wilayah yang kekayaan kebudayaannya menyamai, apalagi melampaui, kepulauan yang sementara ini ditata sebagai Negara Kesatuan. Akan tetapi industri pariwisata bangsa ini jauh kalah berkilau dibanding misalnya Malaysia yang relatif tidak punya apa-apa. Malaysia hanya salah satu ‘provinsi kebudayaan’ Nusantara, apalagi Singapura adalah sebuah kecamatan ‘rancu budaya’ di tengah sorga Nusantara.
Diperlukan 100 disertasi tebal para doktor dan 500 seminar untuk memaparkan kekayaan Kebudayaan Nusantara. Tetapi ada satu aksentuasi substansial yang dari wacana di atas bisa saya ambil: Negara Kesatuan ini menjadi wilayah ‘inferior’ di tengah peta dunia, dalam hal politik, kebudayaan dan pariwisata.
Dalam konteks saya, hal itu saya tuliskan, antara lain disebabkan karena kebo-nya di-gudel-kan. Lebih kontra-produktif lagi karena gudel-nya meyakini bahwa dirinya adalah kebo.
Andaikan pandangan dan filosofi dasar kebo-gudel ini thok saja bisa kita jadikan ‘file’ bersama untuk direnungi pada sejumlah rentang waktu, siapa tahu bisa menjadi benih yang menyemaikan pepohonan karya yang berhamparan buah-buahnya di masa depan.
Oleh gudel industri pariwisata Negara Kesatuan, kebo kebudayaan Nusantara di-pletheth-plethet, diodot-odot, dicuil-cuil, diteknokrasi menjadi sobekan-sobekan, agar ‘manak duwit’, padahal tidak ada gudel yang manak.
Atau industri pariwisata berlaku seperti warung sop buntut: dari keseluruhan badan sapi hanya diambil buntutnya saja. Padahal buntut itu laku kalau ia adalah buntut sapi.
Maka yang primer harus dipelihara oleh warung sop buntut, terutama apalagi oleh ‘Pemerintahan Pariwisata’: adalah kehidupan sapi. Sebab, pertama, tidak mungkin beternak buntut. Kedua, kalau sapi yang diprimerkan, buntutnya otomatis akan menjadi ‘anak ekonomi’ yang produktif.
Aneka ragam keris pusaka yang biasanya berupa sepasang "curiga" dan "warangka".
Kata orang-orang tua, kalau berdagang jangan sibuk cari uang. Konsentrasilah menjadi manusia pedagang yang bisa dipercaya oleh para rekanan dan konsumen. Yang bikin mereka merasa aman dan nyaman bekerjasama denganmu. Yang membuat setiap orang bersyukur ada engkau. Yang membuat semua orang percaya dan bergembira membeli sesuatu dari atau berurusan apa saja dengan engkau. Yang melayani semua partner dan konsumen tidak dengan konsep untuk mengeruk dan menguras duit mereka –melainkan untuk supaya mereka merasa engkau hormati sebagai sesama manusia– sehingga merekapun murah hati kepadamu.
Kalau engkau nguwongke (bukan nduwitke) mereka, maka dengan sendirinya pada diri mereka tumbuh kelapangan batin, sehingga tidak terlalu menghitung-hitung pengeluarannya –kecuali beberapa manusia jenis hewan rakus. Bahkan Tuhanpun pakai logika “kalau engkau menghitung-hitung kemurahan-Ku, maka Aku pun akan menghitung-hitung dosamu”.
Itulah yang disebut “uang mengejar kita”. Sebab kalau “kita mengejar-ngejar uang”, menjadi rendahlah martabat kemakhlukan kita. Dalam jangka panjang hati setiap orang akan menggerundal dan pelit kepada kita –sehingga hanya sedikit duit juga yang sudi mampir di kantong kita. Tentu saja ini tidak berlaku kalau patrap kita adalah meniati berdagang sebagai penipuan, kelicikan, keculasan yang tampil halus, pencurian yang tersembunyi dan keserakahan yang penuh sopan santun.
Maka wahai Borobudur, Prambanan, Bali, Yogya dan semua, tampillah tidak sebagai penggalan barang jualan, tapi sebagai bagian dari Kepribadian Kebudayaan Nusantara. Semancung-mancung hidung, seindah-indah bola mata, semanis-manis bibir, tak akan ditemukan orang, indahnya, mancungnya, dan manisnya kalau tidak menyatu dalam keutuhan wajah.
Topi perang, baju perang, senjata perang hasil karya Budaya Nusantara.
5. Pusaka Nusantara
Minimal untuk teman-teman Borobudur, secara khusus saya menyampaikan semacam ‘bonus perhatian’, yakni berupa permohonan agar sahabat-sahabat Borobudur itu tidak hanya mendasari pengelolaan pariwisata Borobudur dengan kesadaran kebudayaan dengan keutuhan dan kemenyeluruhannya, tetapi juga memahami Borobudur sebagai Pusaka.
Kita mulai sedikit membuka pintu ruang remang-remang yang berisi Pusaka-pusaka Nusantara, yakni Pusaka-pusaka Para Satria. Borobudur adalah salah satu Pusaka Utama Nusantara, yang membuat dunia menyadari bahwa Bangsa yang mampu membangun Pusaka Utama sedahsyat itu adalah Bangsa Satria.
Bangsa yang hilang Satria dari kepribadiannya, jangankan menjaga miliknya, menjaga dirinya sendiri pun semakin tak bisa: sehingga kemungkinannya tinggal menyerah kepada Sekutu Penjajah yang merupakan ‘lelaki’ pelacur dunia yang mem-Polisi-i dunia dengan wajah Malaikat —asal pemuka-pemukanya bisa makan enak, sehingga nyaman dipekerjakan untuk memelihara ketidaktahuan rakyatnya bahwa mereka sesungguhnya sedang dijajah.
Pusaka adalah suatu benda, peristiwa atau nilai-nilai, yang sudah menyatu dengan atau menjadi bagian sakral dari jiwa kehidupan manusia, karena keterikatan sejarahnya atau karena fungsi dan makna kualitatifnya. Ia berposisi sangat mendalam, bermakna sangat meluas, bersifat abadi dan tidak boleh tidak ada.
Demikian pulalah salah satu sisi makna Borobudur. Ia adalah salah satu Pusaka utama Bangsa Nusantara, berdampingan dengan sejumlah Pusaka lain yang juga sama pentingnya.
Jiwa tanpa pusaka, adalah kematian dalam kehidupan. Pusaka bisa ‘rupadatu’ bisa juga ‘arupadatu’. Bisa kasat mata, bisa tidak kasat mata. Bisa dipandang dengan mata jasad, atau hanya bisa direnungi dengan mata jiwa.
Kita semua mengetahui yang ‘rupadatu’ pasti menyimpan dimensi ‘arupadatu’, sementara yang ‘arupadatu’ bisa tidak mewujud pada ‘rupadatu’ apapun.
Kalau diparalelkan dengan peta pengetahuan Agama Islam umpamanya, tidak ada Syariat yang hidup tanpa Hakekat, tetapi bisa saja ada Hakekat yang tanpa Syariat. Jika orang menjalani Agama tanpa manajemen pemahaman yang dewasa terhadap kedua dimensi tersebut, maka akan terjadi kekacauan individu dan kekisruhan sosial sampai ke level hancurnya sebuah Negara bahkan Perang Dunia.
Borobudur bisa saja laku, tapi sangat murah, kalau yang disosialisasikan hanya ‘syariat’nya. Borobudur akan meluas ‘pasar’nya (wilayah apresiasi atasnya) kalau penduduk Bumi engkau kabari tentang dimensi-dimensi ‘hakekat’nya. Dan jalan untuk itu adalah meletakkan Borobudur sebagai bagian yang utuh dari sejarah Kebudayaan dan Peradaban Nusantara, tidak sekedar menawarkan ‘close up jasad’ Borobudur plus sejarah ‘teknis’nya belaka.
Lukisan Candi Borobudur karya Maestro Pelukis Indonesia, Affandi.
6. Pusaka Satria
Sejak abad 16-17 Masehi, mulai merapuh watak Satria di Bumi Nusantara, yakni sejak persentuhan dengan para perompak Portugis dan kemudian masuknya VOC. Ini kisah agak berlipat, yang tidak ada ruang untuk saya analisis di sini. Tetapi yang penting, akibat logisnya adalah semakin rendah mutu pemahaman bangsa penghuninya tentang Pusaka. Sebab Satria dan Pusaka adalah dua wujud kehidupan yang bersuami-istri. Bahkan bangsa ini bangga menyebut dirinya sebagaimana Tuan Penjajah memberinya nama.
Saya menganjurkan agar sedikit meluangkan waktu untuk mempelajari kembali sejumlah khasanah ‘kasepuhan’ Nusantara, misalnya idiom ‘Satria’, ‘Brahmana’, ‘Sudra’, di samping ‘Kawulo’, ‘Gusti’ dlsb tetapi tanpa ‘sentimen’ Agama atau cara pandang subyektif-linier dari institusi keyakinan apapun. Dipelajari secara murni dengan ilmu kejujuran dan kesejatian pengetahuan.
Tengoklah umpamanya kenapa di abad 7-8 Masehi, masuknya Islam tidak banyak diterima oleh Bangsa Nusantara? Karena yang membawa adalah golongan manusia yang dipandang terendah. Tetapi pada abad 13-14 Masehi, Islam diterima beramai-ramai karena yang membawanya adalah kaum ‘Brahmana’, suatu kualitas kepribadian manusia yang oleh bangsa Nusantara dijunjung paling tinggi.
Bandingkan dengan pandangan umum bangsa yang sekarang ini, dimana yang dipandang tertinggi sehingga dicita-citakan dan diupayakan dengan segala kejahatan dan keculasan oleh sangat banyak orang adalah: menjadi Orang Kaya. Baru kemudian ada urutan di bawahnya: Orang Berkuasa, kemudian Orang Berkekuatan, kemudian Orang Terkenal, kemudian Orang Pandai, dan akhirnya, yang terendah: Orang Baik. ‘Brahmana’ itu asor, paling rendah. Orang suci, orang baik, itu dihina. Kalaupun massa menjunjung ‘orang baik’, itupun hasil tipudaya nasional dan global.
Bangsa ini, di zaman yang ini, berhubungan dengan Tuhan (siapapun nama-Nya dan apapun konsep tentang-Nya) hanya dalam soal penambahan uang dan kekayaan, yang mereka sebut rizki. Tuhan ‘dikasih jabatan’ sebagai Kepala Dinas Penambah Keuntungan Keduniaan di bidang Harta dan Jabatan. Tuhan diperlukan untuk meningkatkan laba, sehingga kalau manusia rugi ia menyimpulkan Tuhan tidak adil. Ketika berangkat melakukan sesuatu atas nafsunya sendiri, orang tidak ingat dan tidak melibatkan Tuhan –nanti ketika mendapat ancaman, mendadak Tuhan yang dimintai tolong.
Candi Borobudur yang dilihat dari atas merupakan simbol Mandala Sambhara Budhara.
Secara pribadi selama puluhan tahun saya bersama masyarakat saya melakukan ‘sesaji’ kepada Tuhan agar dengan seluruh situasi dan sikap durhaka bangsa ini —Tuhan tidak lantas mencabut Pusaka Nusantara dari kita semua. Tetapi sampai hari ini orang-orang terus ‘pringisan’ dan ‘cengengas-cengenges’ seolah-olah besok, lusa, bulan dan tahun sesudah sekarang segala sesuatunya akan baik-baik saja. Bangsa ini sungguh-sungguh tidak menyadari apa yang dihadapinya di kegelapan waktu yang mereka songsong.
Maka dari Borobudur hari ini sahabat-sahabat saya ‘eling lan waspodo’ kembali, mengingat dan menyadari bahwa bangsanya sungguh-sungguh jangan sampai kehilangan Pusaka secara total. Bangsa ini menjalani hidup tanpa ‘orangtua’, sejarahnya tanpa ‘sesepuh’, Pemerintahannya tanpa Negarawan, Kepemimpinannya tanpa Begawan.
Bangsa ini sibuk dengan ‘Pisau Dapur’, karena sudah tidak mengerti “Keris”, bahkan bersikap kejam dan lalim kepada makna Pusaka. Sementara sebenarnya ‘Pedang’-pun mereka sudah tidak benar-benar punya. Bangsa ini tidak punya pertahanan intelektual, pertahanan mental, pertahanan kultural, juga tidak punya pertahanan politik dan militer.
Tinggal satu daya tahan, yakni rahasia energi sisa peradaban batin di kandungan jiwa mereka, yang Dunia belum benar-benar menemukan dan memahaminya, meskipun bangsa ini sendiri di permukaan kesadarannya pun tak percaya kepada rahasia pertahanannya sendiri. Bangsa ini masih memendam Pusaka di lubuk jiwanya. Pusaka itu belum benar-benar sirna, meskipun mereka sendiri tidak menyadarinya.
Pusaka bisa merupakan hadiah dari Tuhan kepada manusia atau suatu bangsa, yang manusia dan bangsa lain dihadiahi pusaka yang berbeda. Sewaktu-waktu, dengan pertimbangan-Nya yang Maha Lembut dan Adil, Dia berhak mencabut Pusaka rahasia itu dari kehidupan Bangsa Nusantara.
Pusaka bisa juga merupakan hasil atau buah dari budi-daya manusia atau bangsa, individu maupun kolektif, hasil kreativitas, ijtihad, uthak-uthek dan iguh-pertikel yang kelak menjadi wajah Peradaban. Bisa juga pusaka merupakan gabungan atau harmoni antara hadiah Tuhan dengan kecerdasan dan keindahan budi manusia yang mengupayakan perwujudannya. Tetapi sebagaimana Otak, ia tidak bisa berfungsi sebagai pikiran jika Tuhan tidak memancarkan Gelombang Akal di ubun-ubun kepala setiap manusia. Manusia bisa bikin ‘Pusaka’, tapi ia baru benar-benar bermakna dan berfungsi sebagai Pusaka (tanpa tanda petik) kalau Tuhan merestui, minimal mengizinkan dan melantiknya.
Candi Plaosan dengan Arca Gupala di sebelahnya.
7. Peradaban, Kebudayaan dan Negara
Bangsa ini, terutama kaum elite dan kelas menengahnya dari bidang apapun, terutama bidang keagamaan, semakin tidak mengerti kebudayaan. Tidak mau memahami apa itu kebudayaan, asal-usulnya, sangkan-paran-nya, letaknya, konteksnya, nuansanya, serta segala dinamika kepastian dan kemungkinannya.
Apalagi Pusaka. Dan sia-sia kalau engkau mencoba menjelaskan Kebudayaan dan Pusaka kepada siapapun yang tidak mengerti, apalagi tidak mau mengerti Kebudayaan dan Pusaka. Tidak rasional untuk menjelaskan merah hijau biru kepada orang yang bukan hanya buta warna, tapi juga meyakini bahwa dalam hidup ini hanya ada hitam dan putih.
Akan tetapi pada saat yang sama kalau orang yang tidak paham Kebudayaan dan Pusaka engkau tuntut untuk mempedulikan apalagi menghormati Kebudayaan dan Pusaka, itu tindakan yang tidak relevan juga. Mudah-mudahan di antara bangsa ini masih cukup banyak orang-orang melek yang belajar kepada orang buta, serta orang-orang buta yang belajar kepada orang melek.
Bangsa ini hidup dan menjadi bagian dari Negara tanpa Pusaka. Pemerintahan tanpa Negarawan. Perundingan hanya oleh Perwakilan, sedangkan ‘Permusyawaratan Rakyat’ dimandulkan. Bangsa Nusantara gugup dan tergesa-gesa membikin Negara. Sehingga Negara bukan merupakan akselerasi historis Kebudayaan dan Peradabannya. Seperti orang bikin buah-buah dari plastik: Negara ini dibikin dengan landasan berpikir, akar filosofi dan sistem, bahkan tata-hukumnya, yang diimport dari bangsa lain yang Peradabannya jauh lebih muda dibanding ‘kasepuhan’ Bangsa Nusantara, tidak empan-papan akar nilai-nilainya, bahkan serta merta Negara ini berdiri dengan membuang kekayaan nilai masa silamnya secara bertahap.
Bangsa ini merasa baru lahir pada tahun 1945. Berposisi di muka Bumi seperti anak hilang yang terbuang di jalan, kemudian disantuni oleh dunia, dan sekarang berkembang menjadi remaja yang inferior mentalnya, tidak percaya kepada dirinya sendiri, tidak mengenal asal-usulnya, meyakini segala yang dari Luar Negeri adalah kemajuan dan segala yang dari masa silamnya sebagai ‘masa silam’, sebagai ‘tradisi’ yang harus ditinggalkan karena rendah, primitif dan serba penuh keterbelakangan.
Demikian.
Ini semua hanyalah sebuah awal dari tulisan yang sangat panjang, suatu penelitian yang pasti melelahkan dan perenungan yang sangat mendalam –dan tidak mungkin saya meneruskannya di sini. Dan lebih tidak mungkin lagi saya sosialisasikan ini semua (kecuali buat anak cucu dan masyarakat saya sendiri) karena tampaknya bangsa ini memang sudah puas dengan keterbudakan dan keterjajahannya seperti yang semakin menyempurna sejak hari ini.
Yogyakarta, jam 00.36 WIB, 22 Agustus 2014
Muhammad Ainun Nadjib
http://kenduricinta.com/v4/pusaka-satria/